3|Nanda After Marriage

46 29 7
                                    

3. Malam Kelam

Berulang-ulang kali mencoba terlelap mata menyusul Junio yang telah nyenyak di dalam mimpi, Nanda tetap tak bisa tidur sama sekali. Entah ada pengaruh dari kebiasaan atau makanan, yang jelas Nanda terus gagal saat ia berusaha. Seberapa kuat usahanya, Nanda akhirnya menyerah dan memilih untuk tidak tidur malam ini. Untuk apa memperjuangkan sesuatu yang sudah pasti itu akan berujung kesia-siaan belaka, hanya menyiksa diri sendiri.

Sebelum ia pergi beranjak dari ranjangnya, tak lupa Nanda menciumi dulu pipi Junio yang tembam dan kemerahan seperti anak beruang kutub. Kini perasaan gemas dan sayang Nanda pada jagoan kecilnya itu sangat besar dan tak terukur lagi.

"Junio, tidur yang nyenyak ya sayangku. Bunda mau keluar sebentar. Nanti bunda kesini lagi sayangku,"Nanda tersenyum saat usai mencium buah hati semata wayang
dan kesayangannya itu. Ia sungguh bahagia diberikan karunia putra lucu dan pintar seperti Junio. Maka dari itu tidak usah lagi meragukan rasa cinta dan sayang Nanda pada Junio, hal itu jelas saja tidak akan pernah habis selamanya. Bahkan, Nanda selalu mengaku jika sebenarnya ia tidak lagi mencintai hidupnya sendiri. Mudahnya, rasa cinta dan sayang Nanda hanya khusus untuk Junio sehingga tak tersisa lagi untuk dirinya sendiri. Kalau saja ia tak memiliki Junio, Nanda lebih memilih mati saja karena merasa kehidupan tak ada gunanya lagi.

Ketika melangkah menjejaki anak tangga menuju lantai bawah yang memang agak sedikit gelap, Nanda dikejutkan oleh kemunculan seorang wanita. Hah, untungnya itu cuma bi Riri bukan hantu. Hampir saja jantung Nanda copot gara-gara bi Riri!

Nanda mengelus dada seraya menyipitkan matanya. "Ada apa sih bi! Bikin kaget saya aja!"

"Maaf nyonya. Saya baru teringat kalau saya belum cuci baju nyonya untuk besok pergi ke rapat itu,"ucap bi Riri menampakkan raut wajah merasa bersalah. Dengan sangat sopan, wanita 50 tahunan itu menyatukan kedua tangannya di depan perutnya lalu membungkukkan tubuhnya didepan Nanda.

Nanda pun melirik sinis dan mengerutkan keningnya. "Ngapain bibi begitu? Nggak usah pake nunduk kek gitulah, saya ini bukan orang Korea. Jadi mohon biasa aja."

"Oh ya, maaf nyonya,"ucap bi Riri tersenyum lembut, membuat Nanda sedikit tenang dan nyaman.

Sejenak berlalu, bayangan Mama masih saja menghantui benaknya dan membuat Nanda kian cenayang. Untungnya beberapa saat kemudian, Nanda tiba-tiba dapat pencerahan untuk bagaimana melupakan soal Mama. Seketika itu wajahnya langsung sumringah dan semangat. "Oh ya bi, bibi temenin saya nonton film thriller yuk! Saya ada film hantu Korea bagus lho!"

"Iya nyonya. Saya siap apa saja untuk nyonya,"bi Riri tersenyum hangat lagi, lalu membuka jalan dan mempersilahkan Nanda untuk lewat lebih dulu.

Menonton film sambil memakan cemilan memang enak, makanya ketimbang langsung ikut Nanda menyetel film di televisi, bi Riri langsung pergi ke dapur hendak menyiapkan beberapa biji kue pai untuk ia dan Nanda. Sebab penuh inisiatif seperti itulah, tak heran pembantu satu ini sering diberikan sebuah penghargaan kecil dan reward dari majikannya itu dalam waktu dan cara yang tak terduga.

Ketika baru saja duduk setelah siap menyetel film itu, Nanda tiba-tiba mendapatkan sebuah panggilan di ponselnya. Hem, proyeksi yang ia sambungkan ke televisi itu terpaksa dijeda untuk mengangkat telepon masuk ini. Dengan ekspresi lesu dan tak bersemangat, Nanda terpaksa mengangkat panggilan itu lalu menempelkan layar ponselnya itu didekat telinganya.

"Halo assalamualaikum. Iya kenapa pa?"

Suara pria paruh baya diseberang sana membalasnya. "Nanda, ini mamamu sakit lagi. Papa mau bawa ke dokter dianya nggak mau. Katanya maunya sama kamu aja. Kamu bisa kesini sekarang kan nak?"

Nanda menghela nafas, matanya menatap nanar kearah depan. "Iya, bisa pa. Tapi tunggu ya, aku nitipin anakku sama bi riri dulu."

Suara pria diseberang itu kembali membalas Nanda. "Oke nanda, papa tunggu ya nak. Hati-hati di jalan!"

Nanda After MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang