Chapter 20

954 113 16
                                    

"Ta, tolong urus administrasi saya. Saya langsung ke klinik sekarang. Kakek udah di sana," ujar Hegar sembari menyerahkan black card dari dompetnya.

Genta tak langsung menjawab. Ia baru bangun tidur dan belum bisa mencerna maksud ucapan Hegar dengan sempurna. Pemuda itu mengerjap beberapa kali sembari memperhatikan seorang perawat yang tengah melepas infus Hegar.

Melihat Genta tak langsung sadar, Hegar terkekeh. "Lama banget ngumpulnya. Bangun cepat. Ini saya buru-buru. Kayaknya mau pakai taksi online aja. Nanti kamu bawa mobil saya ke rumah, jangan nyusul ke klinik. Sekalian juga bilang Mas Heksa enggak perlu ke sini. Nanti ketemu di rumah aja agak malam."

"Tapi, Mas ... nanti saya diomelin Mas Heksa."

"Kalau sama kamu enggak akan seberapa galak. Kalau saya yang bilang bisa langsung ngamuk. Jadi, tolong telepon aja."

Genta akhirnya mengiakan. Ia seperti sudah hilang tenaga untuk berdebat dengan Hegar. Sampai mulutnya berbusa pun lelaki itu pasti tidak akan mendengar. Apalagi kali ini berkaitan dengan kakeknya. "Kok Pak Marsel tiba-tiba ke klinik? Ada apa, Mas?"

"Kata Alea, kakek bilangnya kunjungan aja. Enggak cuma ke Infinity Bandung, tapi berencana ke cabang lain juga. Saya ada kemungkinan ikut nanti."

"Baru beberapa menit yang lalu saya mikir buat enggak debat dulu sama Mas Hegar, tapi dengar itu langsung kepancing lagi. Saya tahu saya bukan siapa-siapa, cuma karyawannya Mas Hegar, tapi boleh, dong kalau sekadar mengingatkan? Mas Hegar jangankan keliling ke beberapa kota, kemarin dari rumah ke klinik, dari klinik ke rumah sakit aja tumbangnya bikin heboh. Ini baru lepas infus terus bilang ada kemungkinan ikut keliling ke beberapa kota? Yang benar aja, Mas. Mesin aja kalau dipaksa terus bisa ngebul, apalagi tubuh manusia."

"Saya udah enggak apa-apa, Ta. Enggak lemas kayak kemarinlah lumayan. Lagi pula, pekerjaan saya, ya, tanggung jawab saya. Enggak mungkin saya bersikap cuek dan hanya mementingkan urusan pribadi," sahut Hegar santai.

"Ada toleransi untuk karyawan yang sakit, masa bosnya enggak boleh sakit? Itu muka Mas Hegar aja masih pucat banget kayak enggak ada darahnya."

Hegar menghela napas. Ia sedang malas bertengkar, tetapi Genta malah memaksanya banyak bicara. Hegar melakukan beberapa prosedur karena berstatus sebagai pasien yang “memaksa pulang” atau pulang atas permintaan sendiri. Dokter dan perawat sudah memberi edukasi perihal risiko asuhan medis yang tidak selesai, tetapi pria itu tetap bersikeras dengan keputusannya.

"Kalau kamu keberatan, saya bisa urus sendiri."

Pemuda bertubuh jangkung itu berdecak sebal, kemudian masuk ke kamar mandi. Ia yakin Hegar bukan tidak menangkap maksud ucapannya. Dia sengaja bersikap demikian agar Genta tak bisa membantah lagi. Genta membasuh wajah, kemudian menyikat gigi, tetapi tiba-tiba gumpalan tisu di sisi tempat sampah mencuri perhatiannya. Mata Genta menyipit, mencoba melihat lebih dekat. Darah? Dia bertanya dalam hati.

Apakah Hegar muntah darah lagi seperti di mobil tempo hari? Namun, Genta tidak mendengar apa pun dari malam hingga pagi tadi. Apakah karena tidurnya terlalu nyenyak? Tidak mungkin. Mau senyenyak apa pun, jika semalam terjadi sesuatu Genta pasti mendengarnya. Apalagi ada Heksa di sana. Dia masih berusaha berpikir positif.

Sementara di luar, begitu sang perawat selesai melepas infusnya, Hegar langsung bertukar pakaian dan bersiap. Sebenarnya, Hegar masih begitu lemas. Berdiri sedikit lebih lama saja, ia langsung berkunang-kunang. Namun, ia tidak bisa membiarkan sang kakek membuat kekacauan di sana. Kasihan karyawannya. Hegar saja pusing, apalagi mereka semua. Meskipun yakin kakeknya tidak akan secara langsung memberi perintah yang memusingkan, pasti ada saja ulahnya.

Tak berselang lama, Genta keluar dari kamar mandi, kemudian berkata, "Saya urus administrasinya dulu. Mas tunggu di sini. Saya antar ke klinik juga. Tolong kali ini dengerin saya. Saya cuma minta itu, enggak akan ngelarang apa pun lagi."

Aku Banyak LukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang