7. Mas Rangga

3 0 0
                                    


     Malam harinya, Nugra benaran datang ke rumah. Dia membawa martabak telor dan satu buah durian. Kami menikmatinya bersama-sama.
     "Nugra orang jawa juga, loh, Yah." Aku memperkenalkan Nugra kepada Ayah lagi. Malam itu adalah kali pertama Ayahku bertemu Nugra.
     "Oh, ya? Jawa bagian mana?" tanya Ayahku penasaran.
     "Jogja, Yah," jawab Nugra tersenyum.
     Ayahku mengajak tos bersama. "Dekat dong! Ayah juga orang Solo."
     "Tetangganya Pak Jokowi juga, Yah?"
     Ayahku tertawa ringan menanggapinya.
     Setelah beberapa menit mereka mengobrol. Ayah dan Bunda membiarkan Nugra duduk berdua denganku di ruang tamu.
    Kami saling melempar senyum. Dia membenarkan posisi duduknya untuk lebih dekat denganku. Aroma parfum Nugra menusuk hidungku dengan sopan. Sesuatu hal yang membuatku semakin betah berlama-lama dengan Nugra.
    Matanya melihat ke pintu depan. Kemudian dia menoleh ke arahku. "Di depan ada banyak cowok. Kamu punya kakak?" tanya Nugra dengan alis yang terangkat.
    Aku ikut melirik ke arah teras. "Oh, itu Mas Rangga. Sama teman-temannya, mungkin."
    Meskipun aku belum mengecek. Tapi, aku sudah tahu betul bahwa suara berisik di depan pasti suara Mas Rangga.
    Aku pun menjelaskan kepada Nugra kenapa Mas Rangga bisa tinggal di rumah ini.
     "Tapi keren, sih. Bisa masuk IPB," ujarnya.
    Aku tersenyum tipis, "Iya," balasku.
    Institut Pertanian Bogor adalah salah satu Perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Cukup dekat dengan rumahku. Mungkin sekitar 20 menit jika aku jalan kaki. Kampus ini juga sabgat terkenal di Kota Bogor.
    "Kamu mau lanjut di IPB, lulus nanti?" tanyaku sembari melihat Nugra.
    Dia menggeleng.
    Aku sedikit terperangah.
    "Kenapa?" tanyaku menghela napas pelan.
    "Mau pulang ke Jogja."
    "UGM?" sahutku.
    "Iya," jawabnya tersenyum.
    Aku menatapnya sedih.
    "Kamu mau kuliah dimana rencana?" tanyanya balik.
    "Di IPB," jawabku spontan.
    Nugra mengangguk paham. "Pasti Ayah sama Bunda nggak mau jauh dari kamu."
    Aku tak menjawabnya sama sekali. Kelulusan tinggal setengah tahun lagi. Aku seperti sudah diberi gambaran akan bagaimana hidupku nanti. Nugra akan meninggalkan Dramaga? Meninggalkanku juga? Jauh dari Nugra. Apa aku bisa? Aku masih mau dia.
    "Kamu ingin jauh dari aku?" tanyaku dengan suara lirih.
    "Enggak."
    "Lalu? Kamu mau pulang ke Jogja?"
    Nugra tertawa gemas melihatku. "Masih lama, Dyyy."
    "Enggak lama."
    Dia menatapku heran. "Kita nggak akan jauh, kok."
    Aku tidak mengerti dengan kata-katanya itu. Padahal di telepon dia bilang ingin lebih lama denganku. Tapi baru saja dia bilang akan pulang ke Jogja lulus nanti.
    Aku bingung kenapa perasaanku menjadi kurang aman malam itu. Padahal seharusnya aku perlu meresponnya dengan tenang saja.
     Dia membuka layar ponselnya. Memperlihatkanku playlist spotify yang telah ia buat.
    "Isinya lagu-lagu yang mengingatkanku tentang kamu."
    Aku melihatnya dengan seksama. Kemudian mataku menatapnya. Nugra memang jago membuat perempuan terkesan.
    "Katanya delapan puluh persen hidupmu ada di musik, kan?"
    Aku mengangguk pelan.
    "Biar aku lengkapi dua puluh persennya, ya?"
    Aku tahu itu terdengar menenangkan. Tapi, aku tak mau meresponnya. Singkat saja, malam itu kami mengobrol cukup banyak, meskipun ada yang aku tahan.
    Nugra pulang. Menyisakan kesunyian di ruang tamu. Aroma parfumnya masih tertinggal di sekitar sofa. Aku membereskan meja tamu dan langsung masuk ke kamar.

🤎

     Entah hari apa, sore itu selepas pulang sekolah. Aku pergi membeli makanan kucing di salah satu supermarket. Aku sudah mandi dan ganti baju. Kebetulan langitnya sangat cerah. Aku berniat menonton matahari terbenam di pinggir Danau.
     "Sendirian, ta?"
     Aku menoleh. Melihat Mas Rangga yang berdiri satu meter dari jarakku duduk.
     "Loh? Kamu di sini juga, Mas?" kataku kemudian berdiri.
     "Habis nugas di Cafe. Terus mampir kesini," jawabnya melirik kedai kopi di seberang sana.
     "Di sini dari kapan?" tanyanya.
     "Baru, kok."
     Dia hanya ber-oh ria menjawabku. Sejauh ini, kami tidak pernah mengobrol di rumah. Ketika sarapan di meja makan saja, itu pun masing-masing dari kita bicara seperlunya.
     "Kok tumben, nggak sama cowok itu?"
     Ujarnya memecah keheningan di antara kita. Aku menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaannya. Tapi aku tak meresponnya dengan gugup. "Enggak," balasku sekenanya.
     Nugra, yang Mas Rangga maksud. Beberapa kali, Nugra memang datang ke rumahku. Dia juga sering antar jemputku  untuk sekolah.
     "Boleh? Aku duduk di sampingmu?" tanyanya dengan tatapan lurus.
     Sejenak aku terdiam. "Untuk?"
     "Ngobrol aja."
     Saat itu, aku berpikir bahwa kami tidak perlu secanggung itu. Meskipun dalam hati aku merasa asing dengan situasi baru seperti ini. Kami pun duduk bersama di pinggir Danau.
     "Kamu kelas berapa, sih?"
     "Dua belas."
     "Oh, sudah mau lulus."
     Aku menganggukkan kepalaku pelan.
     "Mau kuliah dimana?" tanyanya.
     "IPB."
     Sejak awal masuk SMA, aku memang sudah mempunyai rencana untuk melanjutkan kuliah di IPB. Biar sama seperti Bundaku dulu.
     "Enggak mau ke luar kota?"
     Aku menaikkan bahuku, "Belum tahu."
     Percakapan ini membuatku tertarik untuk bertanya soal Kampus. Kebetulan Mas Rangga salah satu mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Dengar dari Ayah, sih, dia sudah masuk semester 6.
     Setelah kami terdiam cukup lama, aku pun melontarkan pertanyaan.
     "Tutorial keterima di IPB, Mas?" tanyaku kepadanya.
     Dia menoleh. "Rajin sholat."
     Jawaban itu membuatku tersenyum tipis entah maksudnya apa. Hal ini mengingatkanku tentang Mas Rangga yang suka mabuk saat tinggal di Kosan. Entah itu benar atau tidak, aku rasa bukan urusanku.
     "Rajin belajar, enggak?" tanyaku sambil menaikkan alis.
     "Belajar juga," jawabnya melihatku.
     Kemudian setelah beberapa menit, kami pun menyudahi obrolan ini. Langit sudah ingin menggelap. Aku bergegas untuk pulang. Mas Rangga bilang, malam ini dia akan pergi ke salah satu rumah temannya. "Mas Rangga izin dulu ke Ayahku," kataku saat itu.
     Pikirku sudah kemana-mana, aku takut hal buruk akan terjadi. Aku khawatir kalau Mas Rangga akan macam-macam di luar. Kalau Umi Ais tahu, apa tidak kasihan.
     "Dekat sini, kok."
     Aku melihat dua orang bermotor menunggu Mas Rangga di pinggir jalan. Sore itu, tanpa mau banyak bicara, aku membiarkannya pergi. Aku pun pulang sendiri dengan hati-hati.

    

SANUGRA (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang