Penginapan

2 2 0
                                    

Tak hanya dapat uang, Sanja juga mendapatkan tas selempang serta sepatu sederhana yang melindungi kakinya saat berpetualang nanti. Tapi Sanja harap ini petualangan santai.

Ia lihat langit mulai sore, saatnya mencari penginapan. Ia juga ingin melihat-lihat desa ini.

Desa negeri ini memang berbeda, seperti negeri dongeng. Meski banyak bangunan yang biasa, tapi semuanya berhias tanaman. Yang lebih menarik, ada beberapa rumah dengan berbentuk pohon. Ralat, bukan bentuknya lagi, tapi memang sebuah pohon hidup. Pohon berukuran besar yang memang bersedia menjadi sebuah rumah.

Jalanan di sini berhias batu, setiap batu memiliki ukiran bunga indah. Sepanjang jalan selalu dihujani kelopak bunga berwarna-warni. Meski banyak hal yang berbeda dengan di bumi, tapi tetap ada yang sama. Contohnya apel merah yang baru saja dibeli untuk dirinya dan Memori.

"Ini baru di musim semi, bagaimana dengan musim lain? Jadi tak sabar," oceh Memori dengan semangat. Sanja hanya mendengar dengan senyum senang. Ia tak menyangka semalam suasana hatinya kacau, hidupnya bahkan kacau, tapi sekarang ia berjalan dengan senyum bahagia. Seolah-olah ia tak memiliki masalah.

"Aku juga tak sabar melihat seluruh memorimu, Sanja, lalu mendengarkan ceritamu."

Ucapan Memori menyadarkan Sanja pada sesuatu.

"Aku baru sadar, hari ini hanya dapat satu memori saat di pohon. Dan...." Sanja mengambil buku albumnya dan membuka asal. "Baru satu foto, itu pun yang semalam. Masih banyak sekali. Aku akan ada di sini lama sekali," lanjutnya.

"Tak perlu cemas. Seperti yang kukatan; suasana, tempat, dan waktu membawa perasaan familiar, mudah untuk membangkitkan kembali kenangan lama. Lagipula...."

Sanja menoleh saat Memori menggantungkan ucapannya.

"Kau terlihat sangat bahagia."

Senyum simpul kembali terbit. Benar kata Memori, dirinya bahagia. Entah karena negeri ini memberi rasa bahagia atau karena ada hal lain, ia tak peduli. Selagi dirinya kembali merasakan bahagia, ia bersyukur.

"Kau siap untuk memori selanjutnya, Sanja?"

"Siap! Mari kumpulkan memori sebanyak mungkin!"

"Ya!" Memori mengangkat kepalan tangan, tanda ia bersemangat. Sanja terkekeh, dirinya terbawa suasana.

Tapi semangat mereka kembali luntur. Bukan tanpa alasan, pemicunya adalah penginapan yang mereka cari, memasang papan pengumuman.

'Penginapan tutup, sedang renovasi'

"Sanja?"

"Apa?"

"Kau bisa tidur di atas pohon?"

"..."

***

Duduk termenung di sekitar air pancur tengah desa dengan wajah penuh pikiran, Sanja benar-benar terlihat seperti orang yang tersesat. Memori sendiri malah asik mengejar-kejar kucing oranye yang berbeda dengan bumi. Saat berhasil ditangkap dan membawanya duduk bersama Sanja, terlihat jelas kucing itu memiliki corak bunga dan dua daun di kepalanya, seperti antena.

"Lepaskan, kucing itu memakai kalung, dia punya pemilik."

Memori membantah, ia memeluk kucing itu. "Sebentar saja kok."

Sanja mendengus. Memori bisa mendengar embusan napas kasarnya.

"Suasana hatimu cepat berubah, ya."

"Tentu saja! Penginapan tutup, hari hampir malam. Mau tidur di mana?!"

"Aku tak masalah tidur di pohon, di alam peri aku selalu tidur di pohon."

Sanja tak berkata-kata lagi.

Memori beranjak untuk melepaskan kucing di pelukannya. Setelahnya kembali duduk di samping Sanja. Tangannya menyentuh air kolam, memainkan air. Dirinya tak terlalu memusingkan tempat tinggal. Memori bisa tidur di mana saja, tak terlalu memerlukan makanan, bisa ke mana saja tanpa rasa takut, seluruh tempat di negeri ini adalah rumahnya. Sebuah kebebasan yang hanya ada pada dirinya.

"Apa yang kalian lakukan di tengah desa?"

Keduanya mengenal suara ini, langsung menoleh ke sumber.

"Kakek Noria..."

"Tak mendapatkan penginapan, ya?"

***

Untuk ketiga kalinya Kakek Noria menjadi penyelamat mereka. Beliau membawa keduanya, ke rumah sederhananya yang terletak di tengah-tengah desa.

Pintu kayu cokelat di buka, memersilahkan keduanya untuk masuk. Ruang depan terdapat meja makan kayu dengan empat kursi. Dinding putih dengan corak daun hijau mint serta lampu cahaya kuning memberi kesan hangat. Yang paling menonjol dari ruangan ini adalah banyaknya foto yang terpajang di dalam lemari kaca. Dan semua foto itu terpotret wajah seorang anak laki-laki.

Rasanya sangat familiar. Atmosfer rumah ini pernah ia rasakan. Tapi Sanja tak ingat dimana dan kapan.

"Kakek tadi beli kaleng sarden, kalian duduklah, Kakek akan menghangatkan sardennya."

Sanja hendak menolak karena merasa tak enak, tapi Kakek Noria sudah lebih dulu menyaut, "Kakek tak ingin ada yang tidur dengan perut kosong di rumah ini."

"K-kalau begitu biar Sanja bantu."

"Tidak usah, dapur Kakek sempit, hanya bisa diisi satu orang. Kalian duduk saja, melihat-lihat pun boleh."

Baiklah. Jika itu kata tuan rumah, mereka akan menunggu saja. Jika dua orang di dapur yang sempit, malah membuat masalah.

"Apa ini Kakek Noria saat muda, Sanja?"

Sanja mendekati Memori yang sedang mengamati foto-foto dalam lemari kaca. Ia turut melihat-lihat.

"Wajahnya mirip. Bisa jadi, sih."

Sanja kembali melihat-lihat. Dan ada satu benda di ruangan itu yang membuat matanya terkunci dan benaknya merasakan sesuatu. Sebuah mobil kayu yang dipajang di atas lemari.

Memori bercahaya. Matanya tertegun, dan kemudian senyum mengembang. Ia merasakan apa yang Sanja ingat.

Satu cahaya datang secara tiba-tiba. Terbang mengelilingi mereka dan meledak menjadi ribuan kerlipan memori. Butiran-butiran cahaya itu kemudian perlahan membentuk sebuah hologram ingatan.

Memori mendekati Sanja. Keduanya terpaku ke arah hologram yang mulai terlihat wujudnya di salah satu kursi makan.

Sanja yang berumur 4 tahun menangis dalam pangkuan ibunya, menangis hebat. Anggota badan yang memberontak seolah-olah mengatakan sebuah penolakan. Dia terus mengatakan 'pulang'.

"Eh, baru sampai kok langsung minta pulang? Nggak mau main dulu?" Ibunya berusaha membujuk. Tapi Sanja tetap memberontak sembari melontarkan keinginannya.

Kemudian datang neneknya membawa sesuatu. Mainan mobil kayu, persis seperti pemicu ingatannya. Benda kecil yang tak terlihat wah itu berhasil meredakan tangis Sanja dengan cepat.

"Aku ingat...."

Kerlipan memudar dan terserap ke dalam tasnya.

"Suasana rumah Kakek Noria...mengingatkan kunjungan pertamaku ke rumah Nenek," ucap Sanja.

"Aku tahu, tapi tetap ingin dengar cerita darimu," balas Memori.

Omong-omong soal dengar....

"Tadi diriku kecil menangis, kan?" ucap Sanja.

"Iya, kenapa?"

Hanya selang satu detik, mereka dengan kompak mengeluarkan ekspresi panik.

"Kakek Noria...." Memori menggantungkan ucapannya.

"Pasti dengar," sambung Sanja.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 08, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Negeri MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang