Sudah beberapa bulan berlalu, semenjak perseteruan antara Ayah dan Ibu. Kami sekeluarga masih menjalankan rutinitas sehari-hari seperti biasa. Tapi, banyak hal yang berubah. Membuat dadaku terasa terimpit. Sulit rasanya bernapas, di tengah-tengah, dan terjepit. Antara Ayah dan Ibu yang semakin lama semakin tidak terkendali. Dingin. Sedingin udara malam ini.
Aku keluar dari kamar menuju dapur, hendak mengisi botol minumku. Sudah menjadi kebiasaan, meski hawa berada di titik terdingin, aku tidak bisa kekurangan air minum. Terutama saat mimpi-mimpi datang berkunjung. Mimpi yang dulunya terasa asing dan menakutkan, kini menjadi penghibur dalam hidupku yang berwarna semakin kelabu.
"Bukankah kelabu juga warna?" ucapnya di lain hari. Anak laki-laki dari kebun apel. Kehadirannya berhasil memberi warna yang sedikit berbeda, pada hidupku yang kelabu.
Seringkali kata-kata dan senyum manisnya menghiasi kelamnya hatiku. Rindang namanya. Aku sudah mengatakannya beberapa waktu lalu. Kami sepantaran. Dulu ia lebih pendek dariku. Kini aku harus mendongakkan wajah saat berbicara dengannya. Kulit bersih dan lekukan di ujung bibir kiri dan kanannya, semakin tampak jelas bagiku.
Botol minumku sudah terisi penuh. Saat kembali ke kamar, melewati ruang tengah, langkahku terhenti. Dahulu, pada jam segini, kami akan berkumpul di sini. Ayah dan Ibu dengan laptopnya. Aku dan Kak Teduh yang terkadang sibuk dengan tugas sekolah. Atau, terkadang sibuk berebut remote televisi, demi acara favorit kami. Malam ini, sepi. Ayah keluar rumah selepas salat isya. Ibu berdiam diri di dalam kamar. Kak Teduh, entah di mana dia sekarang. Lagi-lagi, aku hanya bisa menghela napas, dalam. Kebersamaan, terkadang bisa menjadi kenangan terindah. Namun adakalanya, ia menjadi ingatan yang paling menyakitkan. Setidaknya, itu yang kupelajari malam ini.
Sekitar pukul sebelas, Kak Teduh terdengar memasuki kamarnya. Setengah jam kemudian Ayah datang. Mengetuk pintuku. Saat aku memintanya masuk, Ayah masuk dan mendekatiku yang masih duduk di meja belajarku. Ayah membelai kepalaku lembut. Bertanya kenapa aku masih terjaga. Kuberitahu Ayah bahwa aku baru selesai mengerjakan PR. Tentu itu hanya alasan. Karena PR ku sudah selesai dari tadi. Mataku tidak mau terpejam, meski kupaksa. Akhir-akhir ini semakin sulit saja. Ayah mencium pucuk kepalaku. Merapikan anak rambutku. Pamit meninggalkanku, ke kamar. Dan aku, masih termangu. Menjaga malam, yang semakin dingin dan kelam.
***
Aku berdiri di depan gerbang sekolah, menunggu kedatangan Kak Teduh. Hari ini, Kak Teduh berjanji akan menjemputku. Semenjak naik ke kelas delapan, aku semakin jarang pulang bersama Ayah. Selalu ada saja hal lain yang Ayah kerjakan. Sibuk ini dan itu. Entah hanya alasan, aku juga tidak bisa menebak. Beberapa saat menunggu, Kak Teduh datang dan langsung menyuruhku naik ke atas motor. Tidak ada percakapan apapun yang terjadi sepanjang jalan pulang. Entah kapan terakhir kali kami mengobrol. Seperti dulu. Selalu ada bahan. Tidak jarang ribut berdebat tentang segala hal. Tertawa karena hal-hal sepele. Sekali lagi, semua sudah menjadi kenangan. Kakakku kini terlalu pendiam. Tidak seperti dirinya yang dulu kukenal.
Tiba di rumah, masing-masing kami masuk ke dalam kamar. Mengurung diri. Begitupun dengan Ibu. Saat tiba di rumah, ia akan berganti pakaian dan sibuk di dapur. Bila sudah selesai dengan segala hal, Ibu juga lebih banyak berdiam diri di kamar. Tidak ada ritual duduk santai bersama di ruang tengah, selepas seharian beraktivitas di luar rumah. Seperti dulu.
Sore hari, Kak Teduh sudah keluar rumah lagi. Entah kemana. Pulang di atas jam sebelas malam. Saat Ayah atau Ibu mencoba menegurnya, ia akan semakin menjadi. Dan semakin tidak terkendali. Kak Fatih, kawan akrabnya sudah tidak pernah terlihat lagi. Dulu, hampir tiap malam mereka nongkrong di teras depan. Seiring waktu, semakin jarang. Dan sekarang sudah tidak lagi.
Adapun Ayah dan Ibu, mereka masih sering bersiteru. Aku belum tahu, tentang apa semua ini. Aku benar-benar tidak bisa menebak. Sampai malam ini, saat Ayah mengucapkan kalimat yang membuat rasa takutku tidak tertahan lagi: "AKU DAN DIA SUDAH TIDAK ADA HUBUNGAN APAPUN LAGI!!!" Suara Ayah menggelegar, penuh amarah. Diikuti oleh suara pintu yang dibanting dengan keras."Ya, Tuhan! Ada apa ini?" gumamku.
Kilat meyambar. Hujan perlahan mulai mengguyur bumi. Kucoba menahan rasa sakit yang menghujam di dadaku. Secepat kilat aku membuka pintu kamar, lalu berlari ke arah Ayah yang sedang menggeret motornya ke luar halaman.
"Ayah, jangan pergi!" teriakku. Ayah menoleh, namun tidak berhenti. Ia bahkan menaiki motornya. Aku melesat ke arahnya. Memeluk kakinya. Memohon agar Ayah tidak pergi. Berteriak. Mengiba. Mengatakan segala hal untuk membuat Ayah berhenti, dan kembali ke dalam rumah.
Saat Ayah turun kembali dari motornya, aku terduduk lemah di atas tanah yang mulai berlumpur, tersiram hujan yang mulai menderas. Suara tangisku berlomba dengan hujan. Melebur. Seakan saling menyemangati. Jika langit saja menangis saat petir menyambar, bagaimana dengan aku yang tidak sekokoh langit? Petir ini terlalu menakutkanuntukku.
Ayah mendekatiku perlahan. Ikut duduk dan memelukku. Ada suara gemuruh dari dadanya. Mungkin ia juga menangis sepertiku. Pelukan Ayah semakin erat. "Maafkan Ayah, Sayang." Kudengar ucapan Ayah meski samar. Ayah terus memelukku. Dan isakannya pun semakin terdengar jelas di telingaku.
Hujan masih terus mengguyur, tidak mundur selangkah pun. Suaranya seperti irama menakutkan yang memenuhi malam. Aku dan Ayah sudah berada di dapur. Suara Sendok beradu dengan gelas. Ayah sedang membuat minuman hangat untukku. Aku duduk tanpa suara di hadapan Ayah yang sedang sibuk mengaduk madu yang baru saja ia tuangkan, agar menyatu dengan air putih yang masih mengepul. Mengenakan sweater mocca, dengan handuk yang melilit di kepalaku.
Minum ini dulu, biar hangat." Ayah menyodorkan air madu hangat buatannya. Aku meraih gelas dan langsung meneguknya perlahan.
"Ayah bisa tidur di kamar Mei," beritahuku pada Ayah.
"Enggak perlu. Ayah tidur di sofa ruang tengah," jawab Ayah dengan senyum tipis di bibirnya. Aku menggeleng dengan cepat.
"Enggak. Ayah tidur aja di kamar Mei. Mei bisa tidur di lantai," ucapku dengan sedikit memaksa.
"Ayah janji, Ayah tidak akan kemana-mana." Ayah mencoba meyakinkanku. Dikecupnya pucuk kepalaku. Lalu berjalan mengambil kain lap. Mengelap sisa-sisa air dari kaki dan pakaian kami basah kami yang menggenang di lantai. Aku mendekati Ayah. Memeluknya sejenak dan masuk ke dalam kamarku dengan langkah ragu.
Aku duduk di atas ranjang. Menekuk dan memeluk lututku. Air mataku mulai menderas, tanpa suara walau sekedar isakan. Semakin lama semakin deras, menyelaraskan buliran hujan di luar jendela kamarku, yang sibuk menerpa atap dan dedaunan pohon apel. Dadaku terasa berat. Dan hatiku, terburai. Entah berapa lama aku seperti ini. Aku melirik jam hijau kecil berbentuk persegi di atas nakas, hampir pukul tiga. Perlahan aku merasa lelah. Tenagaku terkuras mengamati sekitarku. Takut ada yang terlewat. Lalu aku tertinggal sendiri. Tapi, tak ada yang tahu betapa lelahnya aku. Tak ada yang tahu betapa sunyi nya hatiku. Sepi. Seperti berada disebuah padang luas di malam hari yang tenang. Bahkan suara angin pun tidak terdengar. Dan tidak ada yang bertanya, sesepi apa itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ON GOING_GREEN APPLE 🍏
FantasiaGenre : Slice Of Life, Fantasi, Remaja Blurb: Pernahkah kalian memiliki hari yang begitu indah? Semua terasa sempurna. Matahari dengan cahayanya yang nyaman dan hangat. Sentuhan angin yang sejuk menggoyang dedaunan. Aroma bunga-bunga yang memberi ke...