"Terimakasih, pak." Raya menunduk sopan setelah ia turun dari taksi, ia masih berdiri di depan gedung apartemen dengan berbagai pertanyaan yang bersarang di pikirannya.
Bagaimana bisa ia hanya membayar hanya seperempat dari biaya asli, bahkan mungkin tak sampai seperempat nya. Entah apa yang terjadi, tapi yang pasti pak sopir menolak diberi biaya yang seharusnya, dan mengatakan ia perlu membayar seperempat saja; karena ada promo harian, katanya.
Kening Raya mengernyit heran, tapi kemudian ia mengedikkan bahu, dan buru - buru masuk ke gedung apartemen saat rintikan hujan mulai turun.
Beberapa kali ia tersenyum ramah menyapa staff, dan penjaga apartemen. Gedung apartemen yang ia tinggali ini dijual dan juga bisa di sewa; harian, bulanan, atau tahunan.
Raya juga menyewa apartemen yang harus ia bayar secara bulanan, ia belum punya cukup uang untuk membeli apartemen nya.
Dalam waktu lima menit, ia sudah sampai di lantai empat, dimana kamarnya berada. Ia berjalan santai seraya melihat jam tangan nya yang menunjukkan pukul tiga sore.
Matanya menyipit kala ia menatap ke depan, dan melihat seseorang berdiri di depan pintu apartemen nya dengan pakaian berbalut jaket, juga jeans hitam.
Tanpa basa - basi, Raya buru - buru menghampiri. "Oh," bibir Raya membulat mengucap 'oh' tanpa membuat suara.
Ia kenal dengan seseorang yang berdiri di pintu apartemen nya, si problematik.
Poker face dipasang oleh Raya, ia berjalan dengan kepala tertunduk menatap handphone seolah - olah ia orang penting. Berjalan terus tanpa ragu menuju pintu apartemen nya, dan tanpa memperdulikan orang yang menunggu sedari tadi.
"Raya." panggilan tersebut membuat Raya menghentikan tangannya yang hendak membuka pintu.
Ia menoleh dengan ekspresi yang sudah di setting; berpura - pura terkejut. "Oh?" lalu ia bertolak pinggang. "Lo disini?"
"Gue minta maaf buat—" belum selesai orang dihadapan Raya berujar, Raya lebih dahulu memotong. "Mau minta maaf?"
Pemuda di depannya mengangguk ragu. "Iya."
Raya juga balas mengangguk tak acuh. "Oke, thanks."
"Ra," tangan Raya yang hendak memutar knop pintu ditahan oleh pemuda itu. "Gue bener - bener minta maaf, tapi gue juga butuh bantuan lo."
Raya menatap sejenak pemuda tersebut, kemudian melantunkan tawa sarkas. "Setelah lo buat gue hampir masuk rumah sakit? Oh, enggak. Gue hampir mati di tempat, kalau lo mau tau."
"Iya gue minta maaf," pegangan pada pergelangan tangan Raya mengerat. "Tapi gue butuh bantuan lo sekarang."
Raya melirik ke jaket kulit yang dipakai orang di depannya. "Bukannya gue udah bilang," Raya menyipit tajam. "Gue gak mau berurusan sama lo lagi."
Decakan Raya dapati, terdengar frustasi. "Ayolah, Ra. Lo tau sendiri keadaan waktu itu emang mendesak, lagian lo kan jagoan, buktinya sekarang gak kenapa - napa."
Mata Raya membulat tak percaya mendengar balasan si empu. "Oh," ia menaikkan sebelah alisnya. "Jadi lo nunggu gue kenapa - napa dulu gitu?"
Stak.
Raya menghempaskan pegangan di pergelangan tangannya. "Bukan sekali atau dua kali lo ninggalin gue kayak gitu. Emang kenapa kalau ternyata mereka bawa kawanan? Pasukan lo lebih banyak."
"Gue tau, tapi mereka lebih kuat dibanding kita."
"Dan, ninggalin gue sendiri?" sahut Raya cepat.
Raya tak mendengar balasan apapun, hanya helaan napas berat yang memasuki indra pendengaran nya. "Iya, gue tau gue salah—"