sukses

2 0 0
                                    

Saat kelulusan SMA, ayah mengutuskan─ku untuk kuliah karena mempunyai nilai tinggi agar beasiswa terus lanjut ketika kuliah nanti. Itulah keinginannya. Tapi aku tidak, aku bilang kalau aku akan bekerja saja agar bisa tetap tinggal bersama ayah tapi ia tidak terima begitu aku mengatakannya.

Benar, aku mendengar semua apa yang a jelaskan kepadaku. "Jangan membuang kesempatan berharga yang datang, karena mungkin itu membuatmu mudah menjalani hidup yang baik sampai sukses."

Butuh waktu untuk berpikir untuk keputusan ini. Apa sebaiknya jika aku mencoba kuliah kalau mungkin itu jalan keluar untuk sukses? Aku mengiyakan ayah setuju.

Ayahku sudah tua dan sakit-sakitan, tapi aku melihatnya tidak tega jika aku meninggalkannya sendiri.

Sampai ragu aku bertanya dengan sungkan, "kalau aku kuliah, terus aku ambil jurusan apa, yah?"

Ayah bilang, aku pintar dalam bidang itu saat aku mengobati tangannya terluka parah. Saat itu uang kamu tidak cukup membayar biaya rumah sakit jadi aku hanya membeli obat yang perlu untuk luka luar. Tak mahal, tapi ampuh untuk luka luar hanya seminggu.

"Masuk saja kedokteran, nak. Ayah mendukungmu sampai Arini ku menjadi dokter yang sukses. Jika kelak kamu menjadi dokter, ayah ingin Arini yang merawat ayah seperti ayah merawat Arini waktu kecil." Kata-kata itu tidak pernah aku lupa semenjak terakhir kali aku berpisah dengannya.

Waktu berputar cepat, sekarang aku menjadi dokter spesialis bedah berumur dua puluh empat tahun.

Saat itu aku pergi berpendidikan tinggi dan meninggal ayah. Aku meminta teman dekat ayah agar menjaganya.

Bertahun demi tahun, tidak ada jejak kabar dari ayah dan paman seperti hilang dari bumi. Bahkan nomor handphonenya sudah tidak aktif. Bahkan zaman sudah berubah sekarang; semuanya canggih.

Saat itu aku tetap mencoba berusaha mencari info dari sekretarisku Dina tentang kota tua sekarang.

Kembali ke taman, klakson mobil taksi yang aku pesan membuyar lamunanku ketika aku mengenang masa lalu di kota tua ini.

Aku beranjak dari bangku taman lalu masuk ke dalam taksi. "Di panti jompo, ya pak."

Bapak sopir itu mengangguk lalu menancap gas mobil menuju tujuan.

Sampai di panti jompo, aku masuk kedalam ruangan ayahku. Aku menyeka air mataku yang hampir menetes. Melihat punggungnya menunduk, bahkan rambutnya sudah beruban. Perawat panti jompo bilang, ayahku sudah berumur lima puluh sembilan tahun.

"Ayah?" Panggilku menggema di ruangannya

Ayah menoleh mendengar suaraku. Matanya berkaca-kaca melihatku menjadi anak perempuan yang ia inginkan. Aku menghampirinya dan langsung memeluknya dan menangis terisak dalam pelukannya.


Sungguh, takdir yang aku lewati di masa lalu yang kelam tidak terlalu buruk mendatangkan masa depan.

Namun,  Kita memang perlu melewati masa-masa sulit untuk mengasah kemampuan kita, lalu berusaha menjadi orang yang berguna.

***

~sekian dan terimakasih untuk pembaca cerpen ini, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 21, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rindu Yang Terbendung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang