ⓘ fiction.
⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯
Pada kenyataannya bangun pagi, dan bersiap sebelum pukul setengah tujuh adalah hal yang mustahil untuk seorang Nakala Ararya Diratama.
Sangat mustahil.
Mengetahui fakta bahwa Raya bukan anak yang rajin dan disiplin, pemandangan pagi ini cukup mengesankan.
Bahkan satpam gedung apartemen yang ditempati nya sampai terbengong heran melihat Raya yang sudah siap memakai seragam dan membawa tas di punggung pada pukul enam pagi.
Sekali lagi, pukul enam pagi.
Raya hampir kelepasan mendengus mendengar pertanyaan yang sama diulang sampai lima kali kepadanya. "Ini kamu gak salah?"
Dan, Raya yang terusan menjawab dengan senyum paksa. "Enggak, pak. Emang ini sengaja buat hari ini doang,"
Matanya menatap jengah pada pak satpam yang masih menautkan alis. "—udah ya, pak. Jangan ditanya lagi, saya capek jawabnya."
Si satpam langsung kelabakan mendengar lanjutan ucapan Raya. "O-oh, iya, maaf." kemudian kembali duduk di tempat nya dengan menyesal kopi.
Raya menggelengkan kepala tak habis pikir, atensi nya menatap ke arah handphone untuk mencari informasi jam berapa bis umum akan melewati halte yang berada di depan gedung apartemen nya, dan disana tertera pukul 06.15 pagi.
Raut muka Raya sudah asam menyadari fakta bahwa ia harus berdiri selama lima belas menit kedepan untuk menunggu bis nya datang. Berulang kali ia menguap, "Hoam."
Matanya yang berat dan berair diusap, kemudian menarik napas dalam - dalam untuk mengembalikan segenap kesadarannya.
Dalam keadaan mata yang masih terasa membayang, Raya menyilangkan kedua tangan di dada seolah membentuk pelukan untuk dirinya sendiri. Pagi ini adalah suasana baru untuk Raya, dan ia tidak bisa langsung beradaptasi dengan suasana pagi yang dingin.
Brumm.
Badan Raya spontan mundur saat sebuah motor berhenti tepat di depan ia berdiri. Matanya berkedip beberapa kali dengan kening mengernyit untuk memindai siapakah orang yang kini berhenti mendadak di depannya.
"Naik." mata Raya membelalak. "LO?!"
Naresh Arkana Rajandra, si ketua osis yang masih duduk di atas motornya itu mendesis mendengar seruan Raya. "Buru."
Raya menatap bergantian ke arah Arkan, dan motor hitam nya. "Kemana?" tanya nya lugu.
Arkan melepaskan pegangan pada stir, kemudian menatap Raya agak sebal dari balik helm full face nya. "Lo," tangan Arkan menunjuk ke badan Raya. "Pakai pakaian kayak gitu emang mau kemana?"
Raya menatap seragam nya sendiri, kemudian menyadari maksud Arkan. Ia menaikkan sebelah alisnya, masih diam tak bergeming. Sebelum kemudian Raya mengangkat sudut bibir, dan menguarkan kekehan ringan; yang menurut Arkan mengesalkan, apalagi dengan kedua tangan di saku.
"Wah," Raya mengulum bibir seraya menatap ke arah sekitar. "Effort banget ya yang mau jemput gue."
Arkan menaikkan kedua alis tak percaya dengan kata - kata yang terlontar dari bibir Raya, ctak. "Masih pagi."
Raya mengaduh seraya mengusap kening nya yang disentil oleh Arkan. "Sakit, bangsat."
"Alay."
"Lo sini gue tonjok lagi, mau?" sudah tak heran lagi, Raya dan sumbu pendek nya.
Arkan berdecih pelan. "Pukulan lo gak dampak buat gue." bisa dilihat oleh Arkan bahwasanya Raya langsung menatapnya tajam. "Anjing."
"Udah buru naik." ajak Arkan lagi.
"Ogah." tolak Raya mentah - mentah seraya memundurkan langkah.
Selain sumbu pendek, Raya juga keras kepala. "Lo gak bisa banget ya disuruh sekali langsung nurut." geram Arkan.
Raya bersidekap dada, menatap Arkan tak gentar. "Kita diluar sekolah. Tittle lo yang gak sepenuh nya berguna itu malfungsi disini."
Selain kekurangannya, Raya juga punya keahlian yang tak jauh beda dengan Arkan; pandai berbicara dan mem-provokasi.
Beruntung, Arkan masih bisa menguasai keadaan. Pikirannya masih cukup jernih, walau agak keruh sedikit setelah ia bertemu dengan Raya. "Tinggal naik doang apa susahnya."
"Susah. Gue perlu tenaga buat naik motor gede lo." sahut Raya cepat.
"Motor lo gak kurang gede dari punya gue."
"Oh."
Arkan memejamkan matanya, rasa pening menyerang, sesusah itu memang untuk menjinakkan Raya. "Gue dalam mood baik, jadi ayo buruan naik, Nakala Ararya Diratama."
Raya menatap Arkan dalam diam untuk beberapa saat, sebelum ia mencondongkan badan wajahnya. "If i don't want it?" kemudian ia menyunggingkan senyum miring. "How, Naresh Arkana Rajandra?"
Hening sesaat sudah menimbulkan atmosfer lebih dingin di pagi ini. Arkan berusaha sekuat tenaga meraup kewarasannya, dan tidak merusak mood pagi nya ini. Ia melepaskan helm yang terpasang di kepalanya, kemudian menatap Raya telak. Udara diambil sebelum ia mulai berbicara,
"Gue disini gak bermaksud mau berantem sama lo, oke? Gue disini juga dengan kesadaran gue, pengaruh dari anak osis juga yang bilang ke gue kalau hukuman buat sita motor lo itu keterlaluan, jadi—"
"Jadi, balikin motor gue sekarang." Raya menatap datar pada Arkan, tak peduli dengan ia yang sembarangan memotong ucapan Arkan.
Arkan meneguk ludahnya kesal. "—jadi gue disini atas unsur tanggung jawab, bantuin lo buat pergi ke sekolah tanpa keluarin biaya. Jelas?" tanya Arkan. "Kalau jelas, ayo naik." Arkan sudah bersiap dengan motornya sebelum Raya menyahut,
"Lo pikir gue emang se-miskin apa, sih?"
Demi Tuhan, apa lagi? batin Arkan meronta - ronta ingin marah sejadi - jadinya.
Arkan menoleh pelan ke arah Raya, matanya menatap bingung karena ia memang jelas tak mengerti dengan pembicaraan yang Raya arahkan. "Gue gak bilang gitu?"
Bisa dilihat oleh Arkan bahwasanya Raya sudah mengeraskan rahang. "Terus maksud lo apa mau nganterin gue pakai embel - embel tanggung jawab, segala nambahin argumen lo yang seolah - olah mau bantuin gue biar gak naik kendaraan umum, BIAR GUE GAK KELUARIN BIAYA, maksud lo apa?"
Kening Arkan mengernyit tak mengerti saat Raya mengeluarkan kata - kata dengan intonasi marah disana. "Gue emang mau bantuin? Salah gue dimana?" tanya nya tak mengerti.
"Lo pikir gue bakal bersujud berterimakasih ke lo karena udah bantuin gue?" napas Raya memburu berbicara dengan Arkan.
Arkan tertawa hambar seraya menaikkan kedua bahunya. "Gue asli gak paham sama maksud lo apa, tapi gue bener - bener pure mau tanggung jawab dengan anter lo ke sekolah. Gue juga gak berharap lo terimakasih sampai sujud,"
"emang lo tipe orang yang susah buat bilang terimakasih apa gimana?"
Kalimat terakhir Arkan berhasil membuat Raya melayangkan pukulan di lengan si empu, agak keras. "Brengsek." maki Raya.
Arkan sontak mengusap lengannya. "Kenapa gue dipukul, anjir?" protes nya tak terima.
Raya berdecak pelan, ia bertolak pinggang seraya mengalihkan pandangan. Diam - diam agak merasa bersalah karena menonjok Arkan yang jelas tak tau apa - apa, dan jadi sasaran empuk atas emosi salah paham nya yang berkelanjutan.
Mata Raya berpusat pada bis yang sudah tiba di depan halte. Ia menoleh sejenak ke arah Arkan sebelum berlari. "Tawaran lo gak menarik, i have my money." meninggalkan Arkan yang bisa Raya pastikan sudah mengumpat melihat nya.
"Dadah, sayang." serta kedipan mata dari Raya yang menurut Arkan itu benar - benar menyebalkan.
⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯
—rey.
KAMU SEDANG MEMBACA
opposite
Fiksi Penggemar[DISCONTINUE] everyone needs their opposite. © rey, 2O23