1. Pulang (last chapter in my future)

2.4K 108 3
                                    

Happy reading

12 tahun berlalu, Irin tumbuh menjadi seorang gadis cantik yang menjadi kebanggan papa mamanya. Tepat diulang tahunnya yang ke-17-ia ingin merayakan ulang tahun bersama kakek neneknya.

Irin POV

Saat umurku menginjak 10 tahun, papa mendapat tugas dinas di luar pulau. Iya pulau bukan kota, maka dari itu ke rumah mbah dan nenek hanya satu tahun sekali itupun kalau sempat. Tapi papa sama mama sudah berencana membeli rumah di daerah tempat tinggal dulu.

Saat itu aku tidak mau ikut papa pindah ke rumah dinas papa yang baru, alasannya simpel aku tidak mau jauh-jauh dari kak Dewa. Tetapi papaku memarahiku habis-habisan untuk tidak terlalu dekat dengan teman cowok.

Dan disinilah aku sekarang, menghirup udara segar pedesaan sembari memandang pelataran rumah mbah ku yang sudah mulai terasa asing di indra penglihatanku. Wajar saja aku, mama, papa dan kedua adik kembarku sudah tidak pulang sekitar 5 tahunan dan selama itu pula aku tidak bertemu dengan kak Dewa.

Aku tersenyum lembut dengan mata yang berkaca-kaca saat mbah uti dan kakung keluar dari rumah. Aku segera berlari merengkuh tubuh keriput mbahku. Beliau-beliau memang bukan mbah kandungku, tapi aku sangat sayang dengan beliau.

"Mbah, Irin kangen" rengek Irin memeluk tubuh ringkih sang uti.

"Mbah juga kangen Rin, kenapa baru pulang sekarang" ucapnya dan memukul lenganku pelan.

Aku terkekeh, "papa tuh salahin, padahal kan Irin bisa pulang sendiri naik pesawat nemenin mbah pas Irin liburan sekolah tapi gak dibolehin sama mama juga"

"Sudah-sudah, ayo masuk dulu pasti kalian capek" sanggah kakung menyuruh semuanya masuk.

Aku berganti bergelayut manja di lengan keriput mbah kakung, keluarga mama adalah keluarga pualingg baik di hidupku.

"Itu tuh mbah kerjaan kakak, ngalem mulu bisanya" adikku yang satu itu mulutnya memang luwes, siapa lagi kalau bukan Arul. Sedangkan adikku, Aril-berbanding terbalik dengan Arul, dia sangat pendiam dan cuek tapi perhatiannya jangan diragukan.

"Yee, bilang aja iri" aku menatap tajam adikku yang satu itu.

"Sini mbah kakung kangen sama cucu kembar mbah" aku melepaskan lengan mbah kakungku, aku mengerti beliau sangat merindukan cucu kembarnya juga.

"Sudah kelas berapa? Mbah gak ingat mana Aril mana Arul" ujarnya sembari membenarkan letak kacamatanya.

"Yang cerewet ini Arul mbah kakung" aku mencubit pipi tirus Arul. Tubuhku dengan adik kembarku hampir sama tapi masih sedikit tinggi adik kembarku, ingat hanya sedikit.

"Aril sudah SMP kakung, mau naik kelas 2" balas Aril dengan serius setelah berpelukan dengan tubuh Mbah Kakung.

Setelah sesi saling melepas rindu selesai, kakiku gatal untuk tidak berjalan. Aku tidak sabar bertemu dengan kak Dewa, kemarin aku sempat bertukar kabar dengan kak Dewa lewat sosial media.

"Pa" panggilku dengan bersandar di kusen pintu kepada papa yang siap membaringkan tubuhnya ke kasur.

"Apa?" Tanya papaku sewot, mungkin papa ngerti kalau aku ijin untuk keluar.

"Papa gak mau gitu, ke rumahnya bapak komandan" basa-basi ku.

Papaku menatap aneh ke arahku, "sudah ganti komandan batalyon sini, ngapain" ujarnya membuatku mencebikkan bibir-kesal.

"Paling gak kan papa silaturahmi sama letting papa"

"Iya besok Rin, sekarang papa istirahat dulu"

Aku menghentakkan kakiku kesal, "sekarang pa, Irin mau ketemu temen-temen" rengekku.

Papa malah menatapku garang sebelum aku berteriak memanggil mamaku.

"Mama, papa melototin matanya nih sama Irin" teriakku.

Karena tak ada sahutan dari mama akhirnya aku beranjak dari kamar mama. Aku menghampiri kedua adikku yang siap menenteng ember dan pancingan.

"Mau kemana mbah?" Tanyaku saat melihat Kakung juga siap memakai topi.

"Mau mancing Rin, nih adik-adikmu yang ngajak" jawabnya.

"Ikutttt" aku segera menggandeng lengan kakungku agar aku juga dibawa.

"Ih kakak tunggu dirumah aja, cewek bagian masak" sanggah Arul yang tak aku dengarkan.

***

Sekitar pukul 3 sore, aku, mbah kakung, kedua adikku pun pulang kerumah dengan masing-masing membawa ember hasil tangkapan ikan. Kecuali aku yang hanya membawa seperti saringan ikan.

Tubuhku penuh dengan lumpur, karena tadi aku tak sengaja kepleset di tanah yang basah di tepi sungai. Untung saja aku tak sampai jatuh ke sungai karena Aril yang sigap menarikku sedangkan Arul tertawa terbahak-bahak.

"Rin lewat belakang ya biar gak diomelin sama mbah uti" suruh kakungku yang aku angguki dengan semangat.

"Astagfirullahalladzim Irin" teriak mamaku saat melihat keadaanku di dapur.

Aku hanya cengengesan, "ini tadi Irin jatuh ma di pinggir sungai. Jangan salahin Irin, tapi tanahnya suruh siapa basah"

"Eitss mama gak perlu marah, sudah Irin bawain ikan segar. Bajunya nanti Irin cuci sendiri kok, Irin kucek sampe bersih" sanggahku segera sebelum mama mengomel.

Mama hanya mengangguk saja, aku menghela nafas lega saat mama tak marah. Aku memandang baju baruku yang penuh lumpur, sayang sekali tapi juga seru.

"Rin taruh saja bajunya disana, biar uti yang cucikan. Gak usah bilang-bilang sama mama" ujar utiku yang baiknya kelewat batas.

"No, mbah uti kedepan aja ya ambil ikannya. Irin mau cuci baju dulu, soalnya baju Irin masih baru" aku tidak mau memanfaatkan kebaikan mbah utiku itu.

Malamnya, kami sekeluarga berkumpul makan bersama di ruang tamu rumah mama-duduk lesehan tak terkecuali kakek, nenek dan Tante Fira beserta suaminya ada juga om Farid dan Tante Dewi.

Aku benar-benar bersyukur ibu tiriku adalah mama Hana. Aku siap menukarkan nyawaku demi melindungi mama. Bukan hanya mama tapi keluarga mama. Aku bukan cucu kandung Mbah uti dan kakung tetapi mereka tak pernah membedakan aku dan kedua adik kembarku yang jelas-jelas cucu kandungnya. Mama sama, mama tidak pernah membela anak kandungnya. Mama akan memarahi siapa saja yang salah, bahkan saat aku bertengkar dengan kedua adikku mama akan memarahi semuanya dan pada akhirnya aku minta maaf di pelukan mama.

Iya aku sangat-sangat beruntung memiliki mama Hana. I love you ma batinku saat melihat mama tertawa begitu bahagia dengan menggendong anak Tante Fira.

"Rin sudah punya pacar belum?" Celetuk Tante Fira membuatku tersenyum malu-malu.

"Apa sih masih sekolah, kok pacar-pacaran" sungut papaku tak terima.

Padahal aku memang tak punya pacar, "emang siapa sih pa yang pacaran" papaku semakin tua semakin menyebalkan. Beliau mewanti-wanti aku agar bersikap layaknya seorang kakak, papa juga menyuruhku anggun seperti mama-tidak petakilan dan banyak lagi peraturan papa yang tak aku dengarkan.

"Rin, Dewa kemarin juara 1 pencak silat tingkat kabupaten loh" kini giliran om Farid yang berceletuk.

Aku memandang binar kala om Farid membawa-bawa nama Dewa. "Beneran om? Kak dewa emang dari dulu suka silat" ucapku malu-malu.

"Rin, papa sudah bilang gak boleh dulu Deket sama cowo" papaku lagi-lagi menimbrung.

"Ma, papa sudah tua ya. Padahal kan Irin dari dulu maennya bareng kak dewa, deketnya sama kak Dewa" ucapku sewot.

Mama hanya tertawa cekikikan, sedangkan papa menatapku dengan sorotan matanya yang tajam, tapi siapa yang takut. Tinggal mengadu sama mama-papa bakalan diem hehe.

IrenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang