ⓘ fiction.
⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯
Raya mengehela napas berat saat ia kini berhadapan dengan guru BK, alias Bu Irene. Disamping nya ada Arkan yang hanya berdiri dengan kedua tangan di letakkan di belakang.
"Nakala Ararya Diratama," entah sudah berapa kali nama lengkap nya disebut hari ini, tapi yang pasti Raya tidak suka saat nama panjang nya disebut.
"Naka?"
"Raya, bu." koreksi Raya.
Bu Irene mengangguk paham, seraya membolak - balikkan buku absen. "Saya baru kali ini benar - benar ngomong langsung sama kamu."
"Ngomong langsung sama seseorang yang udah jadi langganan catatan absen siswa bermasalah di sekolah. Benar, Raya?"
Raya hanya mengangguk, sebab menggeleng pun percuma saja.
"Masalah tawuran ternyata bukan sekali atau dua kali ya, Raya. Setiap kamu berulah masalahnya masih sama aja karena tawuran. Senin kemarin juga kena hukuman karena bolos upacara, dan milih keluar buat tawuran?" lagi - lagi Raya mengangguk.
"Kenapa harus tawuran? Apa alasan kamu untuk ikut tawuran?" Kali ini Raya tak memberikan respon apapun, ia hanya diam, dan menundukkan kepala atas pertanyaan dilontarkan.
Bu Irene menghela napas seraya melepaskan kacamata yang bertengger di hidungnya, kemudian memijit pelipisnya pelan. "Saya gak tau ya kenapa kamu selalu ikut tawuran. Tapi bisa saya bilang kalau kamu ikut tawuran untuk seneng - seneng aja, kan?"
Lidah Raya kelu, ia ingin mengatakan 'tidak' keras - keras tapi yang kini dilakukan hanya menundukkan kepalanya lebih dalam.
"Coba saya lihat wajahnya," tangan Bu Irene terulur meraih wajah Raya, lalu di lihat ke arah kanan - kiri dimana tempat luka Raya berada. "Sakit, kan?"
Raya mengangguk pelan, kemudian menjauhkan wajahnya dari jangkauan tangan Bu Irene. "Kalau sakit kenapa masih dilakuin dong, Raya?" suara lembut Bu Irene agaknya membuat Raya agak melemah.
"Kamu gak capek berurusan sama Arkan terus?" tanya Bu Irene. "Gak capek dapet hukuman tiap hari? Capek, kan?"
Raya berdehem pelan menanggapi pertanyaan Bu Irene. Hening sejenak selama lima menit, sebelum Bu Irene menyandarkan punggung di kursi, dan bersidekap dada.
"Saya udah gak tau lagi harus gimana ladenin tingkah kamu ini. Tapi yang pasti, saya bakal ambil keputusan supaya Arkan mendisiplinkan kamu lebih banyak lagi."
Kepala Raya mendongak. "Lebih banyak?"
Bu Irene mengangguk. "Iya, lebih banyak."
"Atau," jeda satu menit membuat Raya mengernyit penasaran. "Atau?"
"Atau kamu mau disiplinkan tiap hari aja dibanding disiplinkan lebih banyak?" tawar Bu Irene.
Yang Raya tau, arti dari di disiplinkan lebih banyak itu mengarah ke arah hukuman yang berat, entah apapun itu, tapi yang Raya tau, itu hukuman yang sangat melelahkan.
Sementara di disiplinkan tiap hari artinya ada atau tidak nya masalah yang ia buat, ia akan terus berada dalam pengawasan Arkan.
Dua - dua nya tetap hal buruk bagi Raya karena masih berurusan dengan osis ataupun Arkan.
"Atau saya yang kasih keputusan, Raya?"
⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯
"Nakala Ararya Diratama." Arkan menarik tangan Raya yang hendak langsung berlalu setelah keluar dari ruang BK.
Raya menoleh, menatap Arkan tak suka. "Stop panggil nama lengkap gue, Naresh Arkana Rajandra." kemudian ia melepaskan pegangan tangan Arkan di tangannya. "Dan, gak usah tarik - tarik tangan gue."