BAB 4 MUSIM PENGHUJAN

27 1 0
                                    

Aku keluar kamar dengan seragam lengkap dan tas ransel yang terkait di pundak sebelah kiriku. Kudapati Kak Teduh duduk di sofa panjang berwarna heather. Sibuk menatap ponselnya. Kujatuhkan tubuhku, duduk tepat di samping kirinya.

"Bola terus," komentarku saat mencuri pandang ke layar ponselnnya. Dia hanya melirikku sinis sembari mendorongku menjauh dengan tangan kirinya. Wajahnya terlihat layu. Selayu apel hijau di atas meja. Apel sisa yang Ibu keluarkan dari kamarku, dan diganti dengan yang baru.

"Kakak begadang semalam?" tanyaku dengan suara rendah. Dia hanya menggeleng tanpa memindahkan tatapannya dari layar ponsel.

Aku menghela napas dalam. Akhir-akhir ini, Kak Teduh banyak berubah. Setidaknya itu yang aku rasakan. Tidak seperti tahun-tahun lalu. Dia selalu bersemangat menggodaku. Cerewet dan sibuk mengaturku. Kini ia semakin kalem. Menyendiri. Menjauh. Aku ragu kalau ini adalah tanda-tanda memasuki fase kedewasaan. Ah. Sudahlah. Sebenarnya aku pun sudah tidak serame dulu. Sekarang jauh lebih pendiam. Tapi karena tidak terlalu sering bergaul di luar rumah, hanya Kak Teduh yang sampai saat ini menjadi teman paling nyaman untukku.

Kembali kulirik Kakakku. Matanya terlihat memerah. Efek begadang atau... Belum sempat berpikir jauh, suara pintu kamar Ibu berderit. Menampakkan wajah ayu milik Ibu. Wajah dan hidung Ibu terlihat memerah. Pasti efek dingin, pikirku. Tanpa melihat ke arah kami, Ibu langsung menuju dapur. Kulihat sudut mata Kak Teduh mengekori Ibu sampai menghilang ke dalam dapur. Beberapa saat masih seperti itu.

"Kok, bengong, Kak? Kenapa?"
"Gapapa," jawabnya singkat sambil mengelus kepalaku.
"Ish," Kutepis tangannya kesal karena membuat jilbabku berantakan. Dia tersenyum tipis, lalu kembali fokus pada layar ponsel miliknya. Sebenarnya tidak terlihat terlalu fokus. Seperti sedang berpikir. Bingung. Linglung. Ada apa dengan Kak Teduh?' Pertanyaan itu berkelebat dalam benakku.

"Kalian sudah siap? Sepertinya hujan mereda. Ayo sarapan dulu." Suara bariton milik Ayah membuyarkan pikiranku. Kak Teduh melepas ransel dan ponselnya ke atas meja. Berlalu, meninggalkan kami. Kutatap Ayah dengan senyuman manis saat mendekat dan mengelus kepalaku.

"Anak gadis Ayah, tidurnya nyenyak semalem?"
"Ho oh," kuanggukkan kepalaku. Ayah meraih tanganku. Menggandengku menuju dapur. Ada Ibu yang sedang menyeduh teh manis daun pandan. Aromanya menyeruak. Wangi. Aku dan Ayah duduk bersisian. Hanya ada roti tawar dan madu di atas meja. Tidak ada makanan lain. Biasanya Ibu membuat nasi goreng. Di lain hari, telur goreng dengan sambal bawang atau sambal tomat mentah sebagai teman nasi. Berbeda-beda setiap hari. Yang penting nasi harus ada setiap pagi. Maklum kami keluarga pribumi tulen. Belum makan namanya kalau belum makan nasi.

Mungkin menu hari ini sarapan ala bule. Sebab itu di atas meja hanya ada sebungkus roti tawar dan madu yang ditaruh dalam mangkok putih polos. Buat cocolan. Ibu meletakkan empat gelas teh di atas meja. Aromanya sangat istimewa. Aroma Ibu. Teh pandan andalan Ibu.

Aku tidak protes meski tidak ada nasi. Mungkin karena cuaca seperti ini. Minum teh hangat dengan roti madu sepertinya pilihan tepat. Ayah juga tidak protes. Padahal Ayah adalah orang yang harus sarapan nasi tidak peduli entah cuaca dingin atau panas.

Aku celingukan mencari keberadaan Kak Teduh. Kupikir, tadi Kak Teduh masuk ke dapur. Entah kemana dia. Ayah menyeruput tehnya kaku. Terlampau kaku. Aku jadi merasa aneh. Baru tersadar setelah beberapa lama, tetap tidak ada percakapan seperti biasanya antara mereka. Ayah dan Ibu.

Jantungku mulai berdetak tidak menentu. Napasku terasa berat. Aku bangkit dari kursiku. Pamit memanggil Kak Teduh yang entah di mana. Gelisah, aku berjalan ke kamar Kak Teduh. Nihil. Kamar mandi, ruang depan, teras depan, tidak ada. Dengan langkah semakin berat, menahan dadaku yang terasa semakin sesak, aku menuju teras belakang. Benar saja, dia duduk meringkuk di kursi rotan menekuk kedua lututnya. Melihat Kak Teduh seperti itu, terbayang kejadian beberapa tahun lalu. Membuat jantungku semakin berpacu kencang.

"Kak," panggilku. Tidak ada sahutan. Kulihat Kak Teduh memalingkan wajahnya ke sisi kanan. Aku tahu betul dia menghindariku. Saat ini pasti sedang berusaha menetralkan raut wajahnya. Berusaha menyamarkan wajah merahnya. Aku menunduk, tidak menatapnya. Memberikan waktu untuk dia menenangkan dirinya.

"Dipanggil Ibu sarapan," dustaku. Masih dengan menunduk menatap jari kakiku. Aku mencuri pandang dari sudut mataku, Kak Teduh berdiri dari duduknya dan berjalan ke arahku. Aku masih menunduk. Tak berani menatapnya. Ia berjalan melewatiku. Menuju dapur. Aku mengekori dari belakang.

Suasana dapur masih sama heningnya. Tidak ada satupun yang berbicara. Hingga Ayah menyelesaikan sarapannya lalu mengajakku berangkat sekolah bersamanya. Meninggalkan Ibu dan Kak Teduh yang duduk dalam diam.

Aku bergegas mengambil tas sekolahku yang kutinggalkan di ruang tengah. Ayah sedang memanaskan motor di halaman depan. Motor matic berwarna hitam yang selalu menemani Ayah kemana pun ia bepergian. Aku kembali ke dapur. Pamit pada Ibu dan Kak Teduh. Kucium punggung tangan Ibu. Lalu kukecup kedua pipi dan keningnya. Lumayan lama. Ibu tersenyum hambar. Menarik dan mengembuskan napasnya singkat. Sangat singkat. Seolah agar tersadar dari sesuatu. Ia memelukku. Seperti biasa saat aku hendak pergi atau datang dari suatu tempat. Sesaat setelah ibu melepas pelukannya, aku juga pamit pada Kak Teduh. Mencium punggung tangannya. Lalu, dia mengecup puncak kepalaku seperti biasa. Biasanya Kak Teduh juga akan mengetuk keningku seolah keningku sebuah pintu. Sekedar menggodaku. Tapi tidak dengan pagi ini. Sepertinya, terlalu banyak hal dalam benaknya.

Sebenarnya, akupun begitu. Bahkan rasa takut ini hampir membuatku tidak bisa bernapas. Takut sesuatu seperti saat itu terjadi. Takut, sesuatu yang lebih buruk bisa terjadi. Aku melangkah keluar rumah, menemui Ayah yang sudah naik di atas motor. Menungguku naik di boncengannya. Dan rasa takut itu semakin menyiksa tatkala Ibu tidak juga keluar mengantar kepergian Ayah. Atau Ayah yang berpamitan pada Ibu. Sesuatu pasti sudah terjadi. Pikirku.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, aku dan Ayah bertahan dalam hening. Aku takut membuat Ayah merasa terbebani. Sehingga aku memilih diam. Hingga memasuki gerbang sekolah, dan aku turun dari boncengan Ayah.

"Keluar main pertama nanti, sarapan soto sama Ayah di kantin," ajak Ayah padaku. Mungkin Ayah khawatir sarapan di rumah tadi tidak cukup. Aku hanya mengangguk. Lalu salim dan pamit ke kelasku.

Aku berjalan dengan pikiran semrawut. Sesemrawut kabel listrik yang malang melintang sepanjang jalan tadi. Bahkan mungkin lebih semrawut. Sampai aku tidak memperhatikan kerumunan siswi yang memenuhi lorong menuju kelasku. Baru tersadar saat aku menabrak kerumunan itu. Kuangkat kepalaku melihat sekitar. Mencari penyebab mereka berkerumun seperti ini. Dan ternyata, sama seperti biasa. Kakak kelas ganteng yang menjadi favorit seantero madrasah ini. Yang katanya super ganteng, kalem, alim. Entahlah. Itu tidak terlalu menyita perhatianku. Justeru, aku jatuh cinta pada ibunya. Salah seorang guru di sekolah kami. Guru yang menjadi wali kelasku saat ini. Sosok anggun dan penyabar. Pembawaan dan cara mengajarnya. Aku suka semua hal tentangnya. Ibu Guru Diana.

Kualihkan pandangan dari kerumunan. Menatap langit yang masih kelabu. Seolah tak sabar untuk meneteskan kembali airnya. Mengingatkan lagi ketakutan dalam hatiku.

HAPPY READING, DEAR.

ON GOING_GREEN APPLE 🍏Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang