Hegar tidak menyangka jika pertemuan Heksa dan Genta bisa membuat suasana seramai ini. Mereka terlalu berisik untuk dunia Hegar yang biasa senyap. Keduanya asyik mengobrol sambil nonton di lantai bawah, dengan tawa yang menggema hingga ke kamar Hegar. Padahal, baru berapa kali mereka bertemu tapi sudah tampak akrab. Biasanya hanya saling bertukar kabar lewat pesan singkat, jadi Hegar tidak tahu mereka akan cocok.
Merasa terusik, Hegar berjalan pelan menuruni satu per satu anak tangga, masih lengkap dengan setelan tidur dan muka bantal, hendak bergabung dengan kakaknya juga Genta.
"Lho, Dek? Kok bangun?"
"Mas sama Genta berisik banget gimana enggak bangun?"
Heksa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sebenarnya ia tidak berniat berisik, hanya saja apa yang mereka tonton sungguh di luar nalar lucunya. Drama Korea berjudul Welcome to Waikiki, membuat keduanya tertawa terpingkal-pingkal.
"Ya, maaf. Mas pikir suara kita enggak kedengaran sampai kamar kamu," sahut Hegar. "Kamu udah enakan?"
"Hm, udah." Hegar mengambil posisi duduk di tengah-tengah Heksa dan Genta, melipat kaki, kemudian menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa.
Heksa mendaratkan punggung tangannya di dahi Hegar. "Pusing enggak?"
"Hm."
Heksa menggerakkan tangannya memberi pijatan pelan, membuat Genta yang duduk di sudut lain diam-diam tersenyum. Mau setangguh apa pun Hegar di luar sana, dia bisa bersikap kekanakan di depan orang yang membuatnya merasa nyaman.
"Mas."
"Kenapa, Dek? Terlalu kencang pijatnya?"
"Bukan."
"Terus kenapa?"
"Kalau ada apa-apa sama aku, titip mami, ya? Aku tahu ini permintaan yang egois setelah apa yang aku dan mami lakukan sama keluarga Mas, tapi enggak ada lagi yang bisa aku percaya." Hegar tidak peduli bicara seperti itu di depan Genta, toh anak itu sudah tahu banyak cacatnya.
"Ngomong apa, sih, Dek? Hasil pemeriksaannya aja belum keluar. Kalau sehat alhamdulillah, sakit pun bisa berobat."
Hegar tak menjawab. Ia bukan tak menyadari kondisinya belakangan ini. Nyeri ulu hati yang persisten, mual, muntah, nafsu makan menurun drastis, demikian pula berat badannya yang terjun bebas hanya dalam kurun waktu dua bulan. Pikirannya semakin ke mana-mana setelah muntah darah di rumah sakit malam itu.
"Enggak usah mikir aneh-aneh."
"Kan titip aja, Mas. Bisa kejadian bisa enggak."
"Mami kamu bukan barang. Jagain sendiri." Heksa mengerti betul kondisi Hegar sekarang sebab ia pernah di posisi yang sama saat menunggu hasil pemeriksaannya dulu.
"Mas, aku pengin makan." Hegar memilih mengalihkan.
Sebelah alis pria bertubuh jangkung itu terangkat mendengar penuturan sang adik. Tidak biasanya Hegar semanja ini. "Makan apa? Bubur aja, ya? Yang lembut-lembut dulu. Mas jago masak bubur."
"Boleh."
"Ta, mau ikut masak atau di sini nemenin Hegar?"
"Ikut Mas Heksa aja, deh. Mas Hegar lagi mode maung."
Heksa terkekeh, kemudian mengajak Genta ke dapur untuk masak bersama. Sementara Hegar memilih merebahkan tubuhnya, meringkuk di sofa, membiarkan rasa kantuk kembali menenggelamkan sadarnya.
Di dapur Heksa sibuk memasak, dan Genta dengan sigap membantu.
"Ta, tolong jagain Hegar, ya, kalau Mas lagi enggak di Bandung. Dia sok kuat kelihatannya, tapi dia butuh seseorang buat selalu ada. Mas percaya sama kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Banyak Lukanya
Roman d'amourDibesarkan oleh ayah berengsek serta cap pelakor yang melekat pada diri sang mami membuat hidup Hegar tak pernah mudah. Sekeras apa pun berusaha menunjukkan kepada dunia bahwa dia berbeda, mereka tetap memberi tatapan seolah Hegar sama hina. Beranja...