Pagi itu, Raka baru mulai mengajar di sekolah SMA Taruna. Ia bertekad, ingin memulai karir sebagai pengajar dengan mengabdi di pedesaan yang berada cukup jauh dari ibu kota. Menurutnya, sekolah itu membutuhkan banyak perombakan. Raka ingin membangun sekolah ini agar lebih maju nantinya. Tidak main-main, ia berdonasi senilai puluhan juta untuk awal dari perjuangannya tersebut.
Saat jam istirahat, Raka memilih untuk ke kantin yang biasa didatangi para siswa dan siswi. Ia ingin beradaptasi dengan para muridnya. Berharap, mereka akan lebih terbuka dan bersahabat. Dengan begitu, proses belajar mengajar akan terasa lebih mudah, karena anak didiknya tidak akan merasa takut dan segan bertanya. Begitu pemikiran yang ia miliki.
"Mau pesan apa, Pak?" Seorang wanita yang merupakan penjaga kantin bertanya ketika antrean sudah tiba di bagian Raka.
Raka yang tengah sibuk mengamati sekeliling, terkejut saat ditanyai. Ketika ia hendak bertanya menu apa saja yang tersedia, mulut yang setengah terbuka itu justru urung berucap. Ia terpaku dengan gadis di depan matanya. Tepat di samping sang ibu yang tadi bertanya.
Raka melihat seorang gadis berusia dua puluh tahun yang sangat cantik.Tubuh mungilnya dibalut dengan gaun berlengan sebatas siku. Meski tidak terlihat sepenuhnya karena terhalang etalase, tapi lelaki itu yakin, gadis itu tidak lebih tinggi dari batas bahunya.
"Pak. Mau pesan apa?" Wanita itu kembali bertanya. Raka terperanjat, lalu mulai bertanya menu apa saja yang kantin itu miliki.
Mulai dari saat itu, Raka memiliki ketertarikan pada gadis tersebut. Gadis ayu anak angkat si penjaga kantin yang berhasil mencuri perhatiannya. Raina. Itulah nama yang gadis itu sebutkan ketika ditanyai oleh Raka.
"Paa. Papa. Bangun, Pa. Kenapa tidur di sini?" Suara seorang gadis membangunkan Raka. Ia dipaksa untuk menyudahi mimpi tentang masa lalunya bersama Raina.
"Emh. Sayang." Raka melenguh, mengucek mata. Ia ketiduran di ruang kerja dengan kepala bertumpu kedua lengan yang dilipat di atas meja.
Gadis itu mengernyit, melihat papanya sampai tertidur dengan posisi seperti itu.
"Papa kenapa tidur di sini?"
"Papa ketiduran semalam." Raka tersenyum, lalu meregangkan tubuhnya yang terasa pegal.
"Oh, iya, Pa. Luna minta duit, dong." Tanpa memperpanjang pertanyaan, gadis remaja itu langsung mengutarakan niatnya.
"Lagi? Papa baru dua hari yang lalu transfer uang jajan, Luna. Udah minta lagi?" Masih dalam kantuk, Raka berdiri, menuju kamar mandi.
"Tapi, Pa. Nggak cukup. Yang kemarin itu udah habis buat belanja sama temen-temen luna. Please, ya, Pa. Ya? Ya?"
Luna merayu seperti biasanya. Raka yang malas langsung mengiyakan, karena jika ia menolak, sudah pasti akan ada keributan antara ia dan sang istri.
"Iya. Nanti Papa transfer."
"Yes! Makasih, Pa. Papa yang terbaik." Setelah mengecup sebelah pipi Raka, Luna berlari ke luar.
Raka menghela napas, sembari memijat pelipisnya karena rasa pusing, sebab semalam kurang tidur. Ditambah dengan kelakuan putrinya, yang semakin besar justru semakin memiliki sifat boros.

KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Ayah
Novela JuvenilTumbuh besar tanpa sosok seorang ayah sejak bayi, tak lantas membuat Jovita berkecil hati. Bersama sang ibu dan keluarga angkatnya, ia sudah merasa lengkap. Namun, ketika sang ibu meninggal dunia, Jovita diajak pindah ke kota oleh seorang lelaki ber...