bab 1 Tidak ada matematika!

3 0 0
                                    

"baiklah anak - anak, mungkin cukup sampai disini saja pembelajaran kita hari ini akan kita lanjut minggu depan ya." Bu Indah menutup buku bahasa indonesianya, yang artinya pembelajaran telah selesai.

Kumari dan Sisi buru - buru menutup buku mereka juga, bersiap berdiri untuk memimpin salam penutup kepada Bu Indah.

Tepat sebelum Bu indah melangkahkan kakinya keluar kelas. "Bangunn, Terimakasih Bu Indah," ucap Kumari dan seluruh murid dikelas 6.

"Sama - sama anak - anakku," jawab Bu Indah dengan senyum ramah.

"Kumari, apakah kamu telah mendapatkan info dari tantemu?" Habis ini pelajaran matematika, biasanya Kumari telah mendapatkan informasi tentang apa yang akan Bu Widia lakukan hari ini, karena Bu Widia guru diluar nalar, dia bisa saja melakukan ulangan dadakan, hafalan perkalian 29 ataupun melakukan senam matematika yang diiringi dengan soal pembagian.

Kumari menggeleng, tanda tidak tahu. Karena sejak pagi tadi ia tidak melihat tante Widia. Arai yang tadi bertanya pun menghembuskan nafas pelan. Seluruh teman - temannya pun pasrah dengan apa yang Bu Widia akan lakukan.

"Kumari, apa benar kamu tidak melihat tantemu hari ini? Atau kamu tidak mendapatkan informasi layaknya intel seperti biasanya?" Tanya Sisi masih penasaran.

Anak perempuan berkulit sawo matang itu menggeleng untuk yang kedua kalinya, ia memang benar benar tidak tahu.

"Baiklah, karena aku bertanggung jawab untuk kewarasan kelas ini, aku akan ke kantor guru. Sisi ayo temani aku!" Kumari berdiri gagah, menarik tangan Sisi. Sebagai ketua kelas ia merasa memiliki tanggung jawab agar teman - temannya tetap waras dari matematika.

--

"Waduh, Kumari cantik sekali, Freissy juga" ucap Ibu kepala sekolah. Kumari dan Sisi tersenyum malu, berterimakasih dan salim.

"Ada gerangan apa anak cantik kesini?"

"Kami mau nyamper Bu Widia,"

"Waduh, Bu Widianya gak masuk hari ini nak. Izin dia, tadi pagi dia kesini buat kirim surat izin." Wajah Sisi senangnya bukan main, hampir saja Sisi teriak kegirangan tapi dia dicubit duluan oleh Kumari.

"Wah, asyik kalau begitu! Baiklah terimakasih ya Bu, kami pamit dulu."

"Bu Widia tidak masuk!" Sorak Kumari dan Sisi dari pintu kelas, satu kelas pun langsung ramai bersorak - sorai. Hari ini mereka terbebas dari mata pelajaran paling mematikan itu.

--

Sepulangnya Kumari dari sekolah, ia mampir kerumah Sisi selaku teman dekatnya. Seperti biasa, Kumari selalu menyempatkan untuk menemani Sisi membaca dan menunggunya sampai ia terlelap.

"Mari masuk," Sisi mendorong pintu, disambut oleh asisten rumah tangga orang tuanya. Freissy Salisika seorang anak tunggal yang kedua orang tuanya berkerja dari pagi hingga larut malam, jadi ia selalu kesepian jika dirumah.

"Apakah kamu mau makan siang bersamaku, Kumari? Bi Ria memasak sayur sop siang ini," ucap Sisi menawarkan makan siang, membuka buku cerita.

"Ah, sepertinya tidak. Aku makan nanti saja bersama kak Sata dirumah,"

"Baiklah," siang itu mereka habiskan waktu satu setengah jam untuk membaca buku bersama di kamar Sisi, setelah buku ceritanya habis sisi mengambil piring makan siangnya. Kumari tetap menemani Sisi bercerita sambil menghabiskan makan siangnya.

"Ohh, jadi ibumu itu seorang direktur. Hebat sekali!" Kumari merespon cerita Sisi dengan penuh kekaguman.

"Iya, akupun bangga dengan ibuku. Walaupun aku lebih bangga jika punya ibu seperti ibumu, bisa selalu ada dan menemani sepanjang hari."

"Ih, kamu tidak boleh bilang begitu. Ibumu dan ibuku sama - sama hebat kok!"

Setelah Sisi menghabiskan makanannya, ia pergi menggosok gigi. Kumari melihat jam tangannya, terlihat sudah pukul 1 lewat, ia harus segera pulang agar tidak terlewat makan siang bersama kak Sata.

"Oke, menunggu sampai Sisi terlelap tidak lama. Pasti aku masih bisa makan bersama kak Sata siang ini," ucap Kumari optimis.

Dan benar saja, tak lama Sisi menarik selimutnya lalu terlelap. "Baiklah Sisi sahabatku, aku pulang dulu ya selamat beristirahat, besok kita berjumpa lagi," bisik Kumari pelan, kakinya mulai melangkah pelan, menutup pintu kamar Sisi. Setelah berpamitan dengan Bi Ria, ia buru - buru pulang mengejar waktu makan siangnya.

--

"Huh," Kumari menghembuskan nafasnya yang patah - patah. Ia membuka pintu rumah dan buru - buru lari ke dapur.

"Kak Sata, aku pulang!" ucap Kumari ngos - ngosan.

"Wah, adikku sudah pulang. Bagaimana sekolahmu hari ini?" tanya kak Sata terburu - buru.

"Sekolahku baik - baik saja. Kakak sudah menghabiskan makan siang?" Kumari baru saja mau menarik kursi meja makan, ia baru selesai menyendok nasi dan lauk. Kak Sata mengangguk dua kali.

"Ah, aku telat. Padahal aku mau makan siang dan bercerita bersama kakak siang ini," gerutu Kumari pelan. Ternyata ucapannya didengar oleh kak Sata.

Kak Sata kembali duduk didepan Kumari, tandanya ia siap mendengarkan semua cerita adik perempuannya. "Apa yang mau kau ceritakan? Ayo aku temani sebentar."

Kumari mengangguk, bersemangat. Ia terus bercerita banyak tentang apa yang terjadi di sekolahnya walaupun mulutnya penuh dengan nasi dan lauk. "Kak, apakah kamu pernah menyukai seseorang?" Tanya Kumari ragu, sebenarnya ini tujuan utama ia ingin bercerita kepada kak Sata.

"Ya, tentu saja pernah. Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Kak Sata bertanya balik, buru - buru.

"Hmm... A-aku sedang menyukai -" belum selesai ia berbicara, kak Sata sudah pergi dari hadapannya.

"Baiklah adikku sayang, siapapun yang kau sukai jangan sampai jadi bodoh dan tak punya harga diri. Aku hampir terlambat, nanti tolong sampaikan kepada ibu bahwa aku telah berangkat ke kampus!" Kak Sata menepuk sedikit kepala Kumari.

Kumari mengantar kak Sata yang terburu - buru kedepan rumah. Ia mencium tangan kak Sata dan berpesan sedikit "hati - hati".

"Jangan lupa habiskan makananmu, lalu cuci piringnya!" Terdengar suara kak Sata menyelipkan pesan, padahal ia sudah berada di ujung gang tapi suaranya masih bisa terdengar jelas oleh Kumari.

--

Tak lama, ibu pulang dari rapat yang entah apa namanya. Rapat yang ibu hadiri di penuhi oleh 100 % ibu - ibu, hampir 3 tahun ibu selalu rapat setiap hari dan selama itu juga Kumari masih belum tau apa tujuan dari rapat itu.

"Kakakmu sudah berangkat ya, Ri?"

"Iya," jawab Kumari sambil asyik melukis.

"Bagaimana sekolahmu hari ini?" Ibu menemani Kumari menggambar, seperti rutinitas biasanya, satu keluarga pasti akan selalu mendengarkan cerita Kumari disekolah.

"Baik, aku bahagia hari ini. Tante Widia tidak masuk, jadi aku dan teman - temanku terbebas dari matematika."

"Oh, ibu dengar - dengar tadi tante Widia sedang ada masalah. Rumit sepertinya."

"Memangnya ada apa bu?"

(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧

Bersambung...

Halo TeLo!

Selamat malam! Bagaimana tanggapan kalian tentang bab 1 ini? Semoga kalian menyukainya!

Terimakasih telah membaca cerita ini, lope sekebon buat kalian(⁠☆⁠▽⁠☆⁠)

Tak Ada Yang AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang