3. Istri ter(Sya)ng

46 10 0
                                    

"Selamat pagi, kekasih!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Selamat pagi, kekasih!"

Pagi-pagi sekali. Ajian sudah bertengger di depan pagar rumah Naresya dengan sepeda kayuhnya. Lengkap dengan seragam dan tas yang disandang tanda anak itu akan segera berangkat ke sekolah.

Yang diapeli sedang minum teh di kursi depan jendela kamar. Niat hati ingin menghirup udara pagi, tapi yang dia hirup malah aura mencekam dari kehadiran seorang Ajian. Perempuan itu memutar bola matanya jengah. "Kekasih kepala lo peang."

"Pacar?"

Resya menyahut lagi dari jendela kamar. "Bukan pacarmu."

"Yaudah kapan mau jadi pacar?"

"Gadulu."

"Hmm, oke." Ajian mengganti posisi kaki tumpuan. "Selamat pagi, Istriku!"

Belum sempat protes -karna sejujurnya Resya juga terlalu lelah untuk protes -sebuah suara mengintrupsi dari seberang jalan. Wanita paruh baya penghuni rumah seberang. "Aduh, Ajian rajin ya, pagi-pagi sudah ngapelin Mbak Pacar."

"Wah iya dong Tante. Ini namanya pamitan sebelum sekolah biar ilmunya terserap karena dapat restu istri."

Wanita itu terkekeh sekali. Sedang Naresya dengan cepat meneguk teh miliknya sebelum gelas itu dia lempar ke muka Ajian Bumantara.

"JANGAN DIDENGERIN MBAK!" protes perempuan itu malu. "GAUSAH NGOMONGIN ISTRI DEH LU BOCIL," sambung Resya tidak terima.

"Loh?" Ajian menghentakkan kakinya. Mengambil ancang-ancang mengayuh dengan kencang. Sebelum kaki itu bergerak, dia dengan pongah tersenyum ke arah jendela. "Kan Kak Sya memang istriku. Kita baru nikah sirih, besok kalau lulus nikah sah Negara ya, Kak. Sekarang suamimu mau sekolah dulu, BUBYE!"

Kemudian dengan cepat menghilang di ujung jalan.

Naresya sukses stress tak karuan.

***

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Look at the stars, look how they shine for y-"

"Halo Abang?"

Mendadak, semua diam. Membiarkan Ajian mengangkat telepon yang diperkirakan dari sang Abang. Bocah itu membuat raut kesal dan kecewa sebelum merengek kencang saat mendengar apa yang dikatakan Marka.

"Loh. Ah Abang mah. Masa gitu?"

Ajian menghentakkan sedikit kakinya. Tadi dia sudah bilang ban sepedanya kempes, dan Abang berjanji untuk menjemputnya pulang sekolah. Masa tiba-tiba bilang tidak bisa?

Dari seberang sana, Marka meminta maaf. "Beneran Ji, Abang lagi sibuk."

"Sibuk apa coba? Abang kan pengangguran?"

Lalu, telepon dimatikan.

Parah. Ajian misuh dalam hati. Orang tua ngambekan.

Kepalanya diangkat sebelum menoleh ke arah kedua teman-temannya. Ingin meminta pertolongan semacam nebeng sebenarnya. Tapi, belum sempat berbicara, Tama berteriak frustasi duluan.

"BURIK BANGET ANJING NADA DERING LO??"

Yang kerap disapa Aji balas tidak terima. "BAGUS GITU."

Blacklist. Tidak usah berharap pada Tama. Ajian menoleh ke arah Deril. Tapi cowok itu malah kabur begitu saja tanpa sempat Aji berbicara.

"Gue kebelet boker," katanya.

Ajian diam. Ini harus bagaimana? Temannya kan cuma dua biji jumlahnya.

Anak itu memandangi ponsel lama. Dua temannya tidak bisa diharapkan, Bang Marka juga. Kalau minta mas Chandra, pasti yang ada malah tambah diejek cupu karena tidak memeriksa ban sepeda. Leo pulangnya sore nanti karena ada ekskul basket. Sedang kakak kembarnya kuliah. Ajian mengerang frustasi. Punya saudara enam biji tidak membuat hidupnya lebih mudah.

Setelah menimbang-nimbang (tidak juga karena saat ide ini terpintas, dia langsung mendial korban selanjutnya), Ajian memilih untuk menghubungi Kak Resya. Barangkali perempuan itu mau berbaik hati menjemputnya. Kan sedap pulang sekolah dijemput istri tercinta.

"Halo Kak Sya? Lagi apa?"

"Haa?" Sebuah suara menyahut dari ujung sana.

"Udah mandi? Udah makan? Udah sayang Aji?"

"Anak bacot, ngomong aja mau apa ha?" Resya menyentak kesal. Tapi Ajian sama sekali tidak tersinggung dibuatnya.

Cowok itu tertawa. "Kak Sya lagi apa, aku tanya?"

"Haduh, ngapain aja, mandi, makan, jemur kain, cipokan kek. Bukan urusan lu Cil." Resya menjawab sekenanya. "Ngapain telpon jam segini? Sekolah sana!"

Ajian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Udah pulang, Kak."

Di sebrang sana, Naresya diam tidak paham. Lalu apa?

"Yaudah sana pulang," sahutnya.

"NAH ITU MASALAHNYA KAK." Ajian menepuk meja frustasi. "Ban sepedaku bocor. Jemput apa boleh?" sambungnya.

Tapi Naresya tidak menjawab. Wanita itu malah ikut mengerang frustasi karena betapa mengesalkannya Ajian Bumantara ini. Sudah menganggu acara minum teh pagi, sekarang ngopi di cafe pun terintrupsi.

"Halo, Kak? Kak Sya?"

Telepon terputus. Ajian terduduk lesu. Apa boleh buat, dia tunggu saja Leo sampai sore dan nebeng pulang. Uangnya habis, mana bisa naik ojek atau angkot.

Anak itu fokus mengotak-atik telepon genggamnya. Bermain Pou.

Tiba-tiba, dering sebuah panggilan masuk. Memampangkan nama 'Kak Sya(ng)' pada layarnya.

"Keluar, Ji. Panas ini nunggu di depan gerbang!"

[][][]

WeirdosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang