ⓘ fiction.
⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯
Naresh Arkana Rajandra, remaja yang menyandang status sebagai ketua osis di sekolahnya kini sedang dilanda pusing. Berulang kali kepalanya dipijat pelan sembari mengumpat pelan.
Bagaimana tidak pusing, jika ia tiba - tiba dipanggil untuk menghadap guru BK sementara ia sedang mengikuti ujian. "Bangsat." batinnya.
Usut punya usut ternyata terdapat kabar baru dari laporan salah seorang siswa kepada guru BK yang mengatakan bahwa ada beberapa anak sekolah yang mengikuti tawuran lagi.
Dan, mungkin pertemuan yang diminta mendadak guru BK ini menjadi perintah tugas untuk Arkan mendisiplinkan mereka yang berulah.
"Arkan," kepala Arkan sontak terangkat, begitupula badannya yang langsung berdiri saat mengetahui bahwa guru BK yang ditunggu sudah datang menghampiri nya.
Arkan menunduk sopan ke arah guru BK sebagai sapaan, kemudian ia kembali duduk saat dipersilahkan. "Terimakasih, bu."
"Jadi, Arkan," punggung Arkan langsung tegap saat menyadari tak akan ada basa - basi singkat. "Iya, bu?"
"Kamu tau kan apa yang terjadi kali ini?" tanya guru BK, namanya Bu Irene.
Arkan mengangguk agak ragu, sebab tak tau detail apa yang terjadi. "Tau, bu."
Bu Irene kini mengalihkan fokus pada buku catatan siswa. "Saya gak tau kenapa mereka bisa lolos dari sekolah. Padahal tadi kata temen sekelas nya, mereka masih sempet absen sebelum akhirnya kabur."
Jantung Arkan sudah berdegup tak karuan, matanya memejam sejenak untuk menenangkan diri. "Tinggal lima bulan lagi gue lepas jabatan."
"Padahal jelas - jelas gerbang depan udah dijaga ketat sama pak satpam. Kalau gerbang belakang bukannya sempet ada anak osis yang jaga?" tanya Bu Irene seraya mengernyitkan dahi.
"Iya, awalnya ada, bu. Tapi karena mereka masih ada kegiatan di kelas jadi saya kasih mereka buat kembali ke kelas." jelas Arkan.
Sebelah alis Bu Irene terangkat. "Dan, gerbang belakang?"
"Saya kunci." sahut Arkan cepat. "Kalau pun mereka manjat dinding, kayaknya udah gabisa karena sudah ditancapi paku. Jadi saya gak tau kira - kira mereka kabur lewat mana."
Anggukan Bu Irene rupanya mampu membuat Arkan bisa menyandarkan punggung nya sejenak, sebab ia kira Bu Irene akan beragumen yang berujung menjadi perdebatan.
"Tapi kenapa kamu gak suruh anggota osis lain buat jaga gerbang belakang?" lupakan, Arkan kini kembali menegakkan badan dengan tegang.
"Memang beberapa ada yang mendapat jam kosong, bu. Tapi masing - masing dari mereka punya tugas yang harus diselesaikan."
"Termasuk kamu?"
"Termasuk saya."
Arkan menelan ludahnya agak gugup mendapat tatapan intimidasi, jika saja di depannya ini bukan guru, dan hanya teman sebaya, mungkin Arkan bisa lebih lagi mengintimidasi lawan bicaranya. Bahkan tak akan sungkan mengangkat dagu tinggi - tinggi.
Tapi di depannya ini guru. Yang bagaimanapun itu harus ia segani, apalagi dengan status nya sebagai ketua osis. Tanggung jawab, dan sikap nya diperlukan. Pun mengingat bahwa ia masih siswa yang membutuhkan penilaian baik dari setiap guru untuk bisa lulus dengan nilai bagus.
Bu Irene menghela napas berat. "Ya saya juga gak akan menyalahkan kamu atau anak osis lain. Karena ya gimana pun kalian masih siswa yang punya hak buat belajar disini."