tetap hidup

9 0 0
                                    

Tak kusangka hidup membawaku dewasa begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku menangis di pemakaman ayahku, lalu ibuku menikah dengan laki-laki selingkuhannya saat usiaku 13 tahun. Jingga kecil menahan diri untuk tidak terlihat patah, sembari mempertanyakan eksistensi cinta dan kasih sayang. Ayah telah pergi, meninggalkanku yang beranjak besar. Tak ada lagi yang akan mendekapku erat ketika gelap menerpa. 

Bayang-bayang masa kecil yang suram lalu menyadarkanku akan getirnya perjalanan menuju kemari. Aku pernah berandai-andai untuk hidup dan bekerja di tempat yang jauh dari ibuku, menjadi mandiri dan hidup semauku. Dan di sinilah aku, di tengah hiruk pikuk Jakarta yang tak pernah tidur, aku mengadu nasib berusaha mendapat kedamaian yang selama ini kuimpikan. 


Aku bekerja sebagai jurnalis di sebuah koran kecil, tidak terlalu terkenal. Meskipun begitu, penghasilanku bisa dibilang lebih dari cukup karena selain bekerja di koran, aku juga mengajar les privat. Keseharian yang berulang dan membosankan, tapi cukup kunikmati karena aku tidak merasa tertekan oleh apapun. Mimpiku tidak besar, hanya sekedar ingin punya rumah dan kendaraan sendiri. Karena setelah ayah meninggal, aku tak punya lagi tenaga untuk bermimpi. Rasanya jiwaku tak mampu untuk berambisi. Hanya nyawaku, yang tersisa, yang membuatku tetap hidup.

Drrt drrt. Ponselku berdering, sebuah pesan WhatsApp masuk.

Jingga, pulang nak, Ibu kangen kamu. 

Menjadi BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang