berjuang

2 0 0
                                    

"paman mau ke mana?" Ia hanya diam tidak menjawab pertanyaanku.

Begitu sudah tiba, rupanya paman Satrio membawaku ke panti asuhan.

"Paman jangan tinggain aku lagi. Aku tidak mau dirawat orang lain." Suaraku mengusik keheningan pagi di ruangan tersebut. Dan lagi-lagi aku menangis sambil memeluk kakinya.

"Rawat anak ini dengan baik dan jangan kasar saat merawatnya." Perawat panti asuhan mengangguk, lalu membawaku paksa untuk masuk ke dalam.

Dalam tiga hari berturut-turut di panti asuhan, aku merasa tidak nyaman. Jadwal makan hanya tiga kali sehari, itupun nasi dan lauknya hanya sedikit.

Malam harinya, paman datang kembali ke panti asuhan dan ingin membawaku pulang ke rumahnya. Ada kemungkinan besar, dirinya merasa khawatir sampai ia datang membawaku pulang.

Waktu berjalan terus, aku sudah melupakan masa-masa yang sulit dan menyedihkan, lalu mendatangkan hari-hari bersama paman dan mencoba memulai kehidupan baru. Namun, aku tidak mudah untuk melupakan ibuku. Begitu aku merindukannya, aku hanya melihat fotonya sambil berlinang membasahi pipiku.

Aku selalu meminta paman untuk mencari ibuku, tapi paman tidak menemukan ibu di rumah sana. Rumah sudah terjual.

Paman bilang, ibuku pergi ke Malaysia. Aku pun tidak tau alasannya. Bahkan paman tidak pernah cerita.

Bertahun-tahun kemudian, aku menjadi gadis remaja berusia sembilan belas tahun, dan aku sudah memanggilnya dengan sebutan ayah. Dia menyayangiku dengan kasih sayang sampai aku beranjak dewasa.

Pertama kali aku memanggilnya dengan sebutan ayah saat kelulusan SMA. Ia hanya diam sambil menahan air matanya mengalir di pipi. Aku memeluknya erat dan membalas pelukanku. Saat itu ayah merasa senang dan terharu sampai terisak di di pelukanku.

Rindu Yang Terbendung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang