Aphrodite Menjadi Dirinya (1)

25 8 1
                                    

Sesaat Edgar melangkah dari rumahnya. Di sana dia menemukan Bu Mutia, tetangga yang biasa dipanggil Bunda oleh orang kampungnya, dia sedang memperhatikan karya pohon jeruknya, yang mekarnya mulai memudar. Dia adalah wanita anggun dan jangkung yang berusia awal lima puluhan. Rambutnya pirangnya panjang terurai dibawah topi kebun yang halus. Bunda Mutia tersenyum ketika melihat Edgar, dan memberi tanda supaya pemuda itu menghampirinya.

"Apa kabar? Lebih baik, aku harap." Dengan lembut, Bunda Mutia menyentuh luka di kepala Edgar.

"Aku baik-baik saja."

"Istirahatlah, tidak perlu terlalu memaksakan dirimu Edgar, aku sudah tahu semua cerita tentang ayahmu. Disini aku akan selalu mendukungmu."

"Tidak apa Bunda Mutia, aku harus pergi ke sekolah hari ini. Beberapa pekerjaan rumah harus kukumpulkan."

"Aku kasihan, tapi aku juga bangga kepadamu.. Aku akan mencoba mengurus ayahmu. Jadi, tetaplah kuat Edgar." Ucap Bunda Mutia

"Terimakasih." Edgar dengan pelan berjalan lagi ke arah sekolah.

Perjalanan terasa tenang di iringi lambaian pohon yang syahdu, dua puluh menit lebih telah ditempuhnya. Lapangan sekolah terpampang luas dengan mistar gawang di sisi depan dan belakangnya, koridor yang panjang harus dilalui. Dia ada, namun keberadaan nya seperti dianggap tidak ada, matanya selalu tertunduk tiap kali melawati siswa lain. Kelasnya berada di lantai dua tepat di sebelah tangga. Kelas 11A tertera di bagian atas pintu ruangan. Satu tahun lebih dia berada disekolah ini, namun tidak ada satupun siswa yang dia kenal.

Pelajaran dimulai, guru mulai menjelaskan mata pelajaran tentang ilmu alam, memperlihatkan struktur sel dan inti nya. Edgar yang duduk sendiri di bangku paling belakang tiba-tiba merasakan perubahan suhu, kulitnya terasa sangat hangat, namun menenangkan. Tubuhnya seakan dibawa terbang dan dipaksa memasuki portal berwarna hijau. Setelahnya, dia terjatuh diantara membran sel, ia melihat kedepan. Tikungan dalam mitokondria sangat jelas didepan matanya, pergerakan aneh dari sirklus kerbs yang sedang memberikan manfaat kepada lainnya. Satu bola kecil didalam bola besar telah mencuri pandangnya. Nukleus, inti dari seluruh hal aneh disini.

Edgar berkeliling sebentar, bermaksud menghilangkan rasa penasaran tentang hal disekitarnya. Dia terhenti diantara ribosom, dia terpaku melihat tikungan-tikungan aneh mulai berdiri dan terbang mengikat kedua tangannya. Tanpa sadar lututnya sudah terkunci dibawah lantai sel. Nukleus yang sebelumnya hanya bongkahan bola kecil, sekarang menjadi besar dan memiliki mulut sebesar diameter nukleus itu sendiri. Terdapat puluhan gigi runcing, dengan liur kental menetes diantara dagu dan bibirnya. Dengan gerakan pelan tapi pasti, bola aneh itu datang kearah Edgar.

"Apa-apaan!" Edgar berteriak dan memejamkan kedua bola matanya.

Disisi lain, di satu kehidupan dimana manusia masih menjadi tokoh utamanya. seorang gadis datang menepuk pundak Edgar. Karenanya Edgar terbangun dari delusinya.

"Hei, kamu kenapa kok dari tadi diam terus? Bahkan kamu gak memperhatikan guru didepan" Tanya gadis itu.

"Tolong aku!" Ucapan terakhir Edgar di dalam delusinya masih terbawa ke dunia nyata

"Kamu kenapa?"

"Eh.. A-aku baik-baik saja, ada apa?" Edgar merasa aneh dan malu, karena sebelumnya tidak ada satu orang pun yang mencoba memulai pembicaraan dengannya.

"Aku Mira. Aku biasa duduk didepan, em.. kamu sibuk gak? Temenin aku ke kantin yuk" Tanpa basa basi, tapi terlihat pipinya menjadi warna merah

Dengan irama rendah yang memikat dan menggetarkan, semuanya menyusup ke dalam hati Edgar secara perlahan dan tanpa disadarinya. Dimatanya tergambarkan perawakan Mira yang tinggi, agak ramping dan berkacamata. Soal kecantikan wajahnya, bahkan debu pun akan malu jika bertabrakan dengan parasnya. Bagai kilauan cahaya dari bayangan yang muncul akibat pengaruh opium. Kulitnya putih bersih, rambut hitam legam yang lurus dikuncir kebelakang. Terlihat garis hidungnya yang lembut, mulutnya yang memikat ketika diperhatikan. Lesung pipit yang dimilikinya bisa menghibur jiwa yang kehilangan arah, dan giginya dapat dengan mudah memantulkan kembali cahaya yang menyorotinya.

"Eh.. Iya gakpapa kok." Edgar dengan senyum ragu dia membalasnya.

Bagi Edgar ini seperti kejadian sekali seumur hidup, dia bisa merasakan perbincangan yang santai dengan teman sebayanya, meskipun terasa sedikit canggung. Perkenalan yang sebelumnya singkat kini dilanjutkan di perjalan menuju kantin, sehingga rasa penasaran satu sama lain dapat menghibur suara lapar diperut mereka. Tujuan mereka sudah tinggal beberapa langkah lagi, Edgar terasa asing dengan situasi ini. Orang lain makan bersama dengan teman bahkan sahabatnya, tidak sedikit dari mereka yang bercanda gurau.

"Apa ini benar-benar boleh?" Edgar tertunduk setelah melihat sekitar.

"Ayolah, semua orang punya hak disini, kau pun juga punya hak yang sama." Lembut tangan Mira menyentuh bagian bawah dagu Edgar, mencoba menghilangkan rasa cemas miliknya.

"Disana!" Mira berteriak. Tanpa aba-aba, Mira menarik tangan Edgar, menyeretnya dan berlari kecil kearah meja kosong di tengah keramaian.

"Untungnya kita dapat kursi." Ucap Mira saat tangannya juga sedang merapikan rambutnya.

"Iya" Balas Edgar. Suaranya kalah oleh keramaian.

"Ohya Edgar, kenapa kamu selalu diam dikelas? Apa kamu punya masalah?"

"Sedikit."

Tanpa dilebih-lebihkan namun tidak lengkap, Edgar bercerita sebagian masalah hidupnya. Mira terkejut setelah mendengarnya, dia sangat tidak percaya kalau Mira adalah teman pertamanya. Mata Mira yang tanpa ragu dan tidak ada niat jahat apapun di dalamnya, dia merespon.

"Baiklah, aku akan jadi temanmu, sekarang kamu gak akan kesepian lagi." Mira menjawab cerita Edgar dengan senyuman.

"Terimakasih. Tapi sebenarnya aku bingung."

"Kenapa? Kamu boleh kok tanya apa aja ke aku." Mira percaya diri.

"Apa artinya hidup?" Tatapan Edgar menjadi sayu.

Mira terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Perasaannya mengatakan, dia harus bisa menjawab dengan benar, meskipun dia juga tidak yakin apa arti hidup yang sebenarnya.

"Arti menjadi hidup.. aku pikir itu adalah waktu yang bisa kita gunakan untuk menikmati momen disetiap langkah yang telah kita tempuh. Menemukan seorang yang bisa mengimbangi cara berpikir dan canda tawamu, seorang yang dapat menghilangkan kesedihan dari tangismu, dan bisa menjagamu tetap bangkit meskipun diterjang pahitnya kehidupan." Tenangnya jawaban Mira seakan dia sedang dirasuki oleh dewa Ibis dari thoth.

"Tapi ... Apakah aku bisa menemukan orang yang seperti itu?" Tanya Edgar

"Aku orangnya! Aku bisa menjadi alasanmu untuk tetap menjalani hidup." Mira dengan tegas membalas.

"Tapi kenapa? Orang sepertimu, harusnya tidak perlu memperhatikan orang sepertiku."

"Kau salah Edgar, aku juga sama denganmu. Aku juga hanya memiliki satu teman, dan itu kamu. Sebelumnya aku selalu terbaring dirumah sakit karena penyakit parah yang kuderita. Dan ini kali pertamaku aku bisa melakukan sesuatu yang aku mau." Kata Mira.

Tanpa satu pun dari mereka mengucapkan kata. Tatapan keduanya seakan setuju kalau mereka akan saling menjaga satu sama lain. Selama percakapan itu, Edgar menjadi lebih tenang, ketika semua pikirannya berlomba-lomba, bertubrukan secara bersamaan. Akhirnya dia menemukan alasannya untuk hidup, sehingga sanggup untuk membuang keinginan sebelumnya. Cerita berjudul "Lagu di Penghujung Hari" bukanlah menjadi akhir yang pasti. Rasa ingin mati dikalahkan oleh janji tidak tertulis dari Mira.

"Sepertinya aku memang disuruh untuk tetap menulis cerita." Ucapan Edgar menutup pembicaraan mereka.


















Cerita Terindah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang