Title-🍄

2 1 0
                                    

Beberapa minggu sejak pesta ulang tahun dirayakan, beberapa bulan sebelum tahun baru tiba di depan mata. Semua orang melupakan fakta menyedihkan yang terjadi belakangan ini. Tidak ada yang membahas tentang kecelakaan Bibie Shaun, meski kaki kucing itu masih tertempel perban. Tidak ada yang membahas Celine, meski Nana lebih sering bertemu Woon-ho di sekolah.

Sebaliknya, petang ini lapangan di pinggiran kota ramai oleh para pekerja yang mempersiapkan pekan raya. Acara tersebut menyita perhatian sekelompok anak sekolah yang saat ini sedang menikmati makan siang di kafetaria.
Kebetulan yang menguntungkan untuk Nana karena siang ini, ia dan Woon-ho makan bersama di satu meja. Meski ada Kiya dan Nino juga di sana.

Mereka menghabiskan jatah makan siang di atas nampan yang sudah disediakan oleh pihak sekolah. Namun Nino lebih memilih menghabiskan bekal yang ia bawa dari rumah.

"Nino, kamu masak sendiri?" Kiya tertarik. Sebab ia jarang melihat teman-temannya rajin membawa makan siang dari rumah.

Nino tersenyum sombong. "Iya dong, memang siapa lagi?"

"Nggak usah sok-sokan deh. Aku tahu kok Tante Mira kan yang masakin kamu?" Nana menyeletuk dari kursi seberang, gadis itu pindah posisi saat Woon-ho datang.

Nino dan dirinya memang tetangga dekat, hanya dipisahkan satu rumah. Dan Nana tahu bahwa Nino adalah anak tunggal yang sangat beruntung karena kedua orangtuanya sangat menghargai dan menyayanginya. Ia melihat keberuntungan yang sama yang ia dapatkan di dalam keluarganya.

"Wahh kamu sering ngintip di rumah aku ya Na? Tahu dari mana coba kalau Bunda rajin masak?"

"Idih, geer banget." Nana mengambil tumbler, kesulitan membuka tutupnya. "Tante Mira yang bilang ke Mama, terus aku nggak sengaja dengar."

"Sini." Dari seberang meja Nino meraih dan membuka tutup tumbler dengan sekali putaran. Lalu diserahkan kembali pada Nana. "Bunda aku masih sering ke rumah kamu?"

"Kamu nggak tahu? Oh iya, kamu kan jarang keluar kamar. Apalagi keluar rumah."

Percakapan berhenti sesaat. Kiya yang menyimak dialog dua temannya menyadari perubahan ekspresi Nino. Terlebih saat laki-laki itu mendengar ucapan terakhir Nana.

"Btw, akhir-akhir ini aku beneran jarang lihat kamu keluar rumah deh No. Kamu ngapain aja seharian di dalam? Main game? Atau tidura—eh? Kok malah senyum-senyum sih?"

"Thanks Na. Thanks karena udah penasaran sama kegiatan aku di rumah."

"Ya elah, aku cuma nanya gitu doang." Nana menggeleng, memutar bola matanya. "Untuk apa aku penasaran? Kalau dipikir-pikir nggak penting juga aku tahu aktivitas kamu di rumah."

Nino tersenyum, lalu kembali menyendok makanannya. Dari dekat, Kiya menyadari sesuatu. Sesuatu yang janggal dibalik senyuman Nino. Yang sayangnya tidak ia mengerti ada apa di baliknya.

"Woon-ho, kamu jadi kan ikut kita ke pekan raya malam nanti?" Nana kembali bersuara saat melihat seseorang di sebelahnya baru saja menyelesaikan makan siang.

"Jam delapan malam, right?"

Nana mengangguk semangat. "Iya, jam delapan malam. Kita tunggu kamu di depan bianglala ya."

All About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang