Hari kemarin hanyalah momen untuk dikenang, hari esok adalah pencetak momen baru, dan hari ini adalah hari memutuskan untuk menetap atau menjelajah.
Sanja, lelaki berumur 25 tahun yang bekerja sebagai buruh pabrik untuk mencukupi kehidupannya. Gajinya tidak besar, tapi bisalah untuk makan dan kebutuhan pokok lain. Tapi ia memiliki perasaan khawatir seperti kebanyakan orang, khawatir akan kehidupannya ke depan jika hanya begitu-begitu saja.
Ditambah batinnya sedang dilema, ia selalu berada di kebiasaan buruk dan merasa ada yang telah lama hilang.
Makin hari kondisi mentalnya memburuk, tentu salah satu faktornya adalah lingkungan dari pekerjaannya yang keras seperti dunia kerja umumnya, dan ada faktor utama lainnya. Meski begitu, ia bersi keras untuk tetap di sana, karena hilangnya minat.
Kemarin dirinya mendapatkan shift malam, dan pagi ini dia pulang bersama dengan motor tuanya. Walau hangatnya sinar pagi berusaha menyemangatinya, dirinya tidak terpengaruh seperti orang-orang di sekitarnya, mentalnya yang diobrak-abrik seperti hari-hari lalu membuatnya ingin tidur sepanjang hari. Namun, ia tidak yakin bisa tidur dengan tenang karena bisiknya hari. Dirinya berharap sangat untuk seseorang membawanya ke bagian bumi dengan malam tanpa batas.
Selama berkendara hingga masuk rumah, pikirannya melalang buana. Banyak hal-hal yang menganggunya, seperti, 'Apa aku bisa sampai di umur tua?'
'Selamanya aku akan kerja di pabrik?'
'Bagaimana orang-orang bisa bertahan di keadaan sulit?'
'Kenapa orang-orang melarang seseorang yang ingin mengakhiri hidupnya?'
'Kenapa aku sulit bersemangat bahkan dalam melakukan hal-hal sederhana?'
'Kenapa akhir-akhir ini rasanya sangat tidak nyaman? Rasanya hampa. Apa aku rusak?'
'Apa aku bisa sukses dan bahagia?'
'Omong-omong soal bahagia...aku lupa rasanya. Aku ingin lagi, tapi memangnya bisa?'
'Apa ada kehidupan kedua?'
Setelah mengganti seragam pabriknya dengan kaos putih polos dan celana panjang, ia menuju ke kasur tanpa membersihkan wajahnya yang...bisa dibilang seperti orang yang tak tidur beberapa hari dan kotor karena polusi udara luar.
Kamar atap kecil berantakan ini akan menemaninya selama seharian hingga malam tiba. Kamar prisma segitiga kecil yang sudah ia tempati sejak SD, tak mau pindah walau tingginya menyisakan sedikit jarak dari tubuh Sanja yang notabenenya 165 cm. Keadaan ruangan yang penuh debu dan berantakan dengan penerangan minim lebih cocok disebut gudang.
Menyingkirkan pakaian kotor dari kasur kumuhnya dan mengambil bantal yang berada di ujung kasur, ia ingin tidur menghadap arah berlawanan untuk menghindari cahaya matahari yang mengenai langsung ke kasurnya. Tapi belum sempat ia mengambil bantal, pandangannya menangkap sebuah benda yang diterpa sinar mentari, tepat di atas selimut yang belum ia lipat kemarin.
Sanja mengambilnya dan menempatkan dirinya duduk bersandar ke atap yang sangat miring itu walau kakinya terkena sinar yang sedikit menyengat.
Ia amati dan membolak-balik tiap sisi. Buku sebesar telapak tangan berwarna kayu mahoni, berbahan kulit sintesis. Terlihat seperti baru karena cover yang mulus dan bersih, tapi di sisi kertas-kertasnya menguning, menunjukkan buku ini telah lama.
Dia bisa saja acuh pada buku yang entah dari siapa dan dari mana asalnya, tapi rasa penasarannya muncul setelah melihat press namanya pada cover depan.
'Milikku?'
Sebenarnya bukan miliknya, ia bahkan tak pernah melihat buku tersebut. Siapa yang meletakkannya di sini? Buku apa ini?
Berhasil dibuat penasaran, ia membukanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Memori
FantasySanja tiba-tiba mendapatkan sebuah buku album misterius. Album tersebut membawanya ke suatu dunia, tempat di mana ia mengenang kembali seluruh kenangannya bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya. Bersama dengan peri pemandunya, Memori 999, Sanja men...