Toko Antik

1 2 0
                                    

Matahari sudah benar-benar berada di atas kepala, lewat sedikit bahkan, dan mereka masih di tengah hutan. Semakin bergerak, rasanya mereka semakin nyasar.

"Bagaimana ini?" Sanja pasrah, ia menatap atap hutan yang hanya memberi sela-sela kecil untuk cahaya. Di atas rumput hutan, ia mulai menyerah. Siap menyerahkan waktunya habis di hutan ini.

"Tenang, di Negeri Memori tidak ada bahaya yang akan mengintai," Memori menimpali dengan santai, ikut merebahkan di atas rumput sembari memainkan ilalang.

Sanja mendengarnya hanya tertawa, bukan tertawa senang namun tertawa gila. "Siapa bilang, bahaya kelaparan akan selalu mengintai. Lihat hutan ini! Tidak ada apa-apa!"

"Oh, soal itu...aku tidak bisa mati kelaparan. Lapar bukan masalah serius bagiku."

"Tapi masalah bagiku."

Suara gemeresak semak-semak menengahi. Memori langsung ngibrit dan bersembunyi di balik punggung Sanja yang sudah berdiri siaga lebih awal darinya.

"Apa itu?! Bahaya, kah?!" panik Memori.

"Katamu tidak ada bahaya!"

Suara gemeresak semakin intens. Memori tak henti-hentinya meracau panik, Sanja juga panik tapi bedanya dia tak banyak bicara.

"Oh, 2 orang anak muda. Apa yang kalian lakukan di tengah hutan?"

Keduanya bernapas lega, sosok di balik semak-semak hanya seorang pria usia lanjut. Dilihat dari tas di punggungnya, beliau semacam penjelajah.

"Ternyata orang!" Memori berteriak senang. Sanja juga senang, akhirnya ada seseorang yang menemukan mereka.

Mereka berdua langsung mendekat.

"Syukurlah Anda menemukan kami, kami tersesat," ungkap Sanja ingin segera menyelesaikan masalahnya.

"Oh, kalau begitu kalian beruntung. Kakek sedang dalam perjalanan pulang, mari ikut ke desa."

Mereka berdua langsung bergegas mengikuti kakek tersebut. Di tengah perjalanan kakek mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengisi waktu.

"Jadi, katakan nama kalian, anak muda."

"Saya Sanja, dan dia—."

"Memori! Itu nama samaran, sih."

Kakek hanya mangut-mangut dan kemudian berceloteh secara random.

Sanja berbisik, "Nama samaran?"

"Nama asli, aku ingin merahasiakan identitasku."

"Kenapa? Tidak ada yang boleh tahu?"

"Boleh, aku hanya ingin merahasiakan saja. Mohon kerja samanya."

"Jadi, apa yang kalian lakukan di hutan? Maksudku sebelum tersesat." Kakek kembali bertanya.

"Untuk ke desa," jawab Sanja.

"Pulang ke rumah? Atau mengunjungi seseorang?"

"Hanya mampir, kami berpetualang."

Kakek tertawa kecil mendengar jawaban Sanja. Mereka berdua keheranan, dan rasa penasaran langsung dijawab, "Berpetualang dengan pakaian biasa tanpa membawa apapun? Kalian nekat sekali."

Sanja baru sadar, salah jawab, dan ia malu. Memori malah turut menertawakannya, padahal dia juga disinggung.

"Hampir sampai."

Benar. Lima meter di depan sudah terlihat gapura.

Orang-orang desa berkeliaran. Sepertinya bagian desa ini adalah pasar, banyak yang berjualan barang dan jasa. Dan ini tidak sepenuhnya pasar, penduduk non pedagang juga ada yang tinggal di sisi desa ini, terlihat dari anak-anak yang bermain dan ibu rumah tangga yang sedang mengambil jemuran pakaian.

Negeri MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang