6. Pembalap Helikopter

2 0 0
                                    


     Beberapa hari telah berlalu. Akhirnya Ayahku pulang dari Solo. Aku, Bunda dan Bima dikagetkan dengan kedatangan laki-laki yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Ayah bilang, dia adalah anak kerabatnya. Ayah memperkenalkannya kepada kami.
     "Namanya Mas Ranggana. Dia anaknya Umi Ais, tahu?" Aku mengangguk pelan. "Sementara waktu dia akan tinggal di sini. Dia lagi kuliah di IPB," ujar Ayahku lagi.
     Saat mas Rangga masuk ke dalam kamarnya. Ayah sedikit bercerita kepadaku dan Bunda mengenai itikadnya ini.
     Kata Ayah dia turut prihatin dengan umi Ais dan sekeluarga. Mas Rangga sudah dua kali ketahuan mabuk di kamar kos. Kakeknya yang di Solo sangat marah. Mengingat silsilah keluarga yang sangat beradab itu. Umi Ais berharap dengan itikad baik Ayah, bisa memberi dampak baik kepada semuanya. Mas Rangga diajak Ayah untuk tinggal bersama kami saja. Siapa tahu dengan ini, pergaulannya bisa terjaga.
     Setelah mendengar penjelasan Ayah. Aku masuk ke dalam kamar. Aku tak mau ambil pusing dengan kedatangan anggota baru di rumah ini.
     Malam itu rasanya sangat cepat berganti.
     Aku kembali masuk sekolah di hari Jumat. Ponselku bergetar karena notif. Nugra mengirim pesan lewat WhatsApp.
     "Ayo ke kantin, makan bekalku!"
     Aku membalasnya. "Itu kan buat kamu."
     "Aku udah kenyang."
     "Kenyang?"
     "Kenyang lihat senyum kamu."
     Dia selalu begitu. Dia pikir pipiku tidak memerah membacanya?
     "Cepat, Dy. Ku tunggu di kantin ya!" pesan terakhirnya.
     Aku pun segera bergegas menuju kantin.
     Penglihatanku mencari sosoknya. Aku pun menghampiri saat lambaian tangan mengarah ke aku.
     Dimas dan Rian berada di satu meja yang sama. Nugra menarik kursi dan mempersilahkanku untuk duduk. Aku berbisik lirih kepada Nugra.
     "Ini nggakpapa, aku duduk di sini?"
     "Ya nggakpapa," jawabnya.
     Aku pun tersenyum tipis kepada dua teman Nugra itu.
     "Aku sudah ketemu dengan Aksa," ujar Nugra.
     "Oh, ya?" tanyaku serius.
     "Iya."
     Aku melihat wajahnya, "Kamu bilang apa?"
     "Aku minta maaf ke dia," jawabnya.
     "Terus dimaafin?"
     "Iya dong!" ujar Nugra. "Tapi..," lanjutnya menjeda.
     "Tapi apa?"
     "Dia minta opor."
     Aku tertawa, "Yang benar aja, dikira lebaran."
     "Iya, kan maaf-maafan."
     Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku mendengar perkataan Nugra. Tidak penting untuk mempercayainya atau tidak. Yang jelas Nugra selalu bisa menyenangkan hariku.
     Dia pun memberikan bekalnya kepadaku. Aku bertanya kepadanya, "Setiap hari dibawain bekal?"
     Nugra menggeleng. "Enggak, kalau berangkat sekolah aja."
     Aku menatapnya gemas. "Ya, maksudku setiap berangkat sekolah."
     Nugra terkekeh kecil. "Tapi kadang libur."
     "Kalau?"
     "Kalau budhe lagi marah sama aku. Nggak dibawain bekal."
     "Iya?"
     Dia menyahut, "Iya, terus aku makan rumput di Sekolah."
     Aku memutar bola mataku mendengarnya, "Apa, sih. Kamu kan ada uang jajan."
     "Uang jajan ditabung, dong!" jawabnya menatapku sombong.
     "Masa?" remehku tak percaya.
     "Iya, buat biaya nikah sama kamu."
     Aku tersenyum mendengarnya. Dasar! Selalu bisa membuatku memerah.
     "Kalau nggak bawa bekal, dia mah suka ngerebut bekalku!" ujar Dimas melihatku.
     "Benar," ucap Rian ikut menimpali.
     Aku melihat Nugra yang sedang tertawa ringan.
     "Kamu percaya sama mereka?"
     Aku mengangguk.
     "Musyrik kamu. Percaya itu sama Allah. Jangan sama temanku."
     Aku menatapnya geram. Sebelum ditertawakan oleh Nugra sendiri.
     "Kamu ingin menikah di atas langit, kan?"
     Aku menahan tawa.
     "Iya! biar ketemu astronot," jawabku ketus.
     "Tapi nanti kamu, aku borgol, ya?"
     "Kok gitu?"
     "Biar nggak hilang."
     Aku melihatnya sebal, "Kamu nikah sama aku bukan sama tahanan!" geramku lagi.
     Dia tertawa gemas lalu mengelus rambutku pelan. Kalau tidak begitu, bukan Nugra namanya. Candaannya selalu ada setiap hari. Menjadi bagian paling menyenangkan di hidupku. Sungguh!

🤎

     Saat aku sampai di dalam kelas. Rupanya Aksa menungguku sedari tadi. Dia duduk di bangku bersama Nanesa.
     Saat aku mendekat, Nesa segera memberikan ruang agar aku bisa duduk di samping Aksa.
     "Ada apa?" tanyaku.
     "Aku bawain kamu buku. Ceritanya seru. Ini tipe buku yang kamu suka."
     Aksa menyodorkan Buku yang tampak tak asing bagiku.
     Aku tersenyum tipis. "Makasih Aksa. Tapi, aku sudah pernah baca. Dan kebetulan punya di rumah."
     Dia meletakkan buku itu di atas meja. "Wah, iya? Seru kan ceritanya?"
     Aku menjawabnya, "Iyaa."
     "Kalau yang ini sudah pernah baca?" tanya Aksa mengalih ke buku lain yang ia bawa.
     Aku membaca judulnya dengan cermat. "Belum."
     "Isinya bagus loh."
     "Iya?"
     Aksa mengangguk excited. "Mau pinjam nggak?"
     Mataku melihat penasaran dengan buku itu. "Boleh?" tanyaku sambil menaikkan alis.
     "Boleh dong."
     Dia memberikan buku itu kepadaku. Tidak ada yang lebih seru ketika ada buku baru. Aku tersenyum hangat sambil berterima kasih. Tidak sabar untuk masuk ke dalam ceritanya.
     Kemudian Aksa menarikku untuk mendengar salah satu buku yang baru saja ia baca semalam. Dia bilang salah satu genre Romance. Di tengah ceritanya, aku terkejut bahwa ternyata itu, buku yang pernah lama aku baca juga. Alurnya sudah sedikit lupa tapi 70 persen masih ku ingat. Kami pun membahasnya bersama-sama siang itu.
     "Temanin aku mencari buku kayak gini, San," ujarnya kepadaku.
     "Kapan?"
     "Sebisamu."
     Aku mengangguk. "Inshaallah. Aku nggak tahu bisanya kapan," kataku tak mau menjanjikan.
     "Iya," jawabnya dengan lembut.
     Siang itu keadaan aku dan Aksa kembali seperti semula. Sedikit menghangat. Aku meresponnya dengan sekenanya saja. Kami tak membahas yang sudah terjadi beberapa waktu yang lalu. Biar kini mengalir seperti seharusnya.
     Waktu pun berlalu. Kini aku sudah ada di rumah. Entah kenapa, jika sudah ada di kamar, hal paling aku tunggu adalah ketika aku bisa dengar suara Nugra. Selalu dia yang akhir-akhir ini aku ingat. Ku lihat jam dinding itu, sudah mau jam delapan saja. Tapi, dia belum kunjung meneleponku. Aku pun menyibukkan diri dengan buku yang dipinjamkan Aksa.
     Namun baru 5 menit aku membaca, ponselku berdering hebat. Aku turun dan segera meraih ponselku yang ada di atas meja.
     "Assalamualaikum," ucapnya sopan.
     "Waalaikumsalam."
     "Ada yang mau bilang sesuatu," ujarnya.
     Aku tersenyum. "Siapa?"
     "Pembalap helikopter."
     Aku menggelengkan kepalaku heran. Dengan sedikit tertawa, aku mengingat ketika Nugra mendongeng bahwa saat masih di dalam perut, dia ingin menjadi pembalap helikopter. Tentu saja aku menanggapinya dengan ketus. Aku tidak paham kenapa dia suka sekali ngawur. Tapi kalau bukan begitu, kayaknya bukan Nugra, deh.
     "Bilang apa?" balasku.
     "Dia bilang kangen."
     "Kangen siapa?"
     "Kangen kamu."
     Aku hanya tersenyum menanggapinya. Merasa lega mendengar suara Nugra lagi.
     "Dy."
     "Ya?" sahutku.
     "Apa aku berlebihan ke kamu?"
     "Maksudnya?" tanyaku heran.
     "Belum ada sebulan kita kenal, tapi aku ingin selalu memegangmu erat kamu," tukasnya dengan nada bicara yang beda. "Aku ingin kita seperti ini sampai lama, ya?" lanjutnya lagi dengan lembut.
     Aku bingung menanggapinya seperti apa. Ini tak seharusnya dia bicarakan di sini.
     "Akan aku usahakan, Nug," jawabku pelan.
     Nugra diam sejenak. "Selalu?"
     "Ya."
     Di luar rencana hidup aku bisa mengenal Nugra seperti ini. Sama sekali tak ada bayangan bisa merasa senyaman ini bersama laki-laki. Dengan sengaja, mataku melirik jam dinding. "Kok tumben? Jam segini baru menelepon?" tanyaku heran.
     "Habis ngaji," jawabnya.
     Aku membalasnya dengan sedikit hati-hati, "Emang biasanya enggak?"
     "Biasanya iya."
     "Terus?"
     "Apanya yang terus?" tanyanya balik.
     Dengan jantung yang berdebar, aku berbisik lirih.
     "Aku menunggu."
     Nugra terdengar sedikit tertawa di seberang sana. Aku mulai berpikir, semakin hari aku memang semakin berani. Aku tahu itu bukan suatu hal yang buruk. Namun ku rasa Sandykala yang dulu tidak mau seperti ini. Begitulah menurutku. Tapi aku tak ingin gegabah dalam menilai diri sendiri juga. Karena sejauh ini, aku masih hidup dengan kesadaran yang penuh. Apa yang aku alami, menjadi kegembiraan besar di sepanjang hariku.
     "Tadi sekalian cuci motor," jelasnya singkat.
     "Kok malam?"
     "Nggakpapa, kan pakai air hangat," jawabnya nyeleneh.
     Sikap abal Nugra justru yang semakin membuatku merasa jatuh hati. Sulit memahami mengapa aku bisa berkata sedemikian. Mungkin karena aku percaya bahwa rasa cinta bisa kami andalkan. Makanya aku menikmati hidup tanpa ada kekhawatiran. Beberapa saat kemudian, Nugra kembali bersuara di balik telepon.
     "Boleh apel, nggak?
     Tentu senyumku langsung mengembang. Dengan perasaan yang mendalam, aku senang dengan pertanyaannya itu.
     "Izin dulu sama Pak Presiden!" jawabku becanda.
     Nugra bertanya, "Presiden Indonesia?"
     "Presiden Amerika!" balasku selanjutnya.
     "Oh, siap! Bestieku ituuu..," ucapnya bersorak. Nugra memutus panggilan telepon itu. Aku terkekeh kecil dan menyandarkan kepalaku di atas ranjang.
     Selang dua menit. Dia meneleponku lagi. Aku pun segera mengangkat panggilannya.
     "Sudah."
     "Terus?"
     "Katanya diizinin..," ucapnya menjeda.
     "Ya, sudah."
     "Tapi dia minta disalamin ke kamu."
     Aku tertawa mendengarnya.
     "Iya, waalaikumsalam," kataku meresponnya.
     "HAHAHA.." susulnya dengan gelak tawa. "Aku kesitu setengah jam lagi. Mau dibawain apa?"
     Aku menjawabnya, "Bebas aja."
     "Harimau, mau?" sahut Nugra asal.
     "Kamu mau aku diterkam?"
     "Nggak akan. Harimau takut, deh, sama kamu."
     Lagi-lagi aku hanya bisa menggelengkan kepalaku. Nugra benar-benar bisa membuatku merasa hidup. Jatuh cinta ternyata seru. Bersamanya tidak ada rasa bosan. Jika aku bisa mengatur waktu, aku ingin seperti ini terus. Bersama Nugra. Selalu.

SANUGRA (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang