Satu

6.4K 322 56
                                    

Aku melihat wanita itu memeluk lukanya sendirian

Ia menyusun kembali kepingan hati yang berserakan

Ia menelan sumpah serapah dan menggantinya dengan doa yang dilangitkan

Wanita itu, memilih bangkit dan melepas kesakitan

Tak lagi meletakan rasa percaya di mana pun selain pada Tuhan

-Naya-

Naya, perempuan berusia 27 tahun itu tersenyum setelah membubuhkan sign berbentuk kupu-kupu yang selalu menjadi ciri khas di akhir catatannya. Menulis adalah satu kegiatan rutin yang hampir tidak pernah ia tinggalkan, karena bagi Naya, menulis bukan hanya tentang menerjemahkan rasa ke dalam kata, tapi lebih dari itu, menulis adalah caranya menyembuhkan diri dari luka dan mengalirkan rasa dengan cara yang menyenangkan.

Buku bersampul abu-abu itu simpan di antara deretan buku catatan lainnya yang sudah dia 'museumkan' sejak dia duduk di bangku SMA, jangan tanya ada berapa banyak buku catatan yang dimiliki Naya, karena jawabannya adalah banyak, saking banyaknya bahkan hampir menyaingi koleksi buku bacaan yang dimiliki perempuan itu.

Ia kemudian berjalan ke dapurnya untuk menyeduh teh bunga krisan yang dia campur dengan madu. Salah satu fakta tentang Naya adalah hampir setiap pagi dia mengawali harinya dengan secangkir teh, karena lambungnya tidak memiliki toleransi terhadap kopi jenis apa pun. Tapi jika ada yang bertanya padanya kenapa dia lebih menyukai teh dari pada kopi, perempuan itu akan menjawab, membedakan rasa kopi terlalu sulit, sama sulitnya seperti membedakan perasaan manusia, kata perempuan itu.

Naya menikmati matahari terbit lewat jendela kamarnya, duduk dengan manis di reading nook sambil menikmati secangkir teh dan membaca jurnal penelitian. Tidak, Naya bukan seorang akademisi, dia hanya seorang editor yang senang membaca, dan jurnal adalah salah satu bacaannya. Setiap pagi ia sempatkan paling tidak membaca satu jurnal.

Dering ponsel Naya mengalihkan konsentrasinya, kening perempuan itu membentuk lipatan, ia agak penasaran juga siapa yang meneleponnya sepagi ini. Naya mendesah lega saat melihat id kontak pemanggil yang tertera di layar ponselnya. Rupanya rekan kerjanya.

"Nay." Seru seseorang di seberang benda pipih yang sekarang ia tempelkan di telinganya.

"Iya, Ca." Sahut Naya tangannya sibuk mengolesi roti tawar dengan selai coklat.

"Kamu bakal garap novelnya Cecilia?" Tanya perempuan yang dipanggil Ca itu terdengar penasaran.

"Iya, kenapa?" Naya mengalihkan ponselnya ke sebelah kiri.

"Ya ampuuuun, sabar ya kamu, dia kan terkenal nyebelin banget." Teriak perempuan itu histeris.

Naya tertawa ringan. "Aku udah lumayan terlatih sih gara-gara pegang novelnya Maxi." Kekeh Naya mengingat penulis paling menyebalkan yang sesuai ia tangani sekarang.

Perempuan itu mendengar cebikan dari temannya, ia bisa membayangkan wajah bangun tidur perempuan itu. "Itu mah belum seberapa Nay, liat aja nanti pokoknya, lagian kamu gitu banget sama idola aku." Ujar teman Naya yang sebenarnya menaruh simpati pada perempuan itu.

Naya memutar bola matanya ke atas. "Ya mudah-mudahan Allah kasih aku kesabaran setebel kamus deh ya." Kekeh Naya santai.

"Aamiin deh, ya udah aku cuma mau mastiin itu aja sih. Nanti ketemu di kantor ya." Pungkas si penelepon lalu memutuskan sambungannya.

Naya mengerutkan kening masih selalu tak habis pikir dengan tingkah ajaib temannya yang satu itu, seperti barusan dia menelepon pagi-pagi sekali hanya untuk menanyakan penulis yang akan dia garap. Satu tahun terakhir ia berpartner dengan perempuan bernama lengkap Raisa Nahra di bagian buku fiksi, karena sebelumnya jobdesk Naya di buku nonfiksi. Kalau saja boleh memilih, sebenarnya Naya lebih senang menggarap buku nonfiksi, tapi bagaimana lagi sebagai pekerja dia hanya bisa menerima titah atasannya kan?!

In Seventh HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang