1. Galau Berat

88 15 1
                                    

Entah karena hari memang sudah mulai malam atau langit berawan pertanda hujan, yang pasti saat itu keadaan mulai menggelap saat Marka lagi-lagi ditugaskan mencari dan membawa seluruh anggota rumah pulang dengan aman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Entah karena hari memang sudah mulai malam atau langit berawan pertanda hujan, yang pasti saat itu keadaan mulai menggelap saat Marka lagi-lagi ditugaskan mencari dan membawa seluruh anggota rumah pulang dengan aman.  Pria berusia dua puluh lima tahun yang menjabati gelar pengangguran itu berjalan dengan sebuah hanger merah di tangan. Benda plastik itu sudah patah di salah satu bagian, pertanda betapa seringnya ia digunakan.

Siapa bilang sarjana lulusan Ekonomi dengan IPK 3,7 akan jadi orang hebat begitu saja dengan gaji dan pekerjaan terjamin aman?

Ini Marka buktikan. Nyatanya, dia hanyalah pria muda yang masih menganggur dengan istirahat sementara sebagai alasan. Memilih untuk tidak mencari kerja lebih dahulu dan berakhir tinggal di rumah dengan keenam adik yang bandelnya luar biasa. Marka lebih cocok menyandang status seorang bapak agaknya.

Kaki-kaki itu melangkah dengan pasti. Mengabaikan deru angin dan rintik yang mulai menyentuh bumi. Dia sudah memastikan kelima adiknya pulang kecuali satu orang. Si bungsu Ajian ini memang paling bebal kepalanya kalau persoalan waktu pulang.

Marka tanpa ragu melangkah menuju pekarangan rumah seseorang. Tidak jauh, hanya berkisar satu blok perumahan. Pria itu juga sama sekali tidak malu atau sungkan saat memasuki halaman rumah tersebut, seolah tempat itu bukanlah tempat asing yang tak pernah ia tuju.

"JI! PULANG!" Marka berteriak lantang. Sebuah kepala melongok setelahnya. Wanita berambut panjang dengan usia yang lebih muda tiga tahun darinya, namanya Resya.

"Tuh, Abangmu sudah jemput lagi, pulang sana." Gadis itu terdengar menegur dari sebalik pintu yang memang terbuka.

Sebuah rengekan menyahut. "Ah, Kak Resya mah!"

Mengucap salam pelan, Marka berjalan menaiki teras dan berjalan ke arah pintu rumah. Mendapati tersangka yang teleponnya ditolak enam kali.

"ADUH! ABANG! AMPUN ABANG AMPUN." Ajian berteriak keras saat sabetan hanger menyapu kedua pantatnya. Marka sama sekali tidak malu memukul sang adik di rumah orang lain —karena sejujurnya ini bukan yang pertama kalinya.

Resya tergelak. "Rasain!" katanya mengejek. Sedang yang paling muda hanya mengaduh dengan wajah dimelas-melaskan.

"KAK, KAK RESYA TOLONGIN, KAK!" Tapi yang dipinta tidak mau mengindahkan. Perempuan itu malah semakin besar tawanya merayakan kepulangan Ajian Bumantara. Resya bahkan sempat melambaikan dadah saat sepasang kakak beradik itu menjauh. Menyisakan rengekan bungsu yang masih memberontak tak mau pulang.

Bang Marka ini kenapa sih? Ajian membatin.

Kakaknya ini seperti tidak pernah mengapeli anak gadis orang saja. Seperti tidak pernah jatuh cinta saja. Seperti tidak pernah galau saja. Menurut Ajian, Marka memang saat dilahirkan tahu-tahu sudah langsung jadi orang tua saja.

Hujan turun dengan deras saat mereka sampai di rumah. Baju keduanya sudah basah setengah setelah ditimpa rintik gerimis jalanan. Ajian masih cemberut di samping Marka yang menarik kerah belakang kaos bolanya ke arah kamar Bunda. Persis kucing yang menyodorkan seekor tikus pada kucing lainnya.

Bulu kuduk Ajian merinding parah. Dia sadar sudah jadi sorotan utama malam ini dan setelahnya anak itu jamin akan jadi olok-olokan juga. Menoleh ke arah kiri, Ajian mendapati Chandra menahan tawa setengah mati. Mulut sang kakak bergerak tipis membuat ejaan "Mampus!"

"Bagus."

Satu kata, padat, seram, menakutkan, dan sudah menjelaskan semuanya.

Ajian menoleh lagi ke depan. Bunda tengah berdiri di hadapannya dengan wajah datar yang kalau Ajian artikan adalah; pantai yang surut sebelum tsunami besar menyerang.

"Bunda bosan ngomongnya, Dek." Teya memijit keningnya. Si bungsu ini bebal sekali, ntah anak siapa.

"Kan Bunda udah bilang seratus kali. Magrib itu pulang. Jam lima paling lambat sudah di rumah. Bosan ya Bun—"

"Ah engga." Ajian memotong sekenanya. "Tadi pagi Ibun baru ngomong dua kali. Pas Aji sekolah sekali. Jam tiga pas Aji pulang juga sekali. Berarti baru emp— ADUH BUNDA AMPUN."

Begitu saja. Hanger merah lagi-lagi dengan manis menyapa pantatnya.

***

Walau tidak mau cepat menjadi tua dan meninggal —menurutnya, kalau tua nanti pasti meninggal —Ajian itu terkadang juga ingin menjadi orang dewasa. Agak kesal sejujurnya karena ia harus terlahir sebagai bungsu. Minimal dia maunya seusia Mas Chandra agar sepantaran dengan Kak Resya si pujaan hati tetangga jarak tujuh rumah. Atau seumuran Kak Juna biar jadi cowok cool nan dewasa di depan Resya. Tidak memilih opsi menjadi seumuran Bang Marka karena menurutnya, kakaknya itu orang tua kolot—mengabaikan fakta bahwa Juna dan Marka hanya terpaut jarak satu tahun.

Naresya itu bukannya sekali menolak Aji saat anak itu mengajaknya pacaran. Katanya, "Ah, engga mau. Kamu masih kecil." atau "Anak kecil itu belum boleh pacaran." atau yang lebih sakit, "Kamu itu masih kecil, aku engga napsu!"

Padahal Ajian kan sudah besar. Sudah kelas satu SMA. Pokoknya sudah besar dan sebentar lagi akan kuliah.

Anak itu sekarang sedang duduk di balkon kamar ditemani soda botolan karena kata Bunda dia tidak boleh minum mabok-mabokan. Memperhatikan kamar dengan cahaya remang di ujung sana; rumah Resya.

Tapi kenapa sih memangnya? Mabuk itu seperti apa memangnya sampai Bunda melarang? Dia sering tuh kedapatan melihat Resya pulang linglung atau menerima pesan tak jelas dari perempuan itu saat malam. Kata Mas Chandra, mungkin Resya sedang mabuk, dan itu biasa saja.

Sekali waktu, Chandra yang menyandang status teman kampus Resya pernah bilang begini ke Ajian. "Jangan sama Resya. Dia doyannya dosen di kampusku."

Tapi Aji memilih menutup telinga. Nanti lulus sekolah dia tinggal daftar kerja saja jadi dosen biar si Resya ini suka. Begitu kan?

Ah, Ajian Bumantara galau sekali.

"Jelek, sok-sokan galau, jelek banget."

Sebuah suara menyapa sedetik setelah pintu kamar terbuka. Itu Leo, kakak satu tahunnya yang memang tidur bersama di kamar ini.

"Galau berat, Le."

"Yaudah sih."

"Kepengen kawin."

Sebuah pukulan mendarat di kepala. "Nikah dulu, bodoh."

Ajian menoleh. "Memang beda?"

"Ya bedalah."

"Yaudah." Anak itu mengangguk kecil. "Pengen nikah."

Kemudian satu tempelengan mendarat lagi di tempat yang sama. Ajian hampir berdiri dan memasang kuda-kuda sebelum membalas. Tapi Leo dengan cepat menyahut sinis.

"Sekolah dulu, bodoh."

[][][]

WeirdosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang