#02. Ini Perihal Laki-Laki dan Keresahan Hati

42 3 0
                                    

“Not all of the boys were the same.”

·········⋆༺𓆩❀𓆪༻⋆·········

Elriska berada dalam misinya mencari sosok kakak tingkat dari program studi Tadris Matematika; berusaha menemukan insan yang beberapa hari lalu meninggalkan kesan menakjubkan.

Sayang sekali, gadis itu bahkan lupa bagaimana rupa si Mas TMT yang menarik perhatiannya.

"Padahal aura positifnya kuat banget," gumam si gadis sembari menatap sekeliling, berharap ia akan menemukan si kakak tingkat di suatu tempat.

Tepat ketika gadis itu memaku tatap ke arah gedung Sentosa Jaya, sorot pandangnya teralih begitu saja, menemukan figur tak asing yang berdiri agak jauh di samping; bersandar pada sebuah pohon.

Kemeja putih yang dikenakan lelaki itu sedikit kusut, lengan panjangnya ditekuk sebatas siku— tak cukup rapi, celana hitam dengan ikat pinggang, dan rambut lurusnya yang berantakan.

"Orang gila." Kedua mata gadis itu membelalak tak percaya, bak menyaksikan buana dibelai sang bumantara dalam dekap sejuk nuansa hutan hujan. Elriska bergeming, perlahan telinganya berdenging, meminta ia tak berpaling.

Wiratama terlihat begitu tampan— sangat tampan. Ketika sang bayu menderu; meniup helaian rambut lelaki itu dengan lembut, menyisihkan poni depan yang beberapa kali menutupi potret paras rupawan; Wiratama bak sebait puisi dengan diksi paling indah di semesta kecil si gadis permata Februari.

Menatap lelaki itu masih saja menenangkan, juga menyenangkan. Elriska tak sadar sejak kapan rahangnya sedikit turun, juga sejak kapan ia tak berkedip seperempat detik pun.

"Oi!" Sapaan itu tak membuat si gadis tersentak, berasal dari Melani yang secara tiba-tiba merangkul pundak.

"Gawat, Mel..." Elriska bergumam tanpa sedikit pun mengalihkan pandang. "Aku ... aku masih nyari-nyari Wira di tengah kerumunan," lirihnya seperti racauan.

Melani dan sedikitnya pembendaharaan reaksi. Gadis itu tak tahu harus mengatakan apa agar sahabatnya tak menjatuhkan kumpulan air yang terbendung di pelupuk mata. Ia pun memberi beberapa usapan pada lengan, sebab mulutnya hanya akan mengatakan fakta yang dapat memukul Elriska.

"Jangan di tengah jalan. Kita ke pinggir aja dulu," saran Melani sembari menuntun Elriska untuk menepi.

Tangis sesenggukan itu tertutup oleh poni samping si gadis, yang rupanya tak luput dari sepasang mata yang menatap dengan hati teriris.

"Berhenti, Ris. Aku nggak pantas buat kamu."

·········⋆༺𓆩❀𓆪༻⋆·········

Sekali lagi, Widari mengembuskan napas lelah. Alan masih saja sering menghantui isi kepala. Mungkin, ia memang sudah jatuh sebegitu dalamnya.

"Kamu kenapa, sih? Dari tadi hah huh hah huh mulu!" celetuk Nasya. Gadis itu sedang terhubung dalam panggilan telepon dengan sang kekasih yang saat ini di Gorontalo. Kasihan, LDR.

"Aku tuh kayaknya udah move on dari Alan, tapi kayaknya masih suka dia juga," keluh Widari selagi memeluk bantal dengan bordir gambar Mickey Mouse di tengahnya— lebih cocok dikatakan mencekik bantal tersebut.

"Kayaknya," sela Nasya.

"Iyalah! Kalau Alan tiba-tiba ngajak pacaran, aku nggak nolak." Widari mengulas cengiran tak bersalah, sementara Nasya merotasikan mata; jengah.

Perihal Jatuh SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang