Memori 999

4 2 0
                                    

Sejatinya setiap suasana, tempat, dan waktu membawa perasaan familiar, membuatmu mudah mengingat kenangan lama.

Waktu fajar selamanya dikaitkan awal dari sebuah hari. Ada yang lain yang mengusik tidurnya selain cahaya pagi, dendangan lembut yang ia kira berasal dari mimpi turut membangunkannya walau tak bermaksud.

Yang pertama Sanja lihat hari ini adalah sekumpulan daun segelap laut dalam yang masih erat dengan tangkainya. Angin lembut pagi menjatuhkan debu-debu berkilau dari buah pohon tersebut, buah berbentuk lampion dengan cahaya jingga di dalamnya.
Diam selama beberapa saat. Merasakan baik-baik tiap hembusan sejuk dan debu buah yang menimpa wajahnya.

'Tidurku nyenyak.'

Bisa tidur nyenyak telah menjadi sebuah anugrah untuk usianya.

"Selamat pagi! Kau Sanja, kan?"

Tersentak.

Wajah gadis semalam tiba-tiba muncul di pandangannya. Bisa saja ia reflek berdiri, tapi otot tubuhnya seperti lumpuh saat mata cokelat gelapnya bertemu dengan iris amber gadis ini. Sekilas dilihat dari rambut merah bergelombang yang menjuntai hingga mengenai wajahnya, serta freckles di wajah lugu itu, membuatnya langsung teringat pada salah satu ras orang eropa, ras ginger yang dikagumi ibunya.

Deret sinar fajar dengan cepat merambat dan mengenai mereka, pantulan cahaya itu membuat seolah-olah gadis ini bercahaya. Dalam benak Sanja, gadis ini seperti api senja.

"Hei, kau Sanja bukan?" ulang gadis itu.

Sanja yang masih terkejut berusaha untuk tenang. "Benar, aku Sanja."

Tepat setelah ia menjawabnya, mata gadis tersebut bersinar dan kegirangan. "Akhirnya!" pekiknya dengan wajah yang lebih mendekat, seperti telah menemukan harta karun.

'Ih, takut!'

Sanja langsung berguling dan berdiri tepat semeter dari gadis itu, menjaga jarak.

"Salam kenal, aku Memori 999, peri termuda di alam memori, peri pemandumu," ucapnya sembari berdiri.

Gadis setinggi telinganya ini memakai dress putih bersih hingga bawah lutut. Melihatnya tak menggunakan alas kaki, mengingatkan Sanja pada kakinya yang juga sama kondisinya. Dan apa yang baru saja ia katakan?

"Huh? Peri?" beo Sanja.

"Iya," tanggapnya dengan gaya...songong. Seolah-olah telah menantikan reaksi terkagum-kagum untuk dirinya.

Ia amati kembali tiap ujung gadis yang meng-klaim dirinya adalah peri. Tidak ada sayap, telinga tidak runcing, ukuran seperti manusia normal, tidak ada hal magis apapun pada dirinya.

"Tidak, kau manusia," sanggah Sanja.

Mendengarnya, peri ini marah sembari menunjuk-tunjuk wajah Sanja dengan buku album. "Sembrono! Aku ini peri! Pokoknya peri! Memang peri versimu seperti apa, hah?"

"Peri harusnya ada sayap dan telinga runcing! Dan kembalikan album fotoku!" balas Sanja tak mau kalah sembari menunjuk pada album fotonya. Keduanya naik pitam dengan cepat.

Emosi Memori 999 langsung turun dan diganti wajah sumringah, mendekatinya dengan memeluk album foto Sanja seolah-olah benda itu miliknya. "Ah, iya! Bisa kau ceritakan tentang kerlipan memorimu semalam?"

Istilah baru lagi.

"Kerlipan...memori?" Sanja mengingat-ingat kejadian semalam, dan mengerti maksudnya, "Jadi itu namanya."

"Hei! Ceritakan!" Tanpa sadar Memori 999 sudah berada di sisinya dan mengguncangkan lengannya, merengek seperti anak kecil. Dan Sanja berpikir secara fisik Memori 999 seusia anak SMP.

Negeri MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang