"Tantemu sedang mengurus perceraiannya hari ini," Kumari yang sedang asyik melukis tak sengaja menyenggol gelas untuk mencuci kuas.
"Serius, bu?" Matanya terbelalak tak percaya. Tante Widia yang selama ini terlihat rukun - rukun saja hari ini bercerai?!
"Iya, sudah sekarang kamu bersihkan dulu airnya. Paling nanti tante Widia kesini untuk mengadu."
Ibu hanya dua bersaudara. Ia dan tante Widia, dari dulu tante Widia sangat dekat dengan Ibu, apalagi setelah kepergian kedua orang tua mereka beberapa tahun silam. Segala permasalahan hidupnya selalu ia adukan kepada Ibu.
--
Benar saja, tak lama setelah Kumari membersihkan air yang tumpah, terdengar suara motor tante Widia dari luar.
"Kak Anaaa..." Panggil tante Widia sambil terisak, buliran air bening terus mengalir di wajahnya yang dempul karena bedak.
Kumari langsung cekatan berlari memeluk tantenya. Semakin pecahlah tangis tante Widia didekap Kumari.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16:00. Tante Widia masih saja menangis, kali ini di dekapan Ibu. "Sudahlah Widia, tenangkan dirimu. Sudah satu jam lebih air matamu masih saja belum berhenti. Ayo cerita denganku, aku siap mendengarkannya."
Kumari menyuguhkan teh hangat untuk tantenya. "Tante, ini aku bawakan teh hangat. Diminum ya,tante."
Berhenti sebentar. Meminumnya. Kembali menangis.
"Hufttt." Kali ini ibu menarik nafas panjang, lelah sendiri dia mendengar tangisan adiknya. "Widia, sudah." Ibu melepaskan dekapannya. Dibiarkannya tante Widia menenangkan dirinya.
"Sudah?" tanya Ibu pelan. Tante Widia mengangguk.
Ia mulai bercerita tentang apa yang ia alami selama ini. Suaminya pengangguran akut, tak mau bekerja. Hanya ingin mengandalkan tante Widia saja untuk kelangsungan hidup mereka. Ternyata, selama 2 tahun menikah suaminya tak pernah bekerja. Beralasan malas dan tak punya ijazah kuliah. Bodoh, sungguh laki - laki bodoh yang Tante Widia pertahankan.
Bapak masuk kedalam rumah, menaruh helmnya di meja. Ternyata bapak mendengar semua cerita tante Widia dari depan pintu. Nguping sedikit gak ngaruh
Sarkas kumari dalam hati."Bapak pulang."
"Telat bapak mengucapnya," ledek Kumari.
"Ada apa ini?"
Bapak basa - basi, padahal dari tadi sudah mendengar semua ceritanya. "Bapak sudah mendengar semuanya, tidak usah diceritakan ulang tante," Kumari langsung menyerobot sebelum tante Widia kembali bercerita.
"Ah, Kumari kamu membuat bapak malu hahaha." Bapak tertawa, duduk disamping Ibu. Ibu bangkit mengambil air dingin kesukaan bapak ketika pulang kerja.
"Jangan berlarut - larut dalam kesedihan, Widia." Tante Widia mengangguk sambil mengusap air matanya.
"Dengar, tidak ada yang abadi di dunia ini, Wid. Bahkan sepasang suami istri pun. Pemisahnya, kalau bukan perceraian ya kematian," Bapak mengeluarkan kata - kata mutiaranya. Meminum air dingin yang ibu bawa.
Sekitar 15 menit kemudian, Tante Widia pamit pulang dengan keadaan matanya masih sembab, bahkan agak bengkak. Tapi setidaknya ia pulang dengan keadaan lega.
--
Makan malam pun tiba. Wangi tumis kangkung buatan ibu sangat sedap sehingga membuat perut Kumari semakin bergetar, keroncongan tak sabar ingin menyantapnya.
"Tumis kangkung dan bakwan jagung tiba!" Masakan rumahan, sederhana namun nikmatnya luar biasa itu telah disajikan diatas meja makan.
"Aku pulang..." Kak Sata tiba - tiba muncul didepan meja makan, Kumari yang sedang menyeruput kuah tumis kangkung hampir tersedak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Ada Yang Abadi
Ngẫu nhiênsemua yang kita miliki saat ini, tak ada yang abadi. semua dititipkan oleh sang pencipta dan akan diambil kembali oleh sang pencipta. itu yang selalu Kumari dengar dari Bapak. Bapak boleh gagal dalam ekonomi keluarga, tapi Bapak berhasil menjadi so...