Bukan tanpa alasan Ira mengiyakan tawaran Handoko untuk mengantarkannya ke rumah orang tua Arka. Dirinya ingin bertanya lebih serius tentang dari mana Handoko mengenalnya, meskipun Ira sadar harus berduaan dan semobil pula dengan Handoko. Tapi tidak masalah, Ira ingin menyelidiki masalah ini.
Ucapan dari Gaung, adiknya, terngiang selalu di kepala Ira. Apakah ia memang dijodohkan sejak awal, atau memang Handoko berkata jujur, bahwa dirinya pernah bertemu Ira, dan langsung ingin meminangya.
Ira telah berbicara dengan Anin, bahwa dirinyalah yang akan memantau situasi rumah Arka, Ira menyuruh Anin untuk bersiap-siap saja untuk pertemuannya dengan orang tua tunangan Anin.
Jam berdetik sangat cepat di kamar Ira, ia tentu tidak ingin berdandan untuk Handoko, tetapi dirinya memiliki harga diri yang tinggi untuk tidak berpakaian rapi. Jadi Ira memtuskan untuk berpakaian semi rapi, memakai tunik panjang berwarna krem, dengan bawahan rok berwarna coklat, dan kerudung instan berwarna senada dengan tuniknya.
Tetapi Ira seperti tidak puas dengan dirinya di cermin. Ia memikirkan dua hal sekarang tentang pakaiannya, ia tidak mau dianggap remeh oleh Handoko, dan juga paling penting Ia tidak mau Handoko berpikir bahwa Ira cantik.
Ira memejamkan matanya, berpikir bahwa ia terlalu percaya diri dengan dirinya sendiri, toh tentu saja Handoko tidak akan berpikiran tersebut, setidaknya Ira tidak akan tahu, bahkan tidak mau tahu.
Ira membuka lemari parfumnya, pikiran dirinya harus memakai parfum apa kembali membuat Ira pusing. Sama seperti pakaiannya, pokoknya Ira tidak mau Habdoko berpikir Ira melakukan semua itu untuk dirinya.
Merasa fruatasi, akhirnya Ira mengambil parfum almond, terserah Handoko nanti mau berpikir bagaimana. Lagi pula, mengapa pikirannya dipenuhi dengan skema Handoko suka atau tidak suka. Itu bukan urusannya kan?
Menatap dirinya di cermin sekali lagi, Ira memantapkan diri dan senyuman terlihat melalui pantulan cermin. Ia mengambil tasnya dan bersiap untuk pergi ke depan.
Ira berjalan perlahan untuk menuju ruang tamu, ia tidak bersemangat sama sekali. Tetapi sesampainya Ira di depan, dirinya tidak mendapati wajah menyebalkan itu. Ira kebingungan, jadi dirinya mencari Ibunya untuk bertanya.
"Pak Handoko bilang kalau dia mau pulang dulu, nanti baru jemput kamu." Rukayah datang tiba-tiba dari belakang, seperti tahu anaknya mencari siapa.
Ira kaget dengan suara Ibunya, padahal ia tidak melakukan kesalahan apapun, tapi tetap saja ketahuan mencari Handoko seperti ia melakukan dosa besar yang harus disembunyikan dari Ibunya.
"Emang iya, dia bilang gitu Buk?" tanya Ira mencoba menutupi kagetnya.
Rukayah hanya mengangguk dan mendekati Ira, merasa seperti diperhatikan Ibunya, Ira menjadi gugup. Apakah cara berpakainnya terlihat tidak biasa?
Bukannya berhenti di depan Ira, Rukayah malah tetap melangkahkan kakinya, Ira yang terlanjur gugup ikut menoleh melihat apa yang ingin dilakukan Ibunya. Ternyata Rukayah hanya ingin mengambil oleh-oleh dari Handoko yang berada di atas meja.
Merasa lega, Ira akhirnya duduk di kursi. Begitu juga dengan Rukayah, entah mengapa Ira menjadi canggung. Jadi ia memilih untuk memainkan hpnya. Mencoba membuka pesan WhatsAppnya, dan mengecek apakah ada pesan baru masuk. Tapi nihil, tidak ada notifikasi hijau satupun.
Rukayah memperhatikan Ira, dan tiba-tiba berkata, "Ngga apa lah, tungguin aja. Toh dia jauh-jauh malah langsung ke sini. Bukan pulang dulu loh ke rumahnya, malah mau ketemu sama kamu."
Ira yang masih memainkan hpnya, tertegun. Jari-jarinya menjadi kaku, tidak bisa digerakkan dengan leluasa. Napasnya juga tertahan untuk beberapa detik, jantungnya menuruti apa perintah otak Ira.
Wajah Ira yang awalnya biasa-biasa saja, kini menjadi lebih biasa lagi. Dirinya tidak percaya sekarang Ibunya berbicara untuk Handoko. Perasaan tidak senang menguasai diri Ira, alisnya mulai mengerut.
Rukayah tahu kalau hati anaknya sedang tidak baik karena ucapannya. Ia berdiri dan duduk di sebelah Ira. Tangannya berusaha untuk meraih tangan Ira, menepuk punggung tangan Ira beberapa kali. Lalu mengusap kepala Ira.
"Sayang, Ibuk tahu perasaan seperti ini baru untuk kamu, apalagi datangnya secara tiba-tiba." Rukayah berusaha untuk berbicara kepada Ira. "Ibu tahu, kamu nggak suka kalau kita ngomongin Handoko. Tapi sayang, Ibu yakin kalau kamu akan tahu gimana rasa sayangnya dia sama kamu." Ucap Rukayah sambil menepuk-nepuk punggung Ira.
Hati Ira sedikit lebih ringan, Ia bukan lagi remaja puber yang tidak mau tahu jika dinasihati oleh orang tuanya. Ia tahu perkataan Ibunya adalah perkataan yang penuh kasih sayang.
Ira menghela napas panjang, mencoba rileks kembali, lalu menoleh kepada Ibunya. Ira memanyunkan bibirnya saat melihat kerutan yang semakin banyak di wajah Ibunya. "Ibuk besok ke klinik ya? Biar Ira anterin."
Rukayah tersenyum melihat tingkah putrinya. Ia tahu bahwa nasihat yang diberikannya diterima baik oleh Ira. "Yaudah Ibu mau nyimpen jajan-jajan ini dulu, banyak banget soalnya, boleh Ibu bagi ke tetangga? Atau semua mau kamu makan sendiri?"
Ira memutarkan matanya, mentang-mentang Ia tidak marah dengan yang awal tadi, Ibunya malah keterusan menguji moodnya. Rukayah hanya tertawa melihat reaksi Ira dan melangkahkan kakinya ke dapur.
Ira memeriksa jam di handphonenya. Sebentar lagi suara adzan Isya terdengar, tetapi Handoko belum datang juga, alhasil Ira menjadi sedikit kesal.
Rukayah kembali dari dapur dengan cepat. "Ira sayang, Ibuk mau nganterin jajan dulu ya ke tetangga. Nanti kalau kamu mau pergi di kunci aja." Ira hanya menganggukkan kepalanya, tanda ia mengerti. Tetapi sebenarnya pikiran Ira saat ini sedang tidak fokus, orang yang berjanji padanya belum kunjung datang.
"Pak Tua ini belum dateng-dateng, serius apa nggak sih ni orang." Gerutunya pada diri sendiri. Tentu saja Ira tidak punya keberanian untuk menelponnya, lebih tepatnya enggan.
Jadi Ira membuat janji kepada dirinya sendiri, jika nanti adzan Isya terdengar, ia akan berangkat dengan mobilnya sendiri.
Memikirkan seperti apa rumah Arka nanti, tentu saja Ira sudah mempersiapkan alat-alat khusus jika terjadi sesuatu hal yang buruk. Alat yang dimaksud yaitu senjata setrum yang pernah ia pinjam dari Anin tetapi tidak kunjung ia kembalikan sampai sekarang dan juga semprotan gas air mata yang ia buat sendiri.
Skema terburuk yang ada dipikiran Ira adalah, Rini, Ibunda Arka, ia ditemukan tidak bernyawa di rumahnya. Tentu ini hanya skenario terburuk yang ada dipikiran Ira, siapa yang mau jika hal buruk terjadi pada keluarga muridnya.
Ira menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan pemikiran buruknya. Mata Ira memandang ke luar pintu, ia melihat siluet putih mendekat ke rumahnya. Ira menjadi was-was, apa yang dilihatnya itu? Tidak mungkin hantu kan?
Ira mencoba memfokuskan matanya kembali dan melihat bahwa itu adalah siluet orang berjalan, oh Ira mengenal cara jalan orang ini. Itu Kunto, bapaknya. Buru-buru Ira memainkan hpnya, dirinya sedang tidak ingin berbicara dengan Bapaknya, ia gagal paham dengan pikiran Kunto.
"Assalamualaikum". Kunto mengucap salam seperti biasa. Ira yang mendengarnya hanya melirik sebentar lalu menjawab salam bapaknya.
"Loh, Ira belum berangkat?" mendengar pertanyaan dari Kunto, Ira menyatukan alisnya, merasa heran. Kemudian Ia melihat jam di ponselnya.
Ira terkejut dengan apa yang dilihatnya, sudah jam tujuh lebih. Dan ia baru sadar, bapaknya pasti dari masjid setelah solat Isya.
"Apa ngga jadi pergi Ra?" Kunto memastikan sekali lagi.
Ira yang baru sadar, membuat alibi untuk menutupi keterkejutannya. "Oh, Ira nunggu Bapak, soalnya Ibu lagi nganterin jajan ke tetangga, takut rumahnya kosong. Ini Ira mau berangkat kok."
"Loh nggak jadi dianter sama Pak Handoko?"
Wajah sedih Ira berhasil ditutupi dengan rapi menjadi wajah tidak suka. "Ogah, Ira mau berangkat sendiri!"
_____
Ollaaaa,Akhirnya ada waktu nih buat update.
Please, enjoy.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY LOVE LIFE
RomanceUntuk pertama kalinya, Ira benar-benar menangis tiga hari tiga malam. Ia kembali menjadi anak kecil, melakukan demo mogok makan. Dan mengunci kamarnya erat-erat. "Huuuhuuuhu, Bapak tega banget. Nyetujui pernikahan ini tanpa sepengetahuan Iraaaaa". K...