Malam harinya aku dikejutkan dengan kedatangan Aksa yang tiba-tiba. Dia tidak mengabariku terlebih dahulu. Sekitar jam delapan dia datang ke rumahku dengan membawa Roti Bakar favorit Bunda.
Dia menyapa, "Hai, San!"
"Iya," jawabku dan mempersilahkan dia untuk duduk.
"Mau ngobrol aja sama kamu."
"Besok kan ketemu."
"Sekalian mau ngobrol sama tante juga, di sekolah kan nggak ketemu?"
Aku mengangguk pelan dan segera memanggil ibuku. Padahal kemarin malam juga kita sudah keluar nonton bioskop. Apa dia tidak bosan melihatku lagi?
"Hai Tante."
"Hai, Nak," sapa ibuku dengan sopan. "Loh bawain apa ini repot-repot sekali kamu."
"Enggak, kok, Tante." jawabnya.
"Habis lewat apa sengaja kesini?"
"Sengaja dong," ujar Aksa dilanjutkan obrolan lain dengan Bubda. Aku tak memperhatikan betul apa yang dibicarakan mereka selanjutnya.
Sekitar satu jam-an mereka berbincang. Aksa pamit untuk pulang.
"Besok Sandy biar berangkat sama aku boleh, Tante?"
Mendengar itu, aku segera menolak.
"Hah, enggak deh."
Bunda menoleh ke arahku dengan heran, "Kenapa? Lagian sudah kenal lama. Dari pada Kakak naik motor sendiri. Bunda juga khawatir. Mending bareng aja."
"Enggak, Bun. Kakak mau sendiri aja." Aku menjawab dengan pelan sembari menatap Aksa dengan memelas.
"Oh, ya, sudah nggakpapa. Yang penting kamu berangkatnya hati-hati ya, San."
Aku menganggukkan kepalaku.
"Maaf ya, Nak. Mungkin lain waktu Sandy mau," ujar Bunda kepada Aksa.
Sebenarnya Bunda memang selalu baik kepada teman-temanku. Namun ke Aksa dia sangat baik. Bagaimana tidak, Aksa selalu ada disampingku. Dia juga cukup dekat dengan keluargaku. Meskipun aku tak terlalu mempedulikan keberadaannya, dia selalu siap sedia membantuku. Apa lagi ketika kedua orang tuaku menjenguk Nenek di Solo dan aku disuruh mengurus Adikku yang baru masuk kelas 3 SD itu. Dia tidak segan menolongku setiap waktu.🤎
Di meja makan pagi itu, aku tersenyum. Memakan nasi goreng dengan senang hati. Tidak ada yang bisa menyangka aku akan sesemangat ini menjalani hari. Dan tiba-tiba suara ketukan pintu membuatku berdiri.
"Siapa, Kak?" tanya Bunda penasaran.
Aku pun bergegas lari dan membukakan pintu. Seperti yang sudah aku tunggu sejak malam. Nugra datang ke rumahku. "Assalamualaikum," ucapnya.
"Waalaikumsalam," jawabku tersenyum.
"Mana Bundanya?" tanyanya sembari melihat sekeliling ruangan.
"Bentar, ya." Aku mempersilahkan dia untuk duduk di ruang tamu. Sebelum kemudian memanggil Bunda untuk menemuinya.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Bunda." ucap Nugra kemudian salim kepada Bunda.
Bunda menjawabnya, "Waalaikumsalam. Siapa? Kok baru lihat?"
"Joe Biden, Bunda," jawabnya dengan lantang.
"HAHAHAHA.."
"Ngawur!" celetukku dengan tawa ringan. "Namanya Nugra, Bun," tukasku membenarkan.
"Iya, tapi ibu-ibu komplek manggil aku sayang, Bunda."
"Ada-ada saja kamu." Bunda ikut tertawa mendengarnya.
"Anak Bunda juga paling bentar lagi gitu," ujarnya sebelum kemudian aku cubit dengan gemas.
"Kamu, ih."
Pagi itu Ayahku masih di Solo. Jadi, Nugra hanya bertemu dengan Bunda dan Adikku. Sedih sih Ayah tidak ikut merasakan kesenangan ini.
"Namanya siapa?" tanya Nugra kepada Adikku.
"Abimana."
"Namanya bagus, Bunda." Nugra melihat ibuku.
"Iya, kalau kasih nama anak memang harus begitu. Biar kelak bisa jadi orang yang bagus juga," tuturnya.
Nugra tampak mengangguk, "Tapi Sandy nggak bagus, ah," katanya melirikku.
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Nggak bagus, tapi cantik."
Saat itu, aku mencandui tatapan hangat Nugra. Suaranya juga. Senyumannya apa lagi.
"Nanti main lumpur, ya, sama mas Nugra?" ajak Nugra kepada Adikku. "Jangan dong!" tolakku dengan kerungan wajah.
"Ya, sudah main bekel, mau?"
Bima tertawa, "Kakak pikir aku anak cewek."
"Oh, berarti aku ajak kakak kamu aja ya? Oke?"
"HAHAHAHA..."
Setelah obrolan lucu itu. Nugra pun izin pamit kepada Bunda. "Izin, ya, Bunda. Mau ngajak Dy sekolah," ucapnya sembari melirik jam tangannya. Aku menatapnya gemas. Perkataan itu seolah-olah aku tidak pernah sekolah sebelumnya.
"Iya, hati-hati ya. Bunda titipin ke kamu."
"Siap, nanti pulang dalam keadaan sehat dan serta mulia, Bunda!"
Entah sudah berapa kali aku tertawa pagi itu. Rasanya Nugra benar-benar membahagiakan semua. Tidak ada lagi yang bisa aku jelaskan. Hari itu, ketika pertama kali kita naik motor yang sama. Aku disetirin Nugra, tapi bukan pakai kapal.
"Kok kamu manggil Bundaku, Bunda juga?"
"Iya, soalnya aku mau."
"Biar apa?" tanyaku masih di atas motor.
"Biar bisa deketin anaknya." katanya.
"Anaknya yang mana?"
"Yang lagi aku boncengin."
"Oh, yang selalu dibikin ketawa sama mas mas Jogja, ya?"
"HAHAHAHA.."
Setelah itu, hal-hal baik semakin banyak terjadi. Aku merasa menjadi orang paling beruntung sudah kenal Nugra.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANUGRA (ON GOING)
Romans"Kamu hal paling menyenangkan untukku. Aku pernah berharap itu selalu."