Sesuai perkataan sang papa, Irin segera bersiap-siap memakai baju terbaiknya untuk menemani papanya ke rumah para letting. Celana jeans yang dipadukan dengan blouse warna biru langit tanpa lengan menjadi pilihan Irin saat ini, ia juga menata rambutnya dengan aksesoris pita, sedikit rambut yang menjuntai di kedua sisi wajah imutnya.
"Rin, ganti baju" tegas Ayub saat melihat sang putri keluar dari kamar sang nenek hanya dengan baju yang tak tertutup.
Irin berdecak kesal, papanya selalu seperti itu tak bisa bicara dengan santai. "Pa, Irin udah pakai celana panjang. Bajunya juga kelihatan sopan, apanya yang harus diganti"
"Ya sudah tidak usah ikut, diam disini" tentu saja Irin gelagapan saat papanya mengatakan tidak usah ikut, menemani sang papa bersilaturahmi hanya kedoknya saja aslinya ia ingin bertemu dengan Dewa.
"Apa sih mas, marah-marah trus" tegur Hana.
Hana memandang Irin yang begitu cantik dengan balutan bajunya dan tatanan rambutnya yang rapi, banyak orang yang mengatakan Irin persis dengannya meskipun bukan anak kandung.
"Irin suka sama bajunya?" Tanya Hana. Ia tak memaksa Irin agar menggunakan hijab dan menutup aurat, ia hanya ingin Irin sadar dengan sendirinya namun ia tak henti-hentinya menasehati sang anak.
Irin hanya mengangguk.
Hana tersenyum sembari mengelus pipi mulus Irin, "bajunya pendek kaya gini, papa sama mama gak pernah beliin tuh. Irin beli dimana? Online atau beli sendiri di mall?" Tanya Hana hati-hati. Berbicara dengan anak remaja memang sedikit sulit, mungkin karena memang pencarian jati diri maka dari itu ia selalu hati-hati agar tak menyinggung perasaan sang anak.
"Beli online ma" jawab Irin.
"Berapa harganya sayang?" Tanya Hana lagi.
"Tujuh puluh lima ribu"
"Hmm murah ternyata, mama yang belikan kemarin itu loh hampir dua ratus ribu" Hana mencoba mengompori sang anak.
"Ya jelaslah ma, kan itu gamis"
"Apa bedanya, sama-sama baju. Irin gak malu apa pakai baju kaya gitu, tuh lihat ketiaknya keliatan"
Irin menghela nafas panjang, "modelnya memang seperti ini mama, ngapain malu"
"Rin, ganti baju atau gak usah ikut" Ayub pun geram melihat Irin selalu membantah ucapan orang tuanya.
Hana kembali memegang lengan sang suami, bukan seperti itu caranya membujuk seorang anak remaja apalagi perempuan.
"Ya sudah kalau Irin suka, Irin bisa pakai. Tapi hanya kali ini saja ya habis itu disimpan jangan dipakai lagi. Oke?"
Irin mengangguk setuju, ia memang sangat menyukai bajunya.
Mereka semua pun akhirnya pergi dengan wajah Ayub yang tak bersahabat. Bukan karena apa, ia tak mau Irin sering memakai baju-baju terbuka dan akan mengikuti trend masa kini sampai lupa diri.
Sesampainya di batalyon, Irin segera turun dari mobil berniat pergi ke rumah dewa namun pergerakannya ditangkap oleh sang papa.
"Jangan kemana-mana, ikut papa" tegas Ayub.
Irin mengerucutkan bibirnya kesal, "mama" rengeknya agar lepas dari sang papa.
Hana menggelengkan kepalanya, pertanda setuju dengan ucapan Ayub.
"Udahlah kak nurut aja, suka betul kena marah papa" celetuk Arul, sedangkan Aril sibuk dengan gadgetnya. Kesempatan buat dia memegang ponsel sepuasnya selama liburan.
"Ril, ponselnya taruh dulu" ujar lagi sang papa dengan tegas. Dengan patuh Aril mengangguk dan menyerahkan ponselnya kepada sang mama.
***
Irin bersenandung pelan saat memasuki gang kecil yang hanya bisa dilewati oleh motor. Langkahnya begitu ceria saat papanya memilih mengunjungi rumah pak Johan—papa Dewa untuk kunjungan pertama.
"Assalamualaikum" salam keluarga Irin.
Irin seperti celingukan tak sabar ingin bertemu langsung dengan Dewa.
"Waalaikumsalam" jawabnya dari dalam. Terlihat wanita berumur sekitar 50 tahunan itu membukakan pintu dan tersenyum kaget. "Masyaallah ada keluarganya om Ayub. Monggo-monggo masuk om, dek Ayub ayo masuk" antusiasnya.
"Ini Irin ya, cantik sekali. Kalau dilihat-lihat hampir mirip sama dek Ayub ya" ujarnya lagi.
Irin tersenyum bangga setelah bersalaman. Tak lama kemudian, papa dewa muncul dari arah dapur.
"Loh ada Ayub, gimana kabarnya Yub?"
Irin semakin tersenyum lebar saat melihat Dewa keluar dari dalam kamarnya setelah di panggil oleh sang mama. Dengan pakaiannya yang sudah rapi dan tas gendong dipundaknya sepertinya Dewa akan pergi.
"Kak Dewa" cicit Irin. Ia merasa terpesona melihat perawakan Dewa yang tinggi, memiliki kulit yang tak terlalu putih dan sedikit kecoklatan. Parasnya yang begitu manis dan tampan membuat Irin tak berhenti memandangi wajah Dewa.
Irin tersenyum malu-malu saat Dewa memandanginya.
"Apa kabar Rin?" Tanya Dewa.
Irin masih tersenyum manis sebelum lengannya disenggol oleh sang mama. "A-aku baik" jawabnya dengan gugup.
Setelah di persilahkan duduk, Dewa berpamitan.
"Tante, om. Dewa pamit dulu ya, ada jadwal renang sekarang" ujar Dewa.
Irin mendesah kecewa, padahal dirinya sudah sangat antusias ikut sang papa bersilaturahmi agar bisa bermain dengan Dewa.
"Sekalian ajak adik Irin kak, Irin sudah lama ya gak pulang ke sini" timpal Tante Johan—mama Dewa.
Irin bersorak senang dalam hati, ia memandang sang papa dengan pandangan memohon agar diijinkan pergi bersama Dewa. Begitupun saat menatap sang mama.
"Ya sudah pergi saja, nanti pulangnya jangan malam-malam"
Dengan semangat 45 dan segala curahan cinta Irin lontarkan dalam hati kepada sang papa saat mengijinkan dirinya bermain dengan Dewa.
"Irin pamit dulu ya ma pa, om tante" Irin segera melipir saat menyalami orang tua yang ada disana. Ia segera menghampiri Dewa yang sedang menstater motor maticnya.
"Gak bawa jaket?" Tanya Dewa saat melihat baju Irin.
Irin menggeleng pertanda ia tidak bawa jaket.
Dewa mendesah lesu, ia kembali lagi ke dalam rumahnya guna mengambilkan jaket untuk dipakaikan Irin.
"Nih pake" Dewa menyodorkan sweeter oversize yang berwarna hitam kepada Irin.
Irin memandang aneh sweeter yang dirasa akan menutupi seluruh tubuhnya sampai dengan lutut. Kemudian Ia menggeleng, karena akan menutupi seluruh bajunya.
"Ya udah gak usah ikut" celetuknya.
Irin mengerucutkan bibirnya kesal, ia merasa asing dengan sikap Dewa yang terlalu dingin itu. Tidak ada pilihan lain selain memakai sweeter oversize agar ikut Dewa pergi berenang.
"Kak Dewa" panggil Irin saat sudah melaju dengan kecepatan sedang.
"Hmm" jawabnya singkat.
"Kak Dewa sekarang kelas berapa?" Tanya Irin untuk memastikan.
"Gak mungkin kamu lupa, aku kelas berapa"
Lagi-lagi Irin mengerucutkan bibirnya kesal. Ia hanya bertanya untuk memecahkan kecanggungan antara dirinya dan Dewa.
Irin pun memilih menutup mulutnya karena sikap Dewa yang benar-benar berubah. Padahal ia masih sempat bertukar kabar di media sosial meskipun tak selalu namun setiap bulan Irin berusaha menghubungi dan menanyakan kabar Dewa.
***
Siapa yang kangen sama Irin hehee
![](https://img.wattpad.com/cover/348932949-288-k969948.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Irena
Teen FictionKisah si kecil Irin yang telah tumbuh dewasa. (Sequel of My Future) Irin-perempuan super ceria dan penuh kasih sayang dari orang tuanya. Menjadi desainer dan memiliki butik tersendiri adalah cita-citanya sedari kecil. Dewa-seribu tanya mengapa tenta...