#03. Sampan Kecil yang Berlayar

29 4 0
                                    

"Our little interactions never failed to skip a beat of my heart. I don't even know when it started."

·········⋆༺𓆩❀𓆪༻⋆·········

Hal apa yang lebih menyebalkan dari bangun terlambat dan baru menyadari bahwa tiga puluh menit lagi ada mata kuliah yang harus dihadiri? Itu yang sedang Widari rasakan. Ia yang baru selesai mandi pun kelabakan sebab informasi yang baru dibaca jam setengah delapan.

Mata kuliah diadakan pukul delapan. Sedikit bodoh, memang. Masih sempat pula gadis itu memesan minuman. Katanya, "Sudah terlambat, sekalian saja diperlambat."

"Kamu bodoh, ya?" tanya Gendhis yang menemani Widari membeli minuman dingin.

"Iya," jawab Widari dengan santai. Ia lantas menenteng plastik berisi es teh dengan campuran rasa Oreo yang telah dibeli. Langkahnya dimulai dengan kaki kiri, menuju Angkasa Cendekia yang sudah tampak atap menjulangnya.

"Nggak jelas," gumam Gendhis sembari menyusul langkah si gadis. "Matkulnya jam berapa, sih?"

"Lima menit yang lalu," jawab Widari dengan santai.

"Dan kamu malah beli es. Pinter banget," dengus Gendhis sembari merotasikan mata. Ia tak habis pikir dengan bagaimana cara kerja otak Widari. Mengapa bisa ia berteman dengan orang gila seperti ini?

"Aku ke kelas dulu. Bye!" Gendhis pun berlalu, menuju gedung Citra Gemintang yang berada di sisi utara.

Widari hanya mengangguk singkat, kemudian menuju tangga, sebab lift saat itu sedang penuh-penuhnya. Jujur saja, ia sudah sedikit muak dengan tiap undakan, tapi tanpa sadar telah berdamai dengan keadaan.

Orang-orang menyebutnya Si Anak AC, karena kebiasaan Widari yang berlalu-lalang di sekitar gedung tersebut.

Sebenarnya, gadis itu hanya belum bisa beradaptasi dengan gedung-gedung lainnya. Ia sudah terbesit rencana untuk menjelajah seisi kampus ini. Hanya perlu mengumpulkan kepercayaan diri sedikit lagi.

Tiba di kelas, rupanya saat itu dosen sedang berada di luar, menyisakan teman-teman yang tak menggubris kelompok yang sedang presentasi di depan. Widari berjalan gontai ke bangku paling belakang, lantas meletakkan cup es tehnya di meja dan melepas tas selempang; menjadikannya bantal punggung.

Gadis itu mulai menumpu dagu pada telapak tangan, mengawang jauh ke bumantara nan membentang di luar jendela. Bak perhatian disita paksa, lamunan Widari seketika mengalihkan dunianya, membuat kedua mata gadis itu bagai ditutup awan mimpi.

"Pst! Kenapa telat?" tanya laki-laki bernama Arya yang saat itu kebetulan duduk di sebelah kanan Widari.

"Telat buka grup," jawab Widari. "Ini lagi presentasi, kok dosennya nggak ada?" tanyanya, penasaran.

Arya mengendikkan bahu. "Beliau juga nggak bilang mau ke mana, tau-tau hilang."

"Lah? Terus, nilainya diambil dari mana?" Widari mengernyitkan alisnya, bingung. Sebuah refleks yang tak pernah ia sadari, ia akan mengambil minuman dan menyeruputnya sembari menatap ke lawan bicara saat sedang bingung. Hal ini hanya berlaku jika ia sedang memiliki minuman.

"Entah." Lagi-lagi, Arya mengendikkan bahu. Kemudian, laki-laki itu mulai membuka topik pembicaraan baru dengan teman sekelas yang lain.

"Ish! Kok yang cokelat, sih?" gerutu si gadis begitu sadar bahwa bubuk Oreo yang dipakai adalah rasa cokelat. Pantas saja, rasanya aneh.

Tentu. Widari tidak suka cokelat. Ia lebih suka vanila.

Smartphone ia keluarkan dari dalam tas, ia tekan kontak yang terlampir paling atas; sebab terlalu sering dihubungi untuk bertukar pesan, membahas hal-hal kecil yang dirasa menyenangkan.

Perihal Jatuh SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang