BAB 5 LUKA LAMA

14 1 0
                                    

Langit masih berwarna abu. Hujan terkadang mereda, terkadang menderas. Seolah enggan membiarkan langit menikmati cahaya matahari. Seperti rasa takut di dadaku. Datang lagi setelah sekian lama. Seolah enggan memberi sedikit saja rasa tenang dan lega.

Bagiku, hari ini waktu seolah merangkak. Begitu pelan. Terlampau pelan. Menambah letih di hati yang memang letih. Aroma tanah dan dedaunan yang tersiram hujan, menembus penciumanku. Pekat. Lengkap sudah hujan ini mengungkungku.
Bu Guru Diana sedang membacakan nama-nama siswa siswi yang mendapat giliran English speech hari ini. Sebelum pelajaran dimulai, Bu Guru Diana menunjuk lima siswa siswi untuk berpidato dengan Bahasa Inggris setiap kali jam pelajarannya. Lihatlah. Bahkan sekedar membaca nama-nama siswa saja, dia tetap terlihat anggun. Ditambah suara kalemnya membuatku semakin menyukainya. Tetap saja, itu belum bisa membuatku fokus. Pikiranku masih kemana-mana.

Kucoba memusatkan pikiranku saat Riska, teman satu bangku denganku maju ke depan kelas dan mulai berpidato tentang ajakan gemar membaca buku. Suaranya lantang dan tegas. Pelafalan Bahasa Inggrisnya bagus. Dia memang anak yang pintar. Juga baik hati. Selama beberapa bulan ini, dia banyak membantuku dalam pelajaran, atau hal di luar itu.

Tiba giliran Andre. Siswa berbadan tinggi dan kurus. Dia anak yang lucu dan usil. Sering membuat lelucon dan menjaili teman-teman di kelas. Dia maju dengan membawa teks yang telah ia persiapkan. Bu Guru Diana memang membolehkan membawa teks untuk sementara. Asal berani maju dulu.

"PIGEON CAGE," ucap Andre dengan lantang membaca judul pidatonya. Satu kelas riuh dengan suara tawa dan teriakan seketika. Bagaimana tidak, pidato yang Andre bawakan ia ambil dari buku paket kelas tujuh. Sebuah tulisan pendek yang bercerita tentang sangkar burung merpati. Akupun sempat tersenyum geli. Ah. Andre. Dia bukan anak yang berprestasi. Tapi dia adalah sumber tawa dan kebahagiaan di kelas ini. Bahkan, Ibu Guru Diana juga terlihat mengulum senyumnya. Manis sekali.

Bel keluar main pertama menggema di seantero madrasah. Aku bergegas ke kantor guru untuk mencari Ayah. Kami berjanji makan soto di kantin. Ayah terlihat masih berbincang dengan guru-guru lain di kantor. Aku tidak enak hati untuk menyela. Kuputuskan menunggu di teras. Lima menit berlalu. Aku masih berdiri. Mengetuk-ngetuk sebelah ujung sepatuku ke lantai. Bosan. Haruskah aku masuk saja? Mungkin Ayah lupa.

"Nunggu Pak Guru Teguh?" Sebuah suara mengejutkanku. Aku menoleh. Seseorang dengan wajah indah berdiri tepat di belakangku. Teramat indah. Pantas jadi idola para siswi.

"Ehm," jawabku singkat sambil menganggukkan kepala kaku.
"Masuk, yuk! Aku juga mau cari Ibu," ajaknya. Aku menggelengkan kepala.
"Bisa minta tolong kasi tahu Ayah, Mei nunggu di sini"

Dia mengangguk sambil mengulum senyumnya. Senyum itu, seolah mengejekku. Aku tiba-tiba bingung dan kesal sendiri. Ada apa dengan senyum itu? Aah. Selang beberapa detik aku tersadar. Dia pasti menertawaiku karena memanggil diri sendiri dengan nama. Ish. Memalukan. Tapi mau bagaimana lagi. Aku sudah terlalu terbiasa dengan itu. Aku membasahi bibirku yang terasa kering dengan ujung lidahku. Ayah terlihat berjalan keluar pintu kantor.

"Maaf, Sayang. Ayah keasyikan ngobrol." Aku hanya mengangguk. Ayah meraih pergelangan tanganku dan berjalan menuju kantin. Aku celingukan. Dan menemukan di belakang kami ada Kak Artha, sang idola, dengan senyumnya. Perlahan aku melepaskan diri dari genggaman tangan Ayah. Ayah menatapku dengan kedua alis terangkat.

"Banyak yang liatin," kilahku.
"Oh. Jadi sekarang anak gadis Ayah malu gandengan sama Ayah?" Aku tersenyum meminta pengertian Ayah.
"Ya sudah. Ayo!" ajak Ayah. Aku mengikuti langkah Ayah menuju kantin. Duduk sebentar menikmati soto Bik Siti. Lalu kembali ke kelas. Saat tiba di kelas, masih banyak bangku kosong. Artinya anak-anak lain masih banyak yang belum masuk ke kelas. Aku duduk di bangkuku. Melihat ke arah jendela. Hanya termangu.

"Tok, tok." Dua ketokan di mejaku membuat acara termanguku terhenti. Kak Artha menyodorkan satu botol susu rasa stroberi. Tentu saja aku terkaget-kaget. Ngapain coba, idola sekolah ke kelasku. Ngasi susu pula. Aku menoleh ke keliling kelas. Benar saja. Ada yang berbisik sambil melirik sinis. Ada yang bisik-bisik sambil senyam-senyum. Menjadi pusat pehatian membuatku risih. Aku berdiri dari bangkuku. Menarik lengan baju Kak Artha keluar dari kelas.

"Eh he. Ada apa ini?" tanya Riska dengan kedua tangan terangkat dan mata melotot saat kami berpapasan di pintu.
"Enggak ngerti," jawabku singkat lalu mendorong Kak Artha keluar. Dia hanya tersenyum, saat aku berbalik dan menggandeng tangan Riska meninggalkannya kembali ke bangkuku. Aku menoleh kembali melihat Kak Artha. Ada perasaan tidak enak karena mengusirnya pergi begitu saja. Dia berjalan mundur sambil melambaikan tangan. Masih dengan senyumnya. Aku hanya memandangnya dengan datar. Dan dia pun berlalu. Pergi.

Saat akan duduk, Riska heboh minta penjelasan. Aku hanya menggeleng mencoba menyuruhnya diam. Dia malah menunjuk susu stroberi di atas mejaku dengan pandangan matanya. Aku memutar bola mataku. Mencoba mengatakan tidak ada apa-apa. Aku buru-buru memasukkan susu stroberi itu ke dalam tasku. Bersyukur Guru cepat datang. Akhirnya drama huru hara segera berakhir. Dan aku kembali tenang.

Aku dan Ayah tiba di rumah pukul dua kurang tiga belas menit. Rumah masih sepi. Ibu dan Kak Teduh belum pulang. Ayah membuka rumah dengan kunci cadangan yang ia bawa. Setelah berganti pakaian, Ayah sedikit berteriak menawarkan diri untuk menggoreng telur padaku yang masih di dalam kamar. Untuk makan siang. Aku bergegas keluar. Memberi tahu Ayah kalau aku tidak makan. Karena makan soto di jam keluar main tadi membuat lambungku masih terasa penuh. Masih kenyang.

"Kalau gitu Ayah pergi sebentar. Ada perlu sedikit. Mei istirahat aja. Sebentar lagi Ibu dan Kak Teduh pulang."
"Ayah mau kemana?" tanyaku cemas. Telapak tanganku mulai berair.
"Mei boleh ikut?" tanyaku kembali dengan nada sedikit memaksa. Aku terus mengikuti langkah Ayah saat berjalan mencari kunci motor, helm, dan jaketnya.
"Ayah enggak lama, 'kan?"
"Ayah langsung balik, 'kan, hari ini?"
"Ia, Ayah langsung balik. Sore, atau paling lambat malam."

Ayah sudah menaiki motornya. Memintaku mendekat. Mencium dan memelukku. Tak lupa aku mencium tangannya.
"Mei istirahat di dalam, ya? Tunggu Ibu," pesan Ayah sebelum akhirnya berlalu dengan motornya. Dunia terlihat buram. Pandanganku buram. Kuusap mataku yang sedikit berair. Masuk mengunci diri di dalam kamar.

Hingga sore menjelang. Ayah tak kunjung datang. Aku masih berdiam diri di dalam kamar. Ibu memeriksa keadaanku sekali. Mungkin khawatir karena belum bertemu denganku sejak siang tadi. Dan tentu saja mengingatkanku salat ashar. Dan aku masih bertahan mengurung diri di kamar. Hanya keluar sebentar untuk membersihkan diri dengn guyuran air. Berharap dinginnya akan menyegarkan hatiku yang layu.

ON GOING_GREEN APPLE 🍏Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang