hatinya bagai kecapi yang tenang,
ketika tersentuh, akan menggema.
Kebahagiaan? seperti apa rasanya? apa itu seperti kupu-kupu yang bisa bebas menari diantara bunga dan pohon? kuharap aku bisa merasakannya, setidaknya.. meskipun keinginanku untuk hidup sudah habis dimakan delusi ini.__________________________________________
Lampu memencar luas dan menerangi jalanan Kota Noir. Hanya sedikit lampion berkilauan di Gereja Katedral Saint Petrus. Beberapa juga menyinari dermaga kecil disepanjang sungai Meer. Penduduk kota lebih memilih beristirahat dirumah ketika malam tiba. Meskipun sudah larut, sedikit nelayan dan buruh masih dapat terlihat menembus kesuraman. Beberapa diantara mereka masih berada di perahu kayu. Mereka tampak tergesa-gesa menyiapkan jala di geladak kecil yang penuh dan berantakan. Sementara itu, para buruh cepat-cepat menyeret hasil tangkapan ke tempat yang aman.
Dari selatan sungai Meer terlihat rumah tua di wilayah Avia, rumah yang dibangun pada akhir tahun 1800-an. Nampak dinding dari batu yang tersusun serampangan dan pagar yang sudah tidak lagi seimbang. Seakan menandakan pemilik rumah yang sangat tidak peduli dengan apa yang dimilikinya.
Sudah lewat tengah malam, tapi salah satu jendela kamar masih terbuka lebar, dengan gorden tipis terbang tertiup angin. Sinar bulan purnama telah timbul di langit yang kini berwarna biru kelabu. Cahayanya jatuh ke meja yang penuh tumpukan cerita tidak masuk akal. Dari kasurnya yang sudah lapuk, seorang pemuda berjalan ke arah kalender yang berada di sudut kamar, dengan tepat dia menunjuk kearah tanggal tiga bulan tiga. Rasa takut dan ragu sudah tidak terasa lagi, dia menggigit jari telunjuknya dan menutup tanggal itu dengan tanda silang besar dari darahnya. Besok adalah harinya, mungkin hari ini adalah hari terakhir dia bercerita dan menulis tentang apa yang dirasakannya tiap hari.
Tiba-tiba penyakit yang dideritanya sejak kecil kambuh lagi. Suatu adegan acak selalu muncul didepan matanya, berkisah tentang ketidakmungkinan yang terjadi, ketidakpastian yang pasti, dan keragu-raguan yang berani dihadapi. Setiap kali penyakit nya datang, pandangannya menjadi kosong dan matanya terpaku ke depan, badannya tegak sempurna dengan tangan diatas paha. Suara sekitar sedikit demi sedikit menghilang, Tangannya dapat meraba, kakinya seakan bisa berjalan diatas air, dan hembusan angin terasa sangat nyata mengenai wajahnya.
Perlahan dia melihat pentas yang dibangun dengan cepat. Kebahagiaan ilusi telah datang menyambutnya, lagu klasik bermain mengiringi langkahnya yang pendek, orkestra megah disertai sayatan violin yang memecah telinga. Atmosfer Opera besar datang dengan tempo semakin cepat tiap detik, seakan menyanyikan lagu pengakhir hidup yang indah untuknya.
Dia terbangun. Kali ini delusinya berakhir lebih cepat dari biasanya.
Pemuda itu bergegas mengambil buku dan menuliskan cerita ke-3332 dari adegan delusinya.
"Lagu Penghujung Hari"
Tertulis jelas di kepala kertas. Menjelaskan secara detil tentang apa yang dirasakannya, semuanya.
Setelahnya dia melamun dan bergumam.
"Jika aku mati.. apakah orang lain akan sadar bahwa sebelumnya aku pernah ada?" Terlintas di pikirnya.Dirayu tiupan angin malam yang tenang, tanpa sadar dia tertidur di atas meja.
___________
Kini Matahari pagi telah datang menggantikan sendunya sinar bulan purnama, ditemani sedikit embun yang masih tersisa di bagian tengah jendela. Suara langkah kaki terdengar jelas menuju ke arah kamar, pintu dibuka dengan suara keras. Pria paruhbaya datang dengan rambut acak-acakan, sengatan bau alkohol yang seperti fermentasi singkong keluar dari mulutnya, tidak ada satu nyamuk pun yang sanggup bernafas di sekitarnya. Pria itu dengan cepat datang dan menghampiri pemuda yang tertidur diatas meja.
Tanpa ragu dia menjambak rambut belakang pemuda itu, lalu membantingnya ke meja, sehingga bajunya terdapat noda merah dari darah yang keluar dari hidung dan bibirnya. Setidaknya terdengar belasan kali suara keras, seperti orang yang mendobrak pintu. Tanpa bisa melakukan perlawanan sedikitpun, suara rintihnya seperti memberi melodi kesedihan terhadap irama pukulan ayahnya.
Kesenangannya mulai hilang dan berganti menjadi rasa bosan setelah menjadikan anaknya sebagai samsak tinju. Tidak lupa dengan hidangan penutup yang keji, ludah dilemparkan tepat di atas rambut dan sedikit mengenai dahi. Dia tidak merasa bersalah sedikitpun, suaranya pecah akibat amarah, berteriak sekali lagi dan mengacaukan kamar, sesaat dia berjalan keluar, pria itu terhenti didepan pintu. Dia menatap mata Edgar dan menggeramkan ancaman yang sedikit tidak terdengar.
"Matilah Edgar, aku sudah muak denganmu." Ucapnya dengan nada dingin.
Itu seperti kenangan masa lalu yang terjadi lagi, rasa trauma akan kekerasan yang dilakukan ayahnya, dan juga merupakan salah satu alasan orang tuanya bercerai. Edgar masih belum berdiri, tetap diam ditempat terakhir ayah memukulnya. Menatap ke sekujur tubuh, mencoba menahan sakit dengan mengerutkan wajahnya. lebam terlihat di bagian tangan dan kaki.
Sedikit saja dia tertawa.
"Lucu sekali, rasanya semua hal ingin mengucapkan selamat tinggal kepadaku." Edgar berkata saat dia juga sedang membersihkan darah di hidungnya.
"Tanpa disuruh pun aku akan mati hari ini." tambahnya dengan nafas berat.
Rasa penasaran akan kematian sudah berada di ujung kepala, keinginan yang ditulis indah di cerita terakhirnya, dengan latar dan waktu yang sudah disiapkan. Sore nanti, ketika matahari setengah tenggelam, berlatar di jembatan penghubung distrik, jarak antaranya (sungai dan jembatan) setinggi gedung sebelas lantai. Tepiannya sangat indah, dipenuhi bebatuan besar dan bunga liar bermekaran diujung semak, suatu keindahan yang akan menjadi akhir. Sebagai tempat dimana Edgar akan melihat kejamnya dunia untuk yang ke terakhir kalinya.
Darah dihidungnya telah berhenti mengalir, langkah kecil yang menjadi berat akibat lebam di kedua kakinya. Aroma kehidupan yang kian memudar, dengan lemas dia pergi ke sekolah untuk yang terakhir kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Terindah
RomanceEdgar, pemuda pengidap delusi yang selalu menuliskan cerita tentang apa yang dirasakannya. Terlahir dari keluarga yang rusak, dan harus dipaksa untuk bisa menahan kekerasan dari ayahnya. Tidak bahagia adalah hal yang sangat mudah untuk disimpulkan...