04

5 2 0
                                    

Aroma dari sepiring spaghetti cream cheese menguar ke seluruh penjuru kafe. Perutku semakin keroncongan ketika aroma itu merasuk ke hidungku tanpa permisi. Seorang pelayan tadi kembali menuju mejaku untuk mengantarkan seporsi chicken steak, shrimp cheese dan tentu saja dua gelas es teh sebagai menu utama. Jangan tanya kenapa di sebuah kafe menjual es teh, kami tidak membelinya di sini. Kami membawanya diam-diam dari luar. Karena es teh tetap minuman nomor satu. Tak tergantikan.

Alila dengan sigap berdiri lalu mengeluarkan kamera handphone untuk memotret makanan itu sebelum tersentuh oleh siapapun. Sudah menjadi ritual umum kaum perempuan bukan? Aku hanya menunggu dengan sabar hingga gadis itu menyelesaikan ritual memotretnya.

"Yap! Sudah selesai. Mari makan." Alila pun mengakhiri kegiatannya. Aku pun menyendok spaghetti itu lalu memakannya dengan lahap. Perutku sudah terlilit kelaparan. Begitupun dengan Alila yang juga menyantap chicken steak nya dengan segera.

"Ren, tadi di toko buku, gue lihat orang baru shooting drama tau." Ucap Alila setelah selesai mengunyah makanannya. Keningku mengkerut heran berusaha mengingat kejadian di toko buku. Sepengetahuanku toko buku itu tidak pernah di jadikan sebagai latar tempat pembuatan film. Apa mungkin baru saja?

"Oh ya? Siapa artisnya?" Lanjut ku menyendok spaghetti. Aku sebenarnya tak mau menggubris omongan Alila, bisa saja ia berhalusinasi atau teringat mimpinya. Tapi aku terlanjur penasaran. Jika memang benar toko buku itu di jadikan latar tempat shooting, berarti sebentar lagi toko itu akan jadi terkenal dan ramai pengunjung.

"Iya. Sebentar, tadi gue sempat ngambil fotonya sih." Aku hanya merespon dengan anggukan singkat. Alila sibuk membongkar galeri di ponselnya. Setelah menemukan, ia menyodorkan fotonya ke hadapanku sambil menahan tawa. Apanya yang lucu?

"Romantis banget kan adegannya? Pede banget ya shooting di tempat umum kek gitu." Aku hampir menyemburkan semua isi spaghetti ku yang berada di dalam mulut ketika melihat foto itu.

"Alila!!" Teriakku spontan membuat semua orang yang ada di sekitarku menoleh heran. Pelakunya malah tertawa kegirangan karena berhasil menggodaku.
Teman titisan Dakjal, kau Alila!

"Hapus gak fotonya!" Perintahku sambil bersungut-sungut. Wajahku sudah merah tomat menahan malu sekaligus marah. Dari mana Alila bisa mendapatkan foto itu? Apa ia melihatku juga saat itu? Itu kemungkinan yang paling masuk akal. Ingin ku rebut ponselnya tapi tanganku kalah cepat darinya, Alila sudah menarik kembali ponselnya menjauh dari jangkauanku.

"Ya Allah, temanku diam-diam semakin di depan. Gimana rasanya berada sedekat itu sama Pak Abror? Cerita gih sama gue." Ledeknya sambil menggoyang-goyangkan ponselnya ke hadapanku yang masih menampilkan foto kejadian tak sengaja itu. Rasanya ingin ku banting ponselnya.

Alila tak tahu bagaimana rasanya berdekatan dengan dosen itu secara tak di sengaja. Jantungku hampir copot di buatnya. Aku yang membayangkannya pun sudah geli sendiri. Bagaimana jika kami bertemu di kampus besok? Tapi untuk apa aku mengkhawatirkan, toh tidak ada kejadian yang memalukan.

Aku harus membungkam mulut Alila agar ia tak menceritakan kejadian itu pada ibunya. Bisa gawat kalau ketahuan bunda juga.

"Jangan pernah cerita kejadian ini ke bunda gue, terutama ke emak lo. Gak bisa diem soalnya emak lo." Ucapku tegas dengan muka mengancam. Bukannya takut, ia malah tersenyum jahil.

"Gak janji." Enteng sekali mulutnya berucap.

"Oke! Kalau gitu lo pulang sendiri aja naik angkot." Ancamku sambil berdiri siap untuk pergi.

"Ya... Ya! Jangan gitu dong, gue kan takut ntar kalo di apa-apain di angkot." Ia memohon sambil memegang lenganku dengan erat.

"Makanya, cepet hapus aja fotonya. Geli gue lihatnya."

"Sok-sok an geli. Tapi lo seneng kan?" Alila tetap meledekku setelah ku ancam. Kali ini aku benar-benar bangkit dari kursi dan berjalan ke pintu untuk keluar.

"Shireen! Oke-oke gue, minta maaf. Duduk lagi yuk di sana!" Alila menyeret ku untuk kembali duduk di kursi, aku menurutinya dengan malas. Lihat saja, sekali lagi anak itu meledekku, akan benar-benar ku tinggal ia di sini tanpa memberinya uang sepersen pun. Biar jadi gelandangan.

"Maafin gue lah, Ren. Tapi gue gak mau hapus fotonya karena ini langka banget. Gue archive in aja di google photos, ya. Gak bakalan ada yang bisa liat kok, tenang!" Alila menunjukkan foto itu sudah ia sembunyikan di file archivenya. Aku hanya melihat ponselnya dengan malas.

"Udah, jangan ngambek lagi. Buruan di habisin makanannya, habis itu pulang. Ntar gue deh yang nyetir." Aku membalas ocehannya dengan tatapan dingin. Alila pun menghabiskan shrimp cheese nya yang tersisa satu, sedang aku tak mood untuk melanjutkan makan karena ulahnya.

Otakku malah kembali mengingat kejadian itu selama menunggu Alila menghabiskan makanan. Aku tak heran jika melihat seorang dosen di toko buku, mungkin itu sudah biasa karena mereka pasti hobi membaca buku-buku ilmiah. Tapi Pak Abror berbeda, kenapa ia malah menuju rak buku novel? Apa seorang dosen punya waktu se-senggang itu untuk membaca novel? Atau memang Pak Abror menyukai novel? Tapi, jika novel romansa islami yang ia baca, itu agak unik.

Juga kenapa ia berusaha membantuku untuk mengambilkan buku? Padahal ia bisa saja meminta bantuan penjaga atau berinisiatif mengambilkan ku tangga. Atau jangan-jangan ia juga ingin membeli novel itu sebenarnya? Otakku berputar-putar berusaha mencari jalan terangnya. Lamunanku buyar karena Alila menarik tanganku untuk pulang.

*****
Pov Abror

"Assalamualaikum." Aku mengucap salam begitu memasuki rumah. Telingaku menangkap suara televisi yang dinyalakan dengan volume tinggi, siapa lagi kalau bukan makhluk itu. Setelah mengganti sepatu dengan sandal rumah aku bergegas menuju kamar di lantai dua.

Langkahku berjinjit agar orang yang sedang menonton televisi itu tak menyadari kedatanganku. Aku tak ingin ia menagih barang titipannya, karena barang itu sudah habis. Ia pasti akan memintaku untuk mencarikan nya lagi.

"Kak, mana barang titipan aku?" Aku seketika membeku di tempat melihatnya sudah berdiri di depanku. Sofia, dialah makhluk yang menonton televisi dengan volume tinggi tadi. Ia adalah anak terakhir dan adik perempuan satu-satunya. Usianya baru 17 tahun. Mau tak mau aku harus menjawab pertanyaannya.

"Sorry, stok nya udah habis tadi." Aku berusaha untuk tidak eye contact dengan gadis itu. Tatapannya pasti menyelidik.

"Jangan bohong!"

"Kakak, gak bohong. Cari aja sendiri ke sono kalo gak percaya." Aku melangkah melewatinya untuk pergi ke kamar, tapi tangaku sudah di tarik paksa olehnya untuk duduk di sofa.

"Jujur atau aku bilang ke Umi." Ancamnya sambil memelototkan mata. Untuk apa ia mengancamku seperti itu, tak ada gunanya. Toh, memang benar bukunya habis karena aku berikan ke orang lain.

"Ambilkan kakak minum dulu, nanti kaka jujur." Secepat kilat anak itu menurut. Bergegas ke dapur untuk mengambilkanku segelas air minum. Ia memberikan padaku.

"Cepat!"

"Jujur nih kakak. Bukunya emang bener udah habis, karena..." Perkataanku mengambang untuk siap-siap berlari ke kamar karena pasti Sofia akan memukulku dengan bantal. Aku sedang tak ingin meladeninya.

"Karena apa?"

"Karenaa... Udah kakak kasih ke orang laiiin." Dengan secepat kilat aku melompat dari sofa dan berlari ke kamar karena Sofia sudah siap memukulku dengan bantal.

*****
Gak nyangka sama sifat Pak Abror. Di kampus sama di rumah bagaikan langit dan bumi.
.
.
.

Happy reading! Jangan lupa vote dan komen.
Jazakillah khoiron.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 05, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Suami Untuk ShirenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang