Resya itu punya tipe cowok dengan umur kelewat tua darinya. Cita-citanya dulu adalah pacaran dengan duda tampan kaya raya, atau punya gadun tiga.
Tapi,
menurut Ajian Bumantara, umur hanyalah angka.
[part of Super Na Universe]
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Usut punya usut, setelah mencari tahu deretan para mantan Naresya, Ajian tahu kalau cewek itu punya selera tinggi. Resya suka tipe mas-mas kelewat tua, kaya raya, dan yang pasti tampan. Tentu saja tidak termasuk Mas Chandra, 'kan sudah dibilang itu hanya iseng semata. Dan Ajian yakin akan hal itu.
Beberapa di antara mantan perempuan itu adalah tipe pria yang tinggi dengan brewok tipis di bawah pipi. Ajian menganggap Naresya suka om-om. Tapi anak itu tidak minder sama sekali. Dia kan cowok! cowok kalau udah gede jadi om-om! pikirnya.
"Apa iya aku harus numbuhin brewok?" Aji berdialog. Membayangkan bagaimana bentuk dirinya jika berjenggot. Tapi bukannya gambaran jenggot tipis layaknya artis india, anak itu malah terbayang jenggot lebat yang kalau diikat bisa jadi kepang kuda.
Ajian bergidik.
Bocah kelas satu SMA itu kembali menatap pohon mangga di belakang gazebo rumah. Pohon ini sudah tumbuh jauh sebelum Ajian lahir. Jadi, anak itu memutuskan untuk menjadikan pohon mangga tersebut sebagai sahabatnya.
"Masa sih, Kak Resya gasuka berondong?"
Daun si pohon berayun-ayun. Ajian mangut-mangut. "Iyakan?" Dia kembali terbayang ejekan Resya pekan lalu.
Ajian bersungut sendiri. "Padahal aku pipis udah lurus!"
***
Rumah saat itu hening. Hanya ada dua orang di dalamnya karena yang lain sibuk dengan urusan masing-masing. Hari itu hari Sabtu dan Ajian libur. Yang lain juga sudah pergi semua tapi Chandra kedapatan kelas siang, katanya.
Tidak ada bunyi selain suara televisi dan sepatu Chandra yang berketuk-ketuk di sepanjang lantai ruang ke ruang, saat cowok itu mencari barang-barangnya. Sebuah kebiasaan buruk yang kalau Bunda tahu, pasti sepatunya sudah dilempar ke pekarangan depan atau mungkin lebih jauh.
Namun, kendati sibuk sendiri juga dengan acara tv, Ajian malah berpikir keras harus melakukan apa saat ini. Sebenarnya gengsi setengah mati untuk mengajak Mas nya itu bicara, karena sudah dua hari Aji mendeklarasikan bendera ngambek yang sebenarnya tidak juga dipedulikan oleh Chandra. Di sisi lain, anak itu ingin sekali nebeng dan ikut Mas Chandra pergi kuliah.
Jika ditanya untuk apa, itu karena tadi saat Ajian bertandang ke rumah pujaan hati, Mama Resya bilang kalau perempuan itu baru berangkat pergi. Kan barangkali mana tahu bisa bertemu di kampus. Sebab Ajian sudah rindu setengah mati kalau harus disuruh menunggu Kak Resya pulang ke rumah.
"Mas pergi." Chandra berpamitan saat menarik gagang pintu rumah. Tidak ada sahutan Aji dari ruang tengah, tapi dia mana peduli. Pintu berdentum tertutup sebelum suara mesin motor ikut hidup. Dan pada gas-an pertama, sesosok Ajian dengan cepat sudah menyambar dari dalam rumah.
"MAS, IKUT MAS. AJI MAU IKUT MAS!"
***
Walau harus mendapatkan beberapa cercaan dan satu tempelengan di kepala, di sinilah Ajian berada. Duduk manis di tembok-tembok pembatas taman tengah yang catnya belum kering sepenuhnya. Tembok semen itu cuma tegak setengah lutut. Yang kalau diduduki oleh Ajian Si Kaki Bambu, lututnya bisa-bisa nyeri. Kemungkinan kedua, kalau diluruskan akan menghalangi jalan.
Anak itu sudah geser tiga kali untuk mencari posisi duduk yang enak. Sebenarnya mau duduk di cafetaria saja, tapi Ajian ingat dia tidak membawa uang, DAN MAS CHANDRA JUGA TIDAK MEMBERINYA. Ajian bersungut sendiri. Padahal salahnya juga karena tidak minta.
Sebelumnya, remaja tanggung usia itu juga sudah berjalan sedikit. Tapi yang namanya tidak hafal denah, ya takut juga kalau tersesat.
Jika diperhatikan, taman ini menjadi pembatas antara gedung depan dan gedung belakang. Dari sini, semua aktivitas kelihatan. Dari mulai lantai paling bawah, tangga, hingga balkon-balkon atas.
Barangkali, ya barangkali. Barangkali kalau Ajian memasang mata elang, dia bisa tahu di mana Kak Resayang.
Padahal, mana mungkin semudah itu.
Lima menit, sepuluh menit, dua puluh lima menit; Aji kepanasan. Hari semakin siang dan matahari berlomba dengan awan. Tapi awannya malah kalah.
Diamengeluh.
"JI?"
Pucuk dicinta, cewekku pun tiba. Ajian mesem-mesem. Itu Naresya, berkemeja hijau dengan celana kain oranye kecoklatan. Lucu sekali melihat perempuan itu berjalan setengah berlari guna memastikan Ajian.
Yang paling muda melirik kemeja merah miliknya,
Coklat, hijau, merah = Pohon berbuah. Ini pasti namanya jodoh. Ajian menerka-nerka harus menikah pakai adat apa.
"KAK. KAK SYA!" Berdiri. Dia melompat tidak tahu malu.
Namun, senyum yang awalnya sudah mengembang, tiba-tiba padam saat Naresya memberhentikan langkahnya. Seorang pemuda menghadang dan mengajak perempuan itu bicara. Dari perawakannya, radar Ajian bilang ini adalah bahaya.
Pria tinggi, mungkin empat atau lima senti lebih tinggi dari dirinya. Penampilannya rapi dengan kemeja dikancing penuh. —Ah tidak, Ajian menganggap itu culun. Kacamata dengan bingkai oval setengah kotak menghias batang hidungnya. Benda itu tidak terlihat merosot sama sekali saat bertengger pada segitiga sempurna itu. Yang paling menakutkan adalah; brewok tipis pada dagu.
Mana boleh begini?
Kemudian, sial dua kali. Naresya melambai kecil dan melenggang pergi.