Hari sabtu pagi, Kumari dan Sisi bergegas menuju rumah tante Ola untuk les lukis. Sebuah rutinitas yang menyenangkan untuk mereka. Selain melukis adalah bakat dan minat mereka, melukis juga sebagai media pencurahan emosi dan rasa bagi mereka.
Pagi itu mereka ditugaskan untuk menjelaskan hubungan antara melukis dengan suasana hati.
"Kalau mood ku lagi bagus, biasanya aku akan membuat lukisan bertema fantasi," ucap Kumari menjelaskan.
"Kalau mood ku sedang jelek atau sedih, biasanya aku melukis ranting dan langit gelap disertakan dengan bangunan yang juga gelap." Semua mata tertuju pada Kumari, ikut merasakan apa yang ia jelaskan.
"Kalau aku sedang frustasi, aku akan melukis abstrak. Lukisan abstrak adalah obat stress," ungkap Kumari, menghela nafas. Semua tangan menepuk, berbunyi. Kumari dipersilahkan duduk. Kini gantian Sisi yang disuruh menjelaskan. Kurang lebih sama, 11 12 dengan Kumari. Mereka memiliki selera dan suasana hati yang hampir sama, makanya mereka jadi bestie.
--
Setelah semua selesai menjelaskan. Tante Ola kini memberikan instruksi untuk melukis sesuai suasana hati. Waktu melukis mereka panjang, sekitar 4 jam.
Sisi sedang asyik menggoreskan tinta ke kanvas. Fokus mengerjakan apa yang akan ia buat. Kumari yang melihat Sisi sangat serius, sengaja menumpahkan cat putih ke palet milik Sisi. Kumari tahu, kalau Sisi tidak terlalu suka melukis dengan warna - warna yang soft. Ia lebih suka melukis dengan warna - warna yang nyata dan pigmentasinya jelas.
"Apa yang kau lakukan,Kum?!" Sisi berlagak kesal, padahal tidak hanya gimmick. Kumari menertawainya dan memulai topik.
"Apa yang kau lukis, Si?" tanya Kumari.
"Ah, ranting berduri dengan daun merah," jawab Sisi pelan.
"Mengapa kau memilih melukis itu?"
"Suasana hatiku buruk, orang tuaku habis bertengkar. Dan ujung - ujungnya Ayah pergi dan melemparkannya uang dimuka Ibu." Ia menggambarkan ranting berduri itu sebagai adu mulut orang tuanya, dan daun sebagai perlakuan Ayah yang menyogok Ibu dengan uang. Tanpa perlu dijelaskan Kumari pun faham, ia selalu mengerti apa yang Sisi lukis, begitu pun sebaliknya.
"Huh, sama aku juga." Kumari teringat kejadian semalam.
Seperti biasa, keluarganya makan malam bersama. Ibu berbicara kepada Bapak tentang uang bulanan yang sudah mulai menipis, dan Bapak juga berbicara kepada ibu tentang upah kerjanya yang setiap bulan semakin kecil. "Aku dan Kak Sata bingung harus berbuat apa. Aku rasa ekonomi keluargaku akhir - akhir ini sedang buruk." Kumari menghela nafas berat.
"Bersabar ya, Kum. Keluarga kita 11 12. Orang tuamu akur tapi ekonomi keluargamu buruk, sedangkan orang tuaku, tidak akur tapi ekonominya baik."
"Iya,"
Lenggang, mereka berdua menghela nafas.
Andai saja takdir dan alur cerita hidup mereka bisa disusun sendiri. Pasti mereka memilih untuk menjadi saudara yang akur dan membuang dua hal buruk dari masing - masing keluarga mereka.
"Semalam, Kak Sata kepikiran untuk mencari kerja. Membantu Bapak dan Ibu agar ekonomi jauh lebih baik."
"Serius?!" tanya Sisi bersemangat. Kumari mengganguk.
"Aku bisa membantumu, nanti aku tanyakan kepada Ayahku saat ia pulang." Kumari tersenyum, berterimakasih.
--
"Apakah aku boleh meminjam ponselmu?"
"Ambil saja di tasku." Sisi menunjuk tas kuningnya.
"Apa yang akan kau lakukan,Kum?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Ada Yang Abadi
Randomsemua yang kita miliki saat ini, tak ada yang abadi. semua dititipkan oleh sang pencipta dan akan diambil kembali oleh sang pencipta. itu yang selalu Kumari dengar dari Bapak. Bapak boleh gagal dalam ekonomi keluarga, tapi Bapak berhasil menjadi so...