Pingsan

111 10 1
                                    

Entah mengapa kemarin Ia tidak pingsan saja. Meskipun memang semasa hidupnya ini Ira tidak pernah pingsan sekalipun. Saat upacara penerimaan mahasiswa baru pun, Ia tetap gagah berdiri di tengah panasnya matahari.

Suara ketukan di pintu Ira terdengar, entah kali ini yang ke berapa kalinya.

"Ira, sayangg anak Ibu. Udah yuk marahnya. Sekarang ayo makan." Rukayah dengan suara lembut mencoba membujuk Ira yang kini sedang mengurung diri di kamar.

Tetapi sesering apapun Rukayah mencoba mengajak anaknya itu berbicara, Ira tidak mau menggubris Ibunya. Rukayah tahu betul bahwa anaknya sangat terguncang dengan kejadian kemarin.

Di dalam kamar, Ira hampir mati kelaparan, padahal baru dua hari Ia tidak makan. Tetapi saat ia mencoba untuk berdamai dengan orang tuanya, kejadian kemarin membuatnya mengurungkan niat berdamai tersebut.

_____

"Perkenalkan Saya Handoko, Saya ingin melamar Mbak Ira sebagai isteri saya."

Kali ini bukan hanya keinginan untuk muntah saja, tetapi Ira benar-benar muntah. Ia segera menutup mulutnya dan pergi ke belakang.

Semua orang sangat khawatir dengan itu, tanpa terkecuali Handoko. Ia merasa bersalah karena ucapannya membuat wanita muda itu terkejut.

Rukayah, Ibunda Ira segera menyusul anaknya.

"Ira sayang, kamu ngga apa-apa Nak?" suaranya terdengar sangat khawatir.

"Huekk, ahh" Ira menyelesaikan muntahnya. Lalu menuju ke depan kaca kamar mandi untuk cuci muka.

"Iya Buk, Ira belum sarapan aja. Asam lambung kali."

Setelah muntah ia merasa lega, kini ia langsung menyerang Ibunya.

"Apa itu tadi Buk?!" Ira marah dengan suara rendah. Membuat Ibunya ngeri. Rukayah tahu bahwa anaknya akan marah seperti ini jika mengetahui bahwa Ira akan dilamar.

Rukayah sedih melihat anaknya seperti melihat anak kucing yang kehujanan. Tetapi dengan wibawa Ibu yang Rukayah miliki, Ia memilih untuk bersikap tegas kepada anaknya agar menurut hari ini dan tidak mempermalukan siapa pun.

"Ira, kamu sudah dewasa. Hadapi masalah ini secara baik-baik. Ibuk ngga mau kamu mengecawakan atau membuat malu semua orang."

Apa? Membuat malu? Ira sangat marah sekarang. Ia ingin berteriak dan kabur dengan mobilnya. Tetapi benar apa yang dikatakan oleh Ibunya itu. Ia akan mengahadapi masalah ini secara baik-baik.

"Siapa yang takut menghadapi masalah ini? Biar Ira selesaikan secara baik-baik menurut Ira."

Rukayah yang memperhatikan anaknya berbicara seperti itu, berdesar hatinya. Ia seperti melihat pejuang kemerdakaan yang tak kenal takut.

Tanpa menunggu jawaban dari Ibunya, Ira kembali ke ruang tamu. Di sana ia melihat di wajah semua orang bahwa mereka khawatir.

"Maaf Pak, Buk. Tadi pagi saya belum sarapan. Jadi mungkin asam lambung saya naik." Ira menjelaskan sambil ia berusaha duduk disamping Bapaknya.

Sial, sial, sial. Mengapa ia tidak mengatakan bahwa Ia hamil saja, agar keluarga ini membatalkan lamarannya.

Saat Ira mengatakan bahwa Ia belum sarapan, semua orang melepaskan wajah khawatir mereka.

"Mm Jadi, Pak Han- oh atau Mas Hando-?"

"Iraa" Kunto mengingatkan anaknya agar lebih sopan. Ira langsung memamerkan giginya, terkekeh takut.

"Maaf Pak, Buk. Saya benar-benar ingin bertanya bukan bermaksud kasar" Ira meminta maaf kepada kedua orang yang Ia yakini ini adalah orang tua dari Handoko itu.

"Iya Nduk, gapapa." Kali ini kedua orang tua itu merespon hampir berbarengan. Ira tersenyum canggung mendengar jawaban keduanya.

Ia mengalihkan pandangannya kepada Handoko. Mencari jawaban.

"Terserah Mbak Ira saja mau manggil apa."

Sial, dia ingin muntah lagi mendengar namanya diucapkan oleh Handoko. Lagi pula Ia bukannya menjawab malah melempar balik pertanyaannya.

"Mmm, jadi Pak Handoko di sini niatnya mau melamar saya?" Ia mencoba menatap lurus kepada Handoko langsung.

"Iya Mbak Ira."

Jawabannya sangat tegas, Ira tidak bisa membalikkan apapun kalau seperti ini.

"Bapak memangnya tahu Saya?!" Ira sangat ingin mengeluarkan suaranya yang tinggi, tetapi hanya ditekan Ira keinginannya itu.

"Iya Mbak, saya tahu mengenai Mbak Ira dari Pak Kunto."

Whattt?! Ira hampir memuntahkan teh yang ia minum. Bapaknya sendiri yang membicarakan mengenai anaknya?

Handoko menyadari bahwa Ia salah bicara. Kedua orang, ayah dan anak ini hampir menjadi musuh karena ucapannya. Lagipula dengan niatnya saja ia yakin kedua orang ini akan mengalami goncangan.

"Ah itu, maksud saya. Saya pernah melihat Mbak Ira beberapa kali di desa saya. Lalu saya mencari tahu mengenai Mbak Ira, dan akhirnya saya tahu kalau Mbak adalah anak dari Pak Kunto. Saya langsung berbicara kepada beliau mengenai keinginan saya tersbut." Handoko menjelaskan ulang.

Kunto sialan, maki Ira dalam hati. Ia tidak peduli kalau dirinya dianggap tidak berbakti. Yang jelas ia kecewa, sangat kecewa. Seharusnya Ira diberi tahu mengenai hal itu atau setidaknya aba-aba. Tapi apa ini? Sebuah kejutan yang tidak Ira harapkan sama sekali.

"Oke, kalau gitu. Mengenai keinginan Pak Handoko tersebut, saya minta minta maaf Pak, Saya tidak bis-" Belum sempat Ira menyelesaikan bicaranya, Ia sudah dipotong oleh Kunto.

"Maaf Ira, Bapak sudah serahkan Kamu kepada Pak Handoko. Sekarang Kamu mau ngga mau udah jadi milik Pak Handoko."

Suara petir seperti terdengar di kepala Ira, sangat nyaring sampai Ira tidak bisa berpikir jernih tentang apa yang diucapkan oleh Bapaknya. Ia hanya bisa menatap kosong Handoko selama sisa pembicaraan Kunto dengan orang tua Handoko. Bagaimana mungkin orang seperti Handoko meminta Ira sebagai Isterinya, Bapaknya lagi sudah gila, menyerahkan dirinya tanpa persetujuannya.

"Kalau begitu, saya pamit Pak Kunto. Oh iya sampaikan salam kepada Bu Rukayah juga ya Pak."

"Ah iya Pak Kaji. Akan saya sampaikan kepada isteri saya. Mungkin beliau sedang ada kepentingan di belakang."

Tidak, Rukayah tidak ada kepentingan apapun di belakang. Ia sejak tadi ada dibalik tembok, mendengarkan pembicaraan mereka. Ia menangis untuk anakanya.

"Ndukk, tolong di legowokno yo Nduk atimu. Ibuk mung pengen nyawang Handoko lan sampean ning pelaminan."

Bu Kaji Fatimah, Ibu Handoko menyadari betul bahwa wanita muda ini pasti terpukul berat. Kaget dengan berita tiba-tiba ini.

Ira mendengarnya, sangat jelas. Ia hanya bisa menggangguk dan memaksakan senyum manis. Sambil memeluk Kaji Fatimah. Matanya sangat basah. Ira menangis, tetapi ia segara mengusapnya.

Itu semua tidak lepas dari pandangan Handoko. Ia melihat wanita yang akan dinikahinya menangis. Hati Handoko sakit. Apakah dengan bersanding dengan wanita yang dicintainya adalah hal yang tepat?

Semua tamu telah pergi. Ira tidak mengucapkan sepatah kata apa pun semenjak mereka pergi. Jangankan membuka mulut, Ia masih belum bangkit dari tempat duduknya.

Kunto sangat sedih melihat putrinya seperti ini. Ia ingin mengajak bicara baik-baik putrinya. Tetapi Ira tiba-tiba bangkit dengan wajahnya yang tertutupi oleh kekecewaan.

_____

Sejak itulah Ira belum makan. Ia kecewa dengan Bapaknya. Ia kecewa dengan Ibunya. Terlebih lagi Ia sangat kecewa dengan Adiknya, yang Ia kira masalah ini untuk adiknya. Ternyata masalah ini adalah untuk dirinya sendiri. Kenapa tidak Gaung saja yang terkena masalah seperti biasanya.

Ia kecewa kepada semua orang. Lagi pula jika dipikir-pikir kenapa Ia harus muntah kemarin. Memalukan sekali, kenapa tidak pingsan saja?!

-----
Arigatooo~

XY

MY LOVE LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang