Hutang Judi (1)

14 3 2
                                    

Kejadian kemarin benar-benar seperti mimpi bagi Edgar. Dan kedipan matanya hari ini, nampak seperti dia telah terlahir kembali ke dunia. Rasa bersemangat yang menggebu-gebu dengan mudah membakar dinginnya angin fajar.

Lebih cepat dari kemarin, Edgar sudah siap meskipun matahari masih belum terbit sempurna. Edgar mencoba ke ruang tengah, walaupun  secara sembunyi-sembunyi, dia memberanikan diri untuk mengecek kondisi ayahnya. Di ruang tengah dia melihat Richard yang duduk lemas dengan wajah menghadap ke arah langit-langit. Nampaknya dia sudah lepas dari pengaruh tiga botol anggur. Tangan kirinya masih sempat membakar rokok. Sedangkan di tangan lainnya dia memegang selembar surat, yang dibagian bawahnya terdapat stempel basah. Dalam surat tersebut tertulis,

___
Dear Richard Denilton.

Dengan ini, menggabungkan masing-masing untuk segera membayarkan hutang sejumlah dibawah ini atau segala hutang yang akan timbul sehubungan dengan surat pengakuan hutang ini. Sehingga dengan bersama-sama atau sendiri-sendiri atau salah seorang saja dapat menanggung segala hutang yang dipinjamkan kepada Bank Noirelim. Dengan nominal sebesar 50.000.000 (lima puluh juta) sebagaimana telah memenuhi syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Noirelim.

Matthew Bellamy - Kepala Bagian Bank Noirelim.
_____

Meskipun Edgar tidak tahu apa yang tertulis dalam surat itu. Tapi dia yakin, malapetaka akan datang kepada keluarganya. Edgar tidak sengaja menjatuhkan sapu didekatnya. Seketika itu juga ayahnya langsung menoleh, melihat Edgar dengan pandangan murka. Tangannya secara langsung mengepal, Richard terlihat sangat marah. Edgar yang ketakutan dengan cepat ingin melarikan diri, tapi Dewi Fortuna yang masih tertidur gagal menolong Edgar.

Richard lebih dulu memegang belakang kerah Edgar. Memutar kepala, dan memegang lehernya. Ketika dihadapkan dengan wajah ayahnya, Edgar benar-benar ketakutan. Seakan bayangan dari malaikat maut lah yang menjadi ayahnya.

"A-apa..?" Suara Edgar terdengar sedikit menangis.

*Plak*.. *Plak*.. *Plak*..

"Apa?! Apa maksudmu apa?!" *Plak* Kemudian dia melanjutkan.

"Ini semua gara-gara kau! Dasar anak bangsat! Lihat! gara-gara kau aku terlilit hutang. Coba saja kalau kau tidak gila! Aku tidak perlu repot-repot bayar biaya pengobatan penyakit anehmu! Brengsek!" Segala makian dilontarkan oleh Richard. Sesekali dia juga menamparnya dengan sangat keras. Dia benar-benar sudah gila, setelahnya dia melepaskan Edgar. Kembali ke bangkunya dan lanjut membakar rokok.

Edgar lemas, dia juga tidak tahu harus berbuat apa. Lagipula alasan Ayahnya terlilit hutang adalah karena kesalahannya sendiri. Richard sudah lama kecanduan alkohol dan sering berjudi. Dia juga tidak pernah menggunakan uangnya untuk biaya pengobatan Edgar. Tidak pernah sepeserpun.

Sekali lagi dia harus merasakan kekerasan dari ayahnya. Edgar memilih kembali ke kamarnya, tidak ada keberanian sama sekali untuk menginjakkan kaki di ruang tengah. Terpaksa dia harus lewat jendela kamarnya untuk keluar dari rumah. Sol sepatunya tampak dipenuhi dengan lumpur tapi celananya tidak ada bercak noda sedikitpun.

Di gerbang sekolah, Edgar kembali menjadi seperti biasanya. Menunduk ketika berpapasan dengan siswa lain dan juga melewati jalan yang memutar daripada menerobos keramaian. Karena dia sudah tahu, kalau dirinya jadi bahan ejekan diantara siswa lainnya. Terkenal anak diam yang gila, bahkan ada yang menjulukinya Edgar introvert yang kesurupan.

Jam pelajaran masih belum dimulai, Edgar menunggu dan membaca buku fiksi, apa yang sedang dia baca saat ini adalah tentang " Negeri Canda Tawa " sekali lagi dia membaca terlalu dalam. Alasan delusinya bisa muncul adalah karena terlalu memikirkan tentang satu hal, kini delusinya mengambil alih. Tangan yang awalnya sibuk membalik lembar demi lembar, dengan lambat turun ke atas pahanya. Suara tertawa serentak bergema di telinganya.

Edgar berada didelusinya, dia dikagetkan dengan suara tawa gadis kecil, suaranya sangat nyaring. Gadis kecil sekitar umur lima tahun yang rambutnya dikepang dan berwarna merah muda, mulutnya tersenyum sangat lebar. Tidak tergambar sedikitpun kesedihan di matanya.

"Hahahaha.. Mama! M-mamaku mati! Hahahaha!" Gadis itu sambil tertawa

Edgar melihat gadis itu sedang berdiri di samping ibunya yang sedang tergeletak di tanah, perut ibunya berdarah, organ dalamnya sedikit keluar. Orang disekitar Edgar juga tertawa dengan sangat keras, banyak dari mereka memegang perutnya karena ingin menahan tawa. Edgar bingung, disisi lain dia juga marah.

"Hei! Kalian apa-apaan! Kenapa kalian tertawa melihat orang yang baru saja mati!? Apa yang lucu dari orang yang mati!?" Edgar berteriak sekeras yang dia bisa.

Tapi tetap saja, tidak ada satu orang pun yang meladeninya. Kemarahan Edgar sudah berada di puncaknya, dengan langkah cepat dia datang ke arah gadis itu. Edgar mengangkat tangannya, dia ingin sekali menyadarkan gadis itu. Telapak tangannya sudah tepat di samping pipi gadis kecil itu, tinggal sedikit lagi. Tiba-tiba tangan Edgar terhenti, lengannya di tahan oleh orang kakek tua yang saat ini juga sedang tertawa.

"Pak tua! Apa maksudmu?!" Edgar terbawa emosi

Tangannya ditarik, dan diseret ke pinggir jalan. Pak tua itu sedang berusaha menghentikan tawanya. Kemudian, dia ingin menjelaskan sesuatu.

"Bocah, mereka semua menangis. Tidak ada satupun dari mereka yang tertawa. Bahkan ketika mereka sakit atau sedih, yang tergambarkan di wajahnya hanyalah tertawa, Kebrengsekan yang nyata dari dunia ini".

Edgar terdiam, dia baru sadar kalau dirinya sedang berada di negeri canda tawa. Dunia yang memaksakan dirimu untuk terus tertawa meskipun ibu mu meninggal tepat di depan matamu.

"Bocah, ini bukan dunia mu, pergilah". Kakek tua menepuk pundaknya dan saat itu juga Edgar terbangun dari delusinya.

Edgar kembali dalam kelas, tanpa sadar dia dikelilingi banyak orang. Hal yang absurd mungkin saja telah terjadi. Dia melihat Mira disampingnya, badan Mira yang hanya setinggi bahu Edgar melindungi dia dari beberap murid yang menertawainya

"Hahaha paan banget sih, ngelamun tapi ketawa terus dari tadi, goblok kali ya?" Ucap salah satu dari mereka

"Jangan gitu! Mungkin saja dia tertawa, tapi apa kalian benar-benar tahu apa yang sedang dirasakannya? Dasar kalian munafik! Membicarakan orang lain tanpa melihat diri sendiri!" Mira membentak.

Penyakit Edgar terkadang sedikit berbeda. Delusinya bisa saja benar-benar mengeluarkan ekspresi yang nyata, meskipun dia sedang berada dalam delusinya. Tapi fenomena yang langka telah terjadi, kejadian yang dilihat anak kelas tadi adalah Edgar yang melamun tapi dia juga tertawa terbahak-bahak.

Sekali lagi dia ada di sisi Edgar. Kepribadian Mira yang teguh pada pendiriannya membuat Edgar tersentuh untuk yang kesekian kalinya.

"Wajahmu terlihat sedih tapi kenapa kamu tadi ketawa?" Tanya Mira

"Gakpapa, hanya sedikit masalah keluarga" Edgar berniat memberi tahu seperlunya.

Tapi Edgar tetap memberi tahu masalah kalau ayahnya terlilit hutang. Dia bingung harus berbuat apa, disisi lain dia juga tidak punya keahlian apa-apa untuk bisa dijual. Mira terlihat bingung, sebentar saja dia langsung sumringah lagi.

"Kamu biasa nulis cerita kan?" Wajah Mira penuh harapan.

"Iya tapi kebanyakan dari ceritaku aneh banget, cerita yang benar-benar aku"

"Pulang sekolah ayo ikut aku, teman bundaku ada yang bekerja di majalah koran. Ceritamu mungkin bisa dijual disana"

Dari ide Mira, mereka berdua memutuskan untuk pergi majalah koran sore nanti, meskipun mereka tau kalau mereka akan pulang terlambat hari ini.
























Cerita Terindah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang