iv. taxi

625 116 27
                                    

ⓘ fiction.

⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯

Rupanya langkah Raya tadi dibawa oleh Arkan menuju ke UKS, Raya awalnya sempat bingung dan menolak, namun Arkan langsung mencengkram dagu Raya yang luka hingga membuat Raya menyadari bahwa ia dibawa kesini untuk mengobati lukanya.

Tapi ini Raya, yang tak mudah untuk diajak berkompromi.

"GUE BILANG ENGGAK YA ENGGAK." sentak Raya seraya menghempaskan tangan Arkan yang memegang pergelangan tangannya.

Arkan menyipitkan matanya menatap Raya. "Kenapa lo susah banget dibilangin sih?"

"Karena gue gak mau, paham?"

"Muka lo tuh luka, bego." baru saja Arkan hendak meraih dagu Raya, sudah lebih dahulu Raya tepis. "Niat gue juga baik mau ngobatin muka lo yang luka."

Raya menaikkan alisnya mendengar balasan Arkan, kemudian jari telunjuknya terarah ke wajah Arkan. "Lo," wajahnya didekatkan ke Arkan. "Gak usah sok perhatian."

Tangan Arkan tanpa ragu menepuk dahi Raya kesal, membuat si empu mengaduh. "Dikasih tau yang baik malah ngaco."

"Buru." tangan Raya lagi - lagi diseret Arkan untuk masuk ke ruangan.

"GAK MAU."

Tapi sepertinya percuma, sebab kini Arkan sudah mendorong Raya ke salah satu bilik ruangan UKS, dan menyuruh Raya untuk duduk disana.

"Gue bilang gue gak mau." mata Raya melotot ke arah Arkan.

Arkan menghela napas malas. "Bawel." kemudian kepalanya menyembul ke arah luar. "Eh, Sharon!"

Raya dengan umpatan yang tertahan di bibir kini hanya bisa menyandarkan punggung ke dinding sementara Arkan memanggil seseorang.

Mata Raya beralih atensi menatap seorang gadis yang datang menghampiri Arkan. "Apaan?" tanya si gadis.

Arkan mengarahkan dagu ke arah Raya. "Obatin ini anak, terus kasih obat paracetamol."

"Ngapain segala pakai obat?" sinis Raya.

Telinga Arkan sudah berlagak tulis tak mendengarkan sahutan Raya. "Habis itu suruh tidur. Gue mau balik ke ruang osis dulu."

Sharon mengernyit, kemudian menunjuk dirinya sendiri. "Gue?"

"Siapa lagi emang nya?"

Sharon menggeleng mendengar balasan Arkan. "Maksud gue kan gue juga osis, masih ada yang belum kelar."

Arkan menatap ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Gue yang urus. Lo jaga anak ini—"

"RAYA." koreksi Raya cepat.

"—biar gak kabur."

Tatapan Arkan beralih ke arah Raya dan mendekati sang empu yang duduk di atas ranjang. Tangannya menempel di kening Raya. "Jagoan bisa demam ternyata," ledeknya.

"Anjing?"

Kedua tangan Arkan menahan bahu Raya yang hendak menegakkan badan. "Nurut sama Sharon, atau gue bakal beneran bikin lo menderita."

Raya menatap Arkan untuk beberapa saat, kemudian menepis kedua tangan Arkan yang berada di bahunya. "Gak usah sok seolah - olah nasib gue bergantung di tangan lo."

Bahu Arkan terangkat tak acuh. "Fact." setelah berkata itu Arkan keluar dari bilik ruangan Raya yang belum tertutup.

Atensi Sharon dan Raya berfokus pada Arkan yang kini menutup jendela dan mengunci nya satu persatu mulai dari ujung ke ujung. "Lo ngapain?" tanya Sharon bingung.

oppositeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang