1. Sandykala

8 0 0
                                    


     Namaku Sandykala. Suka bunga. Suka kopi. Juga suka warna kemerahan ketika matahari terbenam di sore hari.
Setengah hidupku ada di musik. Iya, setengah saja. Karena setengah lagi, ada di Nugra.
     Aku suka langit malam. Saat seseorang memberiku notif pesan. Ku tahu elemen langit memang selalu menawan. Itu lah mengapa aku bisa menghabiskan waktuku berjam-jam hanya untuk menyaksikan bulan.
     Kau tak mungkin percaya aku suka menyahuti kucing? Aku lebih suka naik sepeda saat malam, Nugra. Bagaimana aku masih tidak menyukai es krim cokelat. Aku ingin kau mencicipi sambal buatanku. Begitu lah banyak bicaraku saat rindu kamu. Sungguh.
     Bulan Oktober. Aku mengingatnya. Saat aku berharap bahwa hal-hal baik akan datang kepadaku. Rupanya aku tidak keliru. Karena itu bulan aku dan Nugra bertemu.
    
🤎

     Pagi itu aku mengerjakan tugas sekolahku di perpustakaan. Dia masuk membawa Novel Jepang di tangannya. Suasana sunyi sebelum itu, ku rasa tugas dan headphone adalah prioritas.
Aku mengganti posisi dudukku agar lebih nyaman. Sebelum aku membisikkan temanku dan berkata, "Aku juga pernah baca buku itu."
     Raya menoleh ke arah orang yang baru saja duduk membelakangi kita. Dia hanya tersenyum tipis. Lalu kembali mengerjakan tugas yang belum selesai.
     Lima menit kemudian, tugasku selesai. Aku merenggangkan tanganku yang pegal. Lalu pandanganku kembali terarah ke depan. Aku tak mengerti betul apa yang sedang ia fokuskan. Yang jelas, mataku tak bisa berhenti memandang punggung itu.
     "Ingin kenal dia."
Raya melihatku heran. "Serius kamu?"
Aku tak menjawab. Pikiranku hanya penasaran kenapa ia membaca buku itu. Bisakah kita mendiskusikan teori yang ada di dalamnya? Membahas itu bersama-sama?Aku pikir itu akan seru.
     Aku merobek kertas kecil. Lalu menuliskan sedikit kata-kata. Begini bunyinya. "Lucu, baca buku. Boleh kenal kamu?"
     Aku tidak mengerti betul mengapa aku jadi seberani itu. Pikiranku menjadi tidak karuan. Aku pun menghapus tulisanku itu dan mengulang lagi. Begitu terus sampai temanku menyuruh untuk segera memberikannya.
Aku menolak. Rasanya memalukan jika aku memberikan itu kepadanya. Bagaimana kalau dia orang yang narsis? Bagaimana kalau ternyata dia adalah salah satu anak terkenal di sekolah? Temanku kembali memaksaku untuk segera memberikan kertas itu kepadanya. Aku kembali berpikir. Di waktu mana lagi aku menemukan orang seperti dia. Kalau pun tak dijawab, dia juga tak mengenalku, kan?
Aku pun berdiri dan menghampiri meja itu, lalu meletakkan secarik kertas di hadapannya.
     Dia menatapku heran. Aku tahu aku sedang berlagak konyol. Sungguh aku tidak mau lagi. Dia pun membaca kertas itu dan meminjam pulpen orang yang ada di sampingnya. Aku sudah tidak peduli lagi apa yang akan dia tuliskan. Selang beberapa detik kemudian, dia meletakkan kertas itu di ujung meja. Aku pun segera mengambilnya. "Terima kasih," ucapku dan segera keluar meninggalkan perpustakaan.
      Aku keluar bersama Raya. Sedikit lega karena sudah dijawab, walaupun aku belum siap untuk membacanya.
     Sesampainya di dalam kelas, aku membacakan kertas itu secara diam-diam. Senyumku melebar dengan sendirinya. Sungguh! Ini sangat lucu.

🤎

     "Kamu kenapa sih senyum-senyum?" Aku sedikit terkejut dibuatnya. "Enggak kok."
     Aksara melihatku dengan tatapan penasaran. Di depan teras kelas, dia mendekat dan duduk di sampingku. "Habis ketemu siapa, sih, di Perpus?" tanyanya menatap wajahku dari samping.
     Aku terheran bagaimana dia tahu aku habis dari Perpustakaan. Aku pun menoleh dan menjawabnya, "Enggak ada, Aksa."
     Dia dengan tiba-tiba memberiku Es Kopi. Dahiku mengernyit heran. "Untukku?"
     Senyumnya melebar, "Iya, San." Aku tak tahu betul kenapa Aksara sering kali mentraktirku makan dan minum. Aku merasa tidak kekurangan uang. Beberapa kali aku menolak. Tapi dia terus melakukan hal yang sama. "Terimakasih," ucapku.
     "Sama-sama."
     Kami duduk sambil melihat orang berlalu-lalang di samping lapangan. Keadaan canggung ini membuatku ingin pergi masuk ke kelas saja.
    "Kamu semalam habis dengar lagu Rex, ya?" Aksara pun memecahkan keheningan di antara kita. "Oh, iya." jawabku singkat lalu meminum Es Kopi itu dengan datar.
    "Mau coba Es Coklat punyaku?" Ia menyodorkan tangannya.
    "Makasih, Aksa." tolakku karena aku tidak suka coklat.
    Beberapa saat kemudian, setelah kami duduk bersebelahan. Tidak banyak yang kami bicarakan. Aku menunggu bel sekolah berbunyi dengan sesekali menjawab pertanyaan Aksara dengan sekenanya.
    "Aku masuk kelas dulu ya," izinku pada akhirnya.
     "Kenapa?"
     "Apanya?" tanyaku.
     "Aku masih mau duduk sama kamu." Jawaban itu membuatku menelan ludah. Aku tidak tahu harus menjawabnya apa. "Tapi, ya, sudah. Mungkin kamu mau belajar," ucapnya lagi saat aku tak kunjung menjawab.
     "Oke."
     Aku pun masuk ke dalam kelas dengan perasaan lega. Kakiku berjalan menuju tempat dudukku. Dalam hidupku, laki-laki adalah pengecualian. Sejak aku kecil, aku paling cuek dengan teman lawan jenisku. Aku berpikir bahwa hidup harus ada yang dikejar. Dan aku tidak bisa menyandingkan itu dengan laki-laki. Bertahun-tahun aku hanya fokus pada diriku dan plan yang ingin aku capai. Aku terlalu merasa senang dengan diriku sendiri. Karena aku jadi memiliki hak lebih atas hidupku tanpa aku harus terikat dengan laki-laki manapun.
     Meskipun aku tahu, aku sudah 17 tahun. Dan dunia tidak selalu harus sesuai apa yang ku mau. Teman-teman yang terus-menerus memaksaku untuk berpacaran. Ayah Ibuku yang ingin melihatku interaksi lebih dengan laki-laki. Semakin aku menghindar dan menjauh, justru semesta semakin mendekatkan.
     Tapi sekarang bukan itu yang sedang aku pikirkan. Aku melongo heran kepada itikadku di Perpustakaan tadi. Aku merasa, itu bukanlah aku. Prinsipku sudah tidak ada artinya lagi setelah itu terjadi.
     Bagaimana kalau aku sudah bisa jatuh cinta? Apakah hari-hariku akan berubah? Apakah hidupku sudah tidak monoton lagi? Sejujurnya aku hanya takut hidupku akan disetir oleh laki-laki. Tidak ada yang tahu jatuh cintaku akan seperti apa. Aku benar-benar tidak tahu apa yang aku pikirkan saat itu.
     "Tapi, dia benar-benar menarik." ucapku dengan serius.
     Aku membacakan sobekan kertas itu lagi. Dan terus mengulang tulisannya, di dalam hati.

'Boleh, asal bikinin aku teks pidato'

SANUGRA (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang