Roti selai madu dan segelas air mineral beradu dengan sepiring omelette dan segelas susu sapi hangat. Di atas meja makan panjang menghadap kolam renang, Leo dan Kiya sedang menyantap sarapan di jumat pagi sebelum berangkat sekolah. Cuaca hari ini sangat cerah. Bahkan berbagai jenis awan enggan merusak birunya langit dan menutupi sinar matahari yang menyengat kulit.
Di meja makan tersebut, tersedia dua stoples berisi permen berwarna biru dan merah muda, berbagai macam selai roti, dan buah-buahan matang yang sudah dicuci bersih di dalam keranjang rotan. Sinar matahari menembus masuk melalui dinding kaca yang terbuka, cahayanya memanjang hingga mengenai akuarium besar yang terlihat seperti kehidupan di laut lepas: aneka terumbu karang hias dan ikan-ikan kecil berwarna-warni berenang tanpa beban kesana-kemari.
Suasana di setiap rumah di Giorgio Palace hampir sama setiap harinya. Rumah-rumah tersebut seakan telah memilih penghuninya masing-masing. Tampak kehangatan dan kedamaian yang menyelimuti setiap rumah bercat putih tersebut. Namun kenyataannya, penampilan tidak sesuai dengan isinya.
Masing-masing rumah berlantai dua tersebut menyimpan masalah yang kelam dan menyiksa. Tidak terkecuali keluarga yang dihuni oleh satu orang ayah dan tiga anaknya ini, yang tengah sibuk menjalani aktivas seperti biasanya. Tanpa menyadari pada apa yang sebenarnya terjadi di balik panggung sirkus yang menampilkan badut-badut menyeramkan yang penuh kebohongan dan tipuan.
"Oh, sepertinya karena itu Kak Kiya nggak tinggi-tinggi." Celetuk Leo usai menelan kunyahan omelettenya.
"Apa?!"
"Kak Kiya kan nggak doyan susu. Padahal susu baik loh untuk tumbuh kembang an—
"Ye ye ye, si paling sok tinggi."
"Dikasih tahu malah kaya gitu. Pantesan jadi langganan guru konse—
"Ck! Bisa diam nggak sih?! Kamu tuh masih kecil, nggak usah sok ngedumel ngajarin aku. Ingat yah, k-a-m-u itu baru sembilan tahun!"
"Emang apa korelasinya anak sembilan tahun sama nasehatin orang lain? Padahal kan usia nggak bisa jadi patokan untuk mengukur kedewasaan sikap seseorang."
Biasanya Kiya tidak ingin kalah saat beradu mulut dengan Leo. Namun kali ini ia membiarkan fakta yang terucap dari mulut adiknya menjadi kalimat penutup debat pagi mereka. Kiya harus segera berangkat, jika tidak teman sebangkunya akan bertingkah bodoh menunggunya di pintu masuk meski bel sudah berbunyi sekalipun.
Sebenarnya Nana itu terlalu baik atau terlalu bodoh, sih?
Usai membuat kesalahan kecil dengan menjatuhkan tabel periodik unsur dari atas meja, Kiya berlari keluar sebelum Profesor Lee menjadikannya tersangka.
"Selamat pagi Kiya."
Srrttt! Kaki Kiya mendadak berhenti. Seperti rem mendadak yang seringkali dilakukan Io saat mengendarai pick up perkebunan mereka. Ada Io dan seseorang yang baru saja menyapanya. Zinedine Morgan Habibie.
"Pagi Kak Bibie." Kiya tersenyum.
"Mau berangkat sekarang?"
"Iya Kak."
"Mau bareng sekalian sama aku?"
"Eh, emangnya Kak Bibie sekolah juga di sana?"
"Iya, aku pindah ke sekolah kamu."
Kiya tersenyum tertahan. Menyembunyikan rasa senangnya meski saat ini Io bisa melihat dengan jelas sikap salah tingkah adik perempuannya.
"Hati-hati ya kalian berdua." Io melambaikan tangan sebentar, lalu masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Bibie yang sedang menghidupkan Jeep Wrangler Rubicon berwarna hitam miliknya dan Kiya yang sedang senyum-senyum sendiri sambil memainkan kepangan rambut panjangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
All About Us
Teen FictionMengapa kucing tidak bisa tersenyum? Mengapa lebah tidak memiliki raja, namun justru memiliki ratu? Mengapa rubah cenderung setia pada satu pasangan seumur hidupnya? Mengapa Kiya sangat menyukai Gio? Dan pernahkah berpikir mengapa kehidupan Raya sel...