BAB 3

48 6 1
                                    

Genggaman botol air besar jatuh setelah Avena berlari. Erol mengambil botol besar yang jatuh di tanah. Ketiga prajurit klan duyung berlari menyusulnya. Setibanya di rumah Avena, mereka bertiga melihat Avena menangisi jasad ibunya. Erol, Derol dan Dolfato mendekatinya.

"Nona maafkan kami karena terlambat-" ucapan Erol terhalang oleh perkataan Avena

"Ini bukan salah mu" potong Avena cepat dengan suara serak

"Semua ini terjadi karena kelengahanku. Seandainya aku tidak pergi ke sungai malam ini. Ibuku pasti hidup ... aku bisa memiliki kesempatan melindunginya dari orang-orang jahat diluar sana" ucap Avena sambil menahan isakan

"Itu tidak benar nona ... hidup dan mati sudah menjadi ketentuan takdir. Tidak bisa diubah maupun dicegah. Meskipun kita makhluk fana yang memiliki kekuatan tapi itu tak sebanding kuasa Tuhan." ucap Derol

"Nona Avena ... jangan menyalahkan diri sendiri. Ibu Nona akan sedih jika Nona menyalahkan diri karena kesalahan orang lain" lanjut Dolfato.

Mayat ibunya terbujur kaku, disekujur tubuhnya penuh luka bakar. Avena menangis berderai air mata, tangannya bergetar menyentuh pipi ibunya. Tetesan air mata jatuh mengenai wajah ibunya. Mutiara biru berjatuhan tiap tetes nya, ia terisak didepan mayat ibunya. Bibir tipisnya bergumam meminta maaf karena tidak bisa menyelamatkan ibunya dari peristiwa malam ini. Dadanya sesak seakan tidak siap menerima kenyataan. Avena mengatur napasnya dengan matanya terpejam.

"Mungkin kalian benar"

Avena terdiam sejenak, matanya perlahan terbuka, tatapannya terpaku pada leher ibunya, sebuah simbol kristal terbentuk indah, setetes air mata Avena terjatuh dileher ibunya, sinar bulan mengenai wajahnya, sesaat muncul teratai putih di dahi Avena. Tubuh ibunya perlahan berubah menjadi glitter, sapuan angin menerbangkan kilauan biru. Avena terkejut tangannya meraih glitter biru yang bertebaran menjadi roh ibunya.

"Ibu ... tidak .... tunggu" cegah Avena

Usaha Avena sia-sia ia hanya memperoleh tangan kosong. Angin malam menerbangkan kilauan biru tanpa sisa, terkecuali kristal biru dihadapannya.

"Ibu" gumam Avena menatap kristal biru

Kristal air mengapung di udara. Cahaya rembulan memancarkan sinarnya. Glitter biru menghilang dari pandangan, yang tersisa pada tubuh ibunya hanyalah kristal air. Sekelebat angin malam berhenti berhembus. Sinar bulan mengenai kristal air. Tak lama benda itu menyatu pada tubuh Avena. Malam ini ikatan takdir terbentuk melalui penyatuan kristal air dengan mutiara biru miliknya.

"Nona Avena anda baik-baik saja?" tanya Derol

Wajah Avena tertegun saat kristal air milik ibunya masuk ke dalam tubuhnya. Mereka bertiga berjongkok menjajarkan tubuhnya pada Avena. Raut wajah ketiga prajurit itu menyiratkan perasaan khawatir jika kristal air menyakiti tubuh Avena.

"Aku baik-baik saja" ucap Avena

Ketiga prajurit klan duyung mengganguk lega. Erol menatap botol besar berisi air milik Avena, tangannya menyerahkan botol itu pada Gadis malang yang baru saja kehilangan ibunya.

"Nona Avena anda menjatuhkan botol besar ini dihutan tadi." ujar Erol

Pandangan Avena tertuju botol besar berisi air ditangan Erol. Tangan Avena mengambil botol air itu.

"Terimakasih ... hanya botol ini satu-satunya peninggalan ibuku." ucap Avena sambil mengamati botol besar berisi air ditangannya

Botol besar itu terlihat usang. Dibawahnya tertulis nama Avena Nymphaea. Ibunya pernah menghadiahkan botol ini dihari ulang tahunnya.

"Aku berjanji akan menjaganya sepenuh hati ... seperti yang ibu katakan." batin Avena

Mutiara biru kembali berjatuhan saat air mata Avena menetes. Nyanyian jangkrik menyentuh pendengarannya. Langit malam tanpa awan menjadi salah satu saksi kesedihan Avena.

Pearl Of PeaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang