#00. Pembuka Kisah: Usaha Melupakan yang Berada di Tepi Kepastian

71 5 1
                                    

"Maybe, I wasn't unable to move on. I just want to keep pretending to still have a crush on you, because I can't stand the feeling of loneliness in my heart."

·········⋆༺𓆩❀𓆪༻⋆·········

Di antara susunan kapas-kapas kelabu yang terlukis rapi menutup bumantara nan biru, sang surya tampaknya masih enggan undur diri dan kembali ke tempatnya beradu, pun dengan sang angin yang masih sibuk meniup para debu.

Sepertinya, hari ini akan hujan. Gadis itu akan diingatkan lagi terhadap si lelaki yang sampai sekarang masih tersimpan, cukup dalam, meski sebenarnya memori indah sepihak itu sudah sangat ingin ia buang jauh ke jurang tanpa dataran.

Lagi-lagi ia duduk di sana, di depan gedung Angkasa Cendekia yang tinggi menjulang. Si gadis sama sekali tak berpikiran untuk mengulang kembali memori kisah kasih sepihak yang baru-baru ini sedang ia coba tutup secara perlahan. Hanya saja, pusat pikirnya sedang ingin bernostalgia.

Di tempat yang sama, si gadis masih sedikit berharap laki-laki itu akan menyapa. Karena, semesta, lelaki yang sempat didamba itu pernah berseru ketika berlalu tepat di depan gadismu; memalsukan secercah harap akan kebersamaan yang selama ini diidamkan.

"Bisa lihat dia lagi, nggak, ya?"

Sekali lagi, gadis itu membacanya; pertukaran pesan antara ia dengan lelaki yang akhir-akhir ini sedang berusaha untuk dilupakan, dihapus dari arah tujuan berlabuhnya perasaan. Senyum manis si gadis masih sama, seperti kala ia curi-curi pandang ke arah lelaki itu. Lelaki yang sebenarnya tak cukup terkenal, sosok biasa yang diduga belum pernah menerima ungkapan cinta.

Ah, sampai sekarang pun, eksistensi si lelaki belum pernah sekali saja lolos dari radar pandang si gadis yang entah bagaimana begitu mudah mendeteksi hadirnya. Bahkan di antara kerumunan yang menjebak tatap pada kolaborasi warna atas kain-kain cantik yang dikenakan orang-orang, lelaki itu tampak cemerlang; seakan ada penanda di sekitarnya.

"Kepikiran kata-kata Nasya ... Alan emang ganteng, sih. Tapi, aku nggak tertarik karena kegantengannya-"

"Ngapain di situ, Da?" Interupsi suara berat itu membuat si gadis refleks mendongakkan kepala.

"Oh, Jendra," gumam Widari. "Nunggu temenku," jawabnya sembari menutup ponsel ke pangkuan.

"Kamu ada matkul hari ini?" tanya gadis itu, basa-basi. Ia memang suka penasaran dengan orang lain, berusaha mencari topik pembicaraan agar hubungan pertemanan tetap berjalan.

Sebab, ia sudah melewati fase tanpa teman. Demikian, segala cara dilakukan agar orang-orang terdekatnya tak pergi dan dirinya tak ditinggalkan.

Laki-laki bernama Rajendra itu pun mengangguk. "Iya, ini mau masuk kelas," jawabnya dengan seulas senyum, lantas menoleh ke arah gedung Angkasa Cendekia di seberang sana untuk sepersekian detik, sebelum kembali menatap Widari.

"Ya udah, aku duluan, ya?" pamitnya, hendak mengambil langkah.

"Iya, semangat!" Widari pun mengepalkan tangan, lalu tersenyum menatap Rajendra membalas dengan lambaian selagi berjalan menuju gedung di seberang.

Rajendra, ya? Akhir-akhir ini, Widari menjadi lebih dekat dengan sahabat kecil adik kembarnya (Bima). Jendra memang sudah sangat sering main ke rumah, tapi Widari hampir tak pernah menyapa dengan ramah.

Dekatnya mereka diawali dengan persamaan selera musik. Bermula dengan Jendra yang tak sengaja mendengar lagu Locksmith oleh Sadie Jean yang diputar melalui speaker kecil milik Widari saat mereka beristirahat dari sesi menonton film bersama.

Sejak saat itu, keduanya mulai berbagi cerita. Hal-hal kecil yang sepele dan terkesan tiada guna pun tidak terasa sia-sia, karena mereka sama-sama menikmatinya.

Perihal Jatuh SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang