7

1 0 0
                                    

Pria aneh. Bagaimana bisa kami bertemu dengan situasi seperti ini? Berawal dari dia mandi di kamarku, lalu bertemu di lorong sepi dan mengantarku ke kamar. Dia berkata kami saling kenal dan merupakan calon suamiku? Apa dia sedang berhalusinasi? Atau hanya menggodaku? Sepertinya dia hanya menggodaku karena aku memang sedang cantik malam ini.

Tapi... sedang apa dia di lorong sepi itu? Dan siapa dia? Dia tahu namaku dan tahu nama ayahku. Dia juga tahu kalau aku adalah tamu undangan Lissel Group.

Astaga, pria itu membuatku semakin takut, dia masuk kamarku tanpa izin — bahkan masuk tanpa kunci akses, lalu kami bertemu di lorong sepi, bahkan dia menyapaku seolah dia tahu wanita di lorong itu adalah aku. Tidak, mungkin saja itu memang kebetulan. Apa aku terlalu menganggapnya serius?

Tidak. Masalah ini memang serius. Kejadian demi kejadian tampaknya tidak kebetulan. Sejak dia mandi di kamarku sudah aneh dan dia mengatakan hal-hal yang tidak kumengerti. Aku tidak merasa pernah bertemu dengannya dan kami memang tidak saling kenal, tapi...

"AH! Aku bisa gila! Sebaiknya aku mandi lalu tidur."

Blam! Aku menutup pintu rapat-rapat dan mengunci manual untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Aku tidak mau lagi orang asing masuk kamarku dengan alasan numpang mandi, masih beruntung dia numpang mandi, kalau sampai numpang tidur? Aku mungkin tidak akan selamat. Sebaik apapun pria, dia tetap serigala.

Besok pagi aku akan sarapan mewah di sebuah aula yang dikhususkan untuk para tamu undangan, kami para tamu benar-benar mendapat pelayanan secara gratis di sini. Kudengar besok semua menu sarapan disajikan secara prasmanan dan kami bisa datang kapan saja untuk menyarap di sana.

-o0o-

Setelah melewati malam yang panjang, aku bangun pagi-pagi buta untuk pergi sarapan. Aku sengaja bangun lebih awal untuk menghindari seseorang. Di jam ini mustahil ada orang yang pergi sarapan, aku yakin tamu-tamu yang lain masih memejamkan mata di atas ranjangnya. Dan dugaanku benar, saat tiba di ruang penjamuan, tak ada satu pun orang di sana kecuali para petugas dapur yang sedang sibuk menyiapkan kudapan. Malah beberapa petugas kaget melihat kehadiranku. Mungkin mereka berpikir mereka terlambat menyiapkan hidangannya di meja prasmanan.

"Selamat pagi, Nona," sapa seorang petugas dengan ramah tapi diselimuti kepanikan luar biasa.

"Pagi," balasku seadanya.

"Um, maaf, kami belum selesai memasak semua menunya, karena... um..."

"Tidak perlu terburu-buru, aku tahu ini masih terlalu pagi, aku akan sarapan dengan makanan seadanya," kataku untuk menenangkannya.

"Maaf, Nona, makanan yang sudah dihidangkan hanya ada makanan Italy dan makanan China."

"Tidak masalah."

"Alat makannya di sebelah sana, Nona. Mau saya bantu ambilkan?"

"Tidak perlu, aku akan ambil sendiri."

"Baiklah, silakan menikmati."

Aku tersenyum simpul saat petugas itu tampak lebih lega, kemudian aku bergegas mengambil alat makan dan mengambil beberapa jenis pastry beserta selainya yang disajikan secara terpisah, setelah itu aku mengambil secangkir cappuccino. Menu sarapan khas Italy tidak ada yang istimewa, hanya hidangan pastry kemudian beberapa jenis kopi. Aku tidak menginginkan yang lain lagi, hanya membawa secangkir cappuccino dan beberapa pastry.

Duduk di pojokan dekat jendela sangat menenangkan, aku bisa menikmati sarapan sambil melihat lautan lepas, ombak di bawah sana tidak terlalu ganas, cenderung tenang. Aku cukup kaget saat menggigit rotinya, teksturnya renyah di luar tapi lembut di dalam. Selainya juga terbuat dari buah asli, teksturnya juga tidak terlalu halus. Aku suka jenis roti yang seperti ini dan selainya juga sesuai harapanku. Tak bisa diragukan, Lissel Group telah mempekerjakan chef dan koki yang handal. Karena penasaran dengan kopinya, aku menyeruput kopi secara perlahan-lahan sambil menikmati rasa dan aroma yang menyatu.

"Sendirian saja, Nona?"

Kaget. Setelah menyeruput cappuccino aku melenggakkan kepala melihat siapa yang datang sepagi ini selain aku.

"Huk! Uhuk! Uhuk!" Aku kaget sampai terbatuk-batuk karena tersedak cappuccino. "Kau? Uhuk! Apa yang anda lakukan di sini?" Aku berdiri menghadap padanya.

"Tentu saja untuk sarapan, tidak mungkin kan aku kemari untuk mandi? Oh ya, terima kasih karena sudah meminjami aku kamar mandi."

"Anda sudah pernah berterima kasih, jadi tidak perlu berterima kasih lagi dan berhenti membahas hal itu di tempat umum."

"Tidak, untuk yang hari ini aku belum berterima kasih."

Aku mengernyit dan terdiam. "Anda... apa anda masuk kamarku lagi?" bisikku.

"Awalnya aku mengetuk pintu, karena kau tidak ada... jadi aku masuk saja dan mandi di sana."

"Apa?" Aku melongo saking tidak menyangkanya pada orang satu ini. "Tuan, tidakkah anda punya etika dan rasa malu? Meskipun tidak tertulis di undang-undang, harusnya anda tahu bahwa tindakan anda sangat tidak sopan dan membuat saya tidak nyaman." Aku mulai geram.

Ekspresi tenang berubah mengeras. Sorot matanya menajam. "Nona, dulu kau juga pernah melakukan hal yang sama, sekarang kau berkata demikian, tidakkah kau punya rasa malu?"

Aku mengernyit. Orang ini, apa yang berusaha dia sampaikan padaku?

"Maaf, Tuan. Saya bukan orang yang tidak tahu malu seperti anda," balasku lebih tenang.

"Sepertinya kau tidak ingat."

Dia mendekat kemudian membelai kepalaku dan berkata, "Apa setelah kejadian itu kau mengalami kecelakaan sehingga ingatanmu terganggu? Atau kau menderita penyakit yang berhubungan dengan otak? Sulit dipercaya, kau melupakan sesuatu yang penting seperti itu."

Aku menepis tangannya yang terus membelai kepalaku. "Apa maksud anda? Sepertinya anda sengaja mengikuti aku. Apa anda sedang menginginkan sesuatu dariku? Bicarakan dengan jelas dan jangan membuat saya bingung."

"Benar, aku sangat menginginkan sesuatu itu darimu, Nona."

Aku melihat ke sekitar dan memastikan tidak ada yang melihat kami. Takut ada yang mengenalku kemudian gosip aneh tersebar.

"Sesuatu seperti apa yang anda maksud?" tanyaku dengan hati-hati.

"Um... sesuatu... yang menguntungkan."

"Menguntungkan? Bisakah anda bicara dengan jelas? Saya tidak bisa menangkap apa yang anda bicarakan." Aku memicing curiga.

"Sesuatu yang menguntungkan aku dan kau."

"Apa anda mencoba berbisnis denganku?"

"Kurang lebih seperti itu."

"Tuan, jika anda ingin berbisnis dengan saya maka maaf, saya tidak sedang ingin berbisnis dengan anda."

Pria ini tersenyum sinis. "Kurasa tak lama lagi kau akan mencariku."

"Tidak. Aku tidak punya keperluan dengan anda. Jadi, untuk apa aku mencari anda?"

"Kau punya keperluan denganku, Nona. Lihat saja nanti."

Aku diam. Kami sama-sama diam. Aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan, aku hanya bertanya-tanya mengapa dia tak pergi. Sepertinya dia menunggu sesuatu dariku, entah apa itu. Apa aku perlu membalas ucapan terakhirnya? Kurasa tidak perlu karena aku memang tidak berniat mencarinya. Aku tidak peduli. Aku tidak akan terlibat dengan orang-orang yang kuanggap tidak penting. Dia hanya pria aneh. Aku pun enggan bertanya siapa namanya dan ada kegiatan apa di Del Express. Aku tidak mau akrab dengan orang yang tak kuinginkan.

"Ada lagi, Tuan? Jika tidak ada hal yang perlu disampaikan, bisakah anda pergi? Saya mau melanjutkan sarapan." kataku, aku merasa terganggu karena dia tak pergi.

CITY LIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang