Aphrodite Menjadi Dirinya (2)

18 4 0
                                    


Lukisan berwarna jingga telah bertandang di langit. Dengan hiasan awan kelabu dan sedikit ungu di tepinya. kegiatan pembelajaran telah berakhir, gerbang sekolah dipenuhi dengan siswa. Dari banyaknya mereka, terlihat sibuk berbincang-bincang , seolah sedang membahas hal yang penting bagi mereka.

Sesaat kaki Edgar keluar dari gerbang. Terdengar suara Mira memanggil namanya. Mira berlari kearah pohon kersen tempat Edgar berdiri. Rok nya sedikit saja memperlihatkan lutut putihnya, dasi di bawah kerahnya sama sekali tidak terganggu dengan gerakannya yang terburu-buru. Dia datang, badannya terbungkuk tapi dia ingin mengatakan sesuatu kepada Edgar.

"Fyuhh.. Rumahmu dimana? Mau pulang bareng gak? Aku gak ada temen soalnya."  Mira dengan nafas ngos-ngosan.

"Boleh aja, Aku di Avia"  Ucap Edgar.

"Sipdeh" Balasan dari Mira.

Jawaban Edgar yang dingin dan singkat. Bukan karena ingin terlihat keren atau apa, dia benar-benar masih belum terbiasa ketika seseorang mengajaknya berbicara. Berbanding terbalik dengan Mira yang sangat berinisiatif dalam satu pembicaraan. Sore itu mereka pulang bersama, angkutan bus sudah tersebar luas keseluruh kota Noir, namun karena harganya sedikit mahal, tidak sedikit siswa yang memilih untuk mencari alternatif lain. Karena Edgar dan Mira berasal dari keluarga yang tidak mampu, mereka juga tidak bisa mencari alternatif lain seperti siswa lainnya. Terpaksa setiap hari mereka harus jalan kaki untuk kembali. Sudah lama mereka berjalan, tapi perbincangannya masih dipenuhi topik dan sesekali terdengar mereka tertawa. Sekitar 10 menit berjalan lurus dari sekolah, disana ada pertigaan. Di sisi kiri terlihat Jembatan Lywock, jembatan penghubung wilayah Avia dan desa Silon. Disebelah kanan hanya ada jalan menuju desa kecil. Desa Silon atau biasa dikenal desa perkebunan, karena mayoritas dari penduduknya hanya bekerja sebagai tukang kebun. Karena rumah mereka tidak dalam satu wilayah, mereka terhenti di persimpangan itu. Mira mengepalkan tangannya lalu menjulurkan ke arah Edgar.

"Ngapain?" Tanya Edgar.

"Ini tuh namanya tos, kamu gini aja gak tau. Ini biasanya dilakuin sama temen yang kamu kenal. Ya m-meskipun aku juga baru tau kemarin waktu baca komik." Mira menjawab

"Ahahahh, terus ini di gimanain?"

"Kepalin tanganmu, terus tinggal tos. Percaya gak percaya katanya bisa nambah umur."

"O-oke" Meskipun bingung tapi Edgar tetap membalas tos Mira.

kalimat "sampai bertemu lagi" diucapkan didekat jembatan. Mira melambaikan tangan dan segera berjalan ke arah Desa Silon. Siluet badan Mira makin lama makin mengecil lalu menghilang, setelahnya, Edgar juga memutuskan untuk kembali. Dia terhenti di tengah jembatan. Melihat ke sungai bawah, angin kencang berhembus di kakinya, kerikil dan arus yang deras di sungai sudah siap untuk menghancurkan seluruh badannya. Edgar membuka tas dan mengeluarkan salah satu cerita yang pernah dia tulis. Buku kecil berjudul "Lagu penghujung hari" telah berada di kedua tangannya. Tidak lama, dia melangkah ke arah pagar jembatan, melemparkan cerita nya dan kemudian tersenyum.

"Mungkin bukan saatnya." Edgar tersenyum

Matahari sudah sepenuhnya terbenam. Dinginnya malam telah menghantui Kota Noir. Edgar yang masih di luar merasakan dingin dari malam itu. Lengannya merangkul lengan yang lain, terkadang dia juga mencoba menghangatkan telapak tangan dengan hawa panas dari mulutnya. Setelah melewati jembatan Lywock, tetap berjalan terus melewati jalan kecil dengan pemandangan sawah dan sungai kecil. Wilayah Avia tempat Edgar tinggal harusnya sudah terlihat setelah 10 menit melalui persawahan itu.

Rumah Edgar sedikit agak jauh dari rumah penduduk lainnya, ada kebun milik Bunda Mutia  dan lapangan kosong di antara nya. Suara jangkrik dan kodok saat malam hari terdengar sangat dekat di telinga. Rumahnya terpagari oleh kayu mahoni yang sudah tidak lagi sejajar. Setelah melewati pagar, terlihat pintu rumahnya sedikit terbuka. Edgar masuk tanpa ragu, keadaan dalam rumah sangat gelap. Belum ada satu pun lampu atau lilin yang dinyalakan. Dengan samar dia melihat rumahnya sangat kacau. Ayahnya tergeletak di ruang tengah dengan botol anggur di genggamannya. Edgar cepat-cepat menyalakan lampu rumah, dia dengan sigap segera membenarkan posisi ayahnya ke arah kursi kayu di tengah ruangan. Mengambil pecahan botol yang jatuh dan membuang 3 botol anggur kosong lainnya.

Keadaan ruang tengah sudah tidak lagi kacau, ayahnya masih tertidur di kursi kayu. Edgar menebak ayahnya tidak akan terbangun sampai besok siang. Setidaknya malam ini dia bisa beristirahat dengan tenang, Edgar berjalan ke kamarnya yang berada di ruang paling belakang rumahnya, Edgar segera masuk kedalam kamarnya dengan gerakan cepat namun tenang. Menghidupkan lampu dan membuka jendela. Dari jendela terlihat kebun jeruk Bunda Mutia, dengan diiringi berisiknya sautan jangkrik dan kodok. Edgar duduk diatas kasur sembari melepas baju seragamnya, berganti, lalu berbaring di kasurnya. Dia mengangkat salah satu tangannya dan menggerakkan nya secara perlahan. Hanya mengingat kejadian tadi pagi saja bisa membuat luka ditubuh Edgar terasa sakit lagi.

Saat dia memejamkan mata, bayangan Mira tiba-tiba muncul di pikirannya. Edgar langsung loncat dan mengambil satu buku kosong. Seakan ingin menulis cerita tentang delusinya, tapi kali ini berbeda. Alih alih melanjutkan cerita ke- 3333nya, dia malah menulis cerita ke-1. Bukan lagi menulis tentang delusinya, kini dia menulis cerita tentang kenyataan. Berjudul, " Aphrodite Menjadi Dirinya " yang bercerita tentang alasan bertahan hidup adalah karenanya.

Femi Olivia, dalam buku berjudul Be a Diva: Atraktif, menjelaskan bahwa Aphrodite merupakan dewi cinta, hasrat, dan keindahan. Dalam cerita Romawi kuno menyebut dewi Aphrodite dengan dewi Venus. Sang dewi yang diberkati satu hadiah, yaitu membawa cinta menuju dunia supaya kehidupan manusia menjadi semakin indah.

Edgar membayangkan dirinya menjadi burung yang terbang, bagai burung yang dilepaskan dari sangkarnya. Senyum di mulutnya terlihat sangat manis saat dia memikirkan tentang temannya. Pipinya terasa pegal karena terlalu lama melebarkan bibirnya. Dia menulis cerita barunya dengan sangat gembira. Menuliskan tentang semua yang ia ingat tentang hari ini, dengan menambahkan kata kiasan yang pas sebagai tanda kebahagiaan dalam kertas.

Setelahnya Edgar meletakkan buku tersebut tepat diatas tumpukan cerita-cerita delusinya. Merapikan sedikit saja meja miliknya, yang terlihat sangat penuh dan kacau. Edgar tidak sengaja menemukan buku sketsa komedi yang sudah usang. Membacanya dapat membuat pegal di pipinya terasa lagi, kemudian dia menandai adegan yang menurutnya paling lucu. Sebagai bahan untuk bercanda yang akan dia sampaikan kepada Mira besok hari.












Cerita Terindah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang