BAB 2

41 2 2
                                    

Lesetan anak panah menancap dahan pohon, tubuhnya mematung sambil meremas botol besar berisi air, keringat dingin mengucur di wajah eloknya, suara ketukan sepatu yang menginjak tanah memenuhi telinganya, Avena menelan kasar salivanya.

"Siapa disana?"

Keheningan terbentuk melalui suasana yang mendebarkan, Geraman suara burung hantu tercipta dari atas pohon, bunyi langkah kaki semakin mendekati Avena.

"Aku tidak mempunyai banyak utra, carilah saudagar kaya didekat desa ini, jangan merampok gadis jelek dan miskin sepertiku!" kata Avena suaranya tertahan.

Semak rimbun terbuka memperlihatkan pria paruh seumuran ibunya, badan kekar berotot dengan dua sisik dibelakang telinganya keluar dari sana. Mata birunya mengendur begitu melihat keponakannya beringsut ketakutan.

"Avena ... maaf ... paman tidak mengira kau berada disini pada malam hari"

Paman Jian tersenyum ia tertawa geli melihat keponakannya menganggapnya pencuri. Langkah besarnya berjalan ke Avena dengan meneteng busur panah ditangan kiri.

"Paman pikir ada Prajurit Zerka menyusup di sekitar sungai"

"Panah itu hampir mengenaimu, apa tidak ada yang terluka?" tanya Tetua Jian.

Avena menghela nafas lega ternyata tidak ada orang jahat yang melukainya, kepalanya mengangguk ia berdiri sambil menggenggam botol besar berisi air.

"Iya paman ... untungnya tidak menggores bahuku, hanya melewatinya sesaat" papar Avena tersenyum singkat

Mata Tetua Jian melihat botol besar yang digenggam keponakannya ia bertanya pada Avena.

"Kau mengambil air sendirian di Sungai Lingga, apa kau tidak takut tertangkap Prajurit Zerka?"

Avena terdiam sejenak ia tersenyum kecut, bibirnya berbicara dengan suara serak.

"Di situasi seperti ini, jika tidak berani keluar maka tenggorokanku dan ibu bisa saja kering karena tidak ada air lagi di rumah" ucap Avena.

Keadaan kota Kulipa dilanda perselisihan, kabarnya malam ini prajurit Zerka berada disekitar Sungai Lingga untuk merencanakan sesuatu, oleh karena itu Tetua Jian selaku pemimpin klan duyung berjaga-jaga di hilir sungai.

"Apa yang paman lakukan disini?" tanya Avena.

Alis tetua Jian mengkerut ia berbicara dengan wajah serius.

"Tentu saja melakukan tugas, mata-mata kita memperoleh informasi penting mengenai penyerangan pasukan Zerka pada malam ini, pasukan klan kita sedang berjaga disini, paman yakin sebentar lagi mereka datang, Avena ... lebih baik kau pulang sekarang"

Tetua Jian menyuruh Avena pulang ke rumah, tangan besarnya menepuk pundak keponakannya.

"Pergerakan mereka cepat sekali" batin Avena memikirkan Pasukan Zerka yang menjadi ancaman bagi klan duyung.

Tetua Jian melepaskan tangannya pada bahu keponakannya, saat Avena hendak berbalik pergi, Tetua Jian memanggil dirinya kembali.

"Tunggu Avena, jangan pergi sendirian! paman akan memanggilkan beberapa prajurit untuk mengantarkanmu pulang"

"Erol, Delmor, Dolfeto kemarilah!" seru Tetua Jian

Seorang prajurit klan duyung muncul dibalik pohon pinus, Avena dapat melihat senjata berupa cakram dibawah baju prajurit itu. Badan mereka membungkuk dengan menautkan kepalan tangannya pada telapak tangan seperti memberi hormat kepada Tetua Jian.

"Antarkan Avena pulang ke rumahnya dengan selamat" suruh Tetua Jian

"Siap komandan" ucap ketiga prajurit dengan serentak

"Mari nona"

Prajurit klan duyung mulai mengawal Avena pulang ke rumah, mereka bertiga berjalan bersama. Saat beberapa langkah, kakinya berhenti telinganya mendengar suara keras Tetua Jian.

"Ah paman melupakan sesuatu, sampaikan salamku pada ibumu!"

Tetua Jian berteriak sambil melambaikan tangannya, Avena menoleh kebelakang melihat paman Jian yang melambaikan tangan padanya. Lengkungan senyum tercetak di bibir Avena.

"Avena akan menyampaikannya pada ibu, jangan khawatir paman!" ucap Avena dengan suara tak kalah keras karena jarak mereka lumayan jauh.

•••

Pasukan Zerka tiba di kota Kulipa secara sembunyi dibawah pimpinan Tuan Cornelo. Pasukan itu akan merencanakan menyerang orang terdekat Tetua Jian, salah satu prajurit menyamar, ia mengamati interaksi Avena dan Tetua Jian. Mereka begitu dekat layaknya hubungan keluarga, seperti yang dirumorkan, ternyata memang benar Tetua Jian memiliki keponakan, informasi ini akhirnya disampaikan pada Tuan Cornelo.

"Lapor Tuan. Rumor yang beredar memang terbukti, Tetua Jian mempunyai keponakan perempuan, mungkin saja itu adalah anak dari kapten laut" terang salah satu prajurit yang menjadi utusan Tuan Cornelo.

"Pergilah kembali ke tenda markas" ucap Tuan Cornelo.

Dentingan gelas dipukul pelan menggunakan pisau kecil milik Tuan Cornelo, seulas senyum miring tersungging di bibirnya tebalnya. Asap rokok berhamburan keluar dari mulut dan hidung mancungnya. Pemimpin pasukan kota Zerka itu duduk diatas kursi kayu.

"Keponakan ya?" ucap Tuan Cornelo. Ia tertawa geli membayangkan keponakan Tetua Jian.

Pisau kecil digerakkan pada gelas kaca, hal itu menimbulkan suara gesekan terdengar ngilu. Hembusan nafas kasarnya memancarkan perasaan tidak nyaman. Matanya terpejam menikmati suara gesekan yang dihasilkan oleh genggaman pisau di tangannya

"Siapkan pasukan sekarang!" Titah Tuan Cornelo.

Mendengar Perintah mutlak Tuan Cornelo, Prajurit Zerka mempersiapkan senjata berupa obor hitam dari Logam terlangka. Suara tapak kaki kuda berlari kencang terdengar ke telinganya. Kakinya berdiri dibarisan terdepan. Jubahnya bergerak tertiup angin.

•••

Avena dan ketiga prajurit klan duyung berjalan di hutan. Semilir angin menyapu mendatangkan suasana tenang. Kelalawar hitam hinggap di dahan pohon suaranya bercicitan. Salah satu prajurit menoleh kebelakang memastikan tidak ada bahaya yang mengintai perjalanan Avena.

"Nona Avena lebih baik anda tetap dibelakang. Saya merasakan ada bahaya jika nona didepan" Ujar Erol

Erol berpindah tempat ke depan menjaga keponakan Tetua Jian. Matanya menyuruh Derol dan Dolfato berjaga di belakang. Avena menghentikan langkahnya melihat isyarat Erol pada kedua prajurit yang berada di depannya. Mereka berpindah posisi sesuai yang katakan Erol.

"Jangan khawatir nona. Kami sedang memastikan anda tetap aman, kita bisa melanjutkan kembali perjalanan untuk sampai ke rumah anda" ucap Derol seakan menenangkan kegelisahan Avena.

Dolfato mengangguk ia mendengar perkataan kembarannya. Wajahnya menoleh ke samping melihat Derol.

"Kita akan sampai sebentar lagi" ucap Dolfato menimpali Derol.

Sebuah asap hitam melambung dilangit. Indra penciuman Avena mencium bau hangus. Pupil matanya melebar melihat asap hitam dari arah rumahnya. Avena berlari melampaui Erol yang berada di depannya.

"Nona Avena!"

Ketiga prajurit berteriak bersamaan memanggil Avena agar tidak bertindak gegabah. Namun nahas teriakan mereka tidak dipedulikan Avena, pikirannya tertuju pada ibunya yang tinggal sendirian di rumah.

"Ibu!"

Napasnya tersengal-sengal, langkahnya berhenti menatap reruntuhan rumahnya yang terbakar api merah.

"Tidak ... kumohon ibu ... " lirih Avena

Matanya menelisik bongkahan rumahnya yang nyaris tidak terbentuk. Api kecil masih menyala walaupun tertiup angin. Rumahnya hancur dilalap api merah.

"Ibu ... maaf ... Avena tidak bisa menjaga ibu"

Avena mendekati bangunan itu. Lututnya jatuh ke tanah kepalanya tertunduk menatap tubuhnya ibunya berada di puing-puing bangunan dengan badan yang terbakar. Matanya berkaca-kaca setetes air mata penyesalan melingkupi hatinya.

Pearl Of PeaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang