Chapter 12

38 27 0
                                    

Keduanya agak terkejut menemukan area tersebut ternyata sangat sunyi. Di pikiran Nash, Minneapolis seperti namanya adalah kota metropolitan di Minnesota. Walaupun jalan utama memang padat dan mereka juga sempat terjebak kemacetan selama tiga puluh menit, tetapi pada akhirnya mobil tiba pada alamat yang di maksud.

"One ... two ... three ... Main Street. Minneapolis, Minnesota. Kita di sini." Mobil berjalan pelan sambil Nash mengucapkan kembali alamat tersebut. Tepat di sebelah kiri, mereka menemukannya. Ethan tak sedikitpun berpaling dari sana.

Sebuah rumah, kelihatan tidak terlalu mewah. Dua lantai dengan dinding yang berwarna kuning kenari memantulkan lampu mobil yang menyorot. Halamannya yang kecil memiliki rumput pendek, menandakan ada seseorang yang telah memotongnya.

Mereka tidak langsung keluar. Ethan justru termenung di dalam mobil, sedang memikirkan banyak hal. Nash juga sadar anak itu pasti butuh waktu. Setelah perjalanan selama hampir dua hari yang menguras banyak tenaga hingga adrenalin, anak itu akhirnya bisa 'pulang'. Apa yang tidak Nash ketahui adalah Ethan ternyata masih memikirkan soal ingatannya di kamar mandi sebelum kedua orang aneh tadi muncul dan hampir menculiknya.

Ethan juga ingin menceritakannya pada Nash. Mengatakan kalau dia telah mengingat seseorang yang mungkin adalah ayahnya, dan alasan mengapa dia bisa berada di Portland, tetapi dia sudah tiba. Sepertinya menceritakan hal itu bukan lagi sesuatu yang harus dicemaskan.

Setelah pertarungan batin yang panjang, mereka akhirnya keluar dari mobil. Ethan yang melangkah terlebih dahulu untuk mencapai pintu sementara Nash di belakang menyorotkan sebuah senter untuk membantu melihat (sedan itu kebetulan punya senter).

Begitu tiba, Ethan kembali terdiam sejenak. Mengambil beberapa kali napas panjang, sebelum mengetuk pintu tiga kali, dan menunggu jawaban.

Namun, tak ada balasan apapun. Ethan mengetuknya lagi beberapa kali, sementara Nash mengecek dari jendela yang nampak. Bagaimanapun, memang tak terlihat adanya lampu di rumah tersebut yang menyala, baik di dalam ataupun di luar. Karena itu lah Nash menyorotkan senter. Tidak puas hanya berdiri di sana, Nash memberanikan dirinya untuk mendobrak pintu tersebut.

Ternyata, rumah itu bahkan tak dikunci. Mereka masuk tanpa terburu-buru. Nash mencari saklar dan penerangan akhirnya memenuhi seisi ruangan. Masih ada televisi, sofa, dan berbagai perabotan mahal lainnya yang utuh. Artinya rumah ini memang dengan sengaja tidak dikunci, dan tidak ada pencuri yang cukup beruntung untuk mengetahuinya.

Bahkan mungkin saja pemiliknya hanya keluar sebentar. Jika memang, maka itu adalah berita yang bagus.

Saat ingin naik ke lantai dua untuk memeriksa seisi rumah, Nash sadar kalau Ethan sudah tidak mengikutinya. Remaja itu berhenti di hadapan sebuah nakas coklat yang memajang beberapa hiasan di atasnya. Terlihat Ethan mengangkat bingkai foto kayu dengan kedua tangannya.

Begitu Nash mendekat, nampak di foto itu ada dua wajah yang tersenyum merekah. Seorang pria dengan jaket kulit dan rambut coklat pendek, di belakangnya ada lapangan Target, salah satu landmark terkenal di kota ini dan Nash juga sempat melewatinya. Sementara yang satunya adalah remaja laki-laki yang mengenakan topi baseball dan baju kaos putih dengan gambar kapal laut berwarna cerah.

Pakaian yang sama, wajah yang sama. Itu Ethan. Ini memang rumahnya.

"Apa ini ... ayahku?" tanya Ethan, entah pada siapa.

Remaja itu menatapnya cukup lama, mengusap kaca foto tersebut berkali-kali dengan ibu jari. Matanya mulai basah, dan akhirnya ada air yang jatuh di bingkai tersebut. Ethan meletakkan kembali foto tersebut untuk mengusap wajahnya. "Itu ayahku ... di mana ayahku?"

Ketika itu, Nash mengambil kesempatan untuk memeriksa. Dia mengambil bingkai yang sama, setelah yakin telah membaliknya beberapa kali, tak ada informasi apapun di sana. Tidak ada nama atau tanggal kapan diambilnya gambar tersebut. Namun, Nash bisa memastikan kalau gambar itu dipotret belum lama ini.

Setelah Ethan bisa sedikit tenang, Nash membawanya untuk lebih menjelajahi seisi rumah. Mereka menemukan lebih banyak foto antara Ethan dan pria yang sama. Sebagian besar adalah foto di stadion olahraga seperti bangku penonton dan termasuk lapangan. Hal itu berhasil membangkitkan ingatan Ethan yang lain. "Aku suka baseball, tidak ... aku bermain baseball."

Satu hal yang Nash ketahui di antara semua foto-foto tersebut, tak ada wanita atau orang lainnya. Hanya Ethan dan (mungkin) ayahnya. Anak itu juga telah menyadarinya setelah mendapatkan bingkai terakhir yang terdapat di atas lemari pendingin. Sepertinya itu foto yang lebih tua, menunjukkan Ethan bersama ayahnya sedang membuat kue ulang tahun Black Forest yang berakhir berantakan, tetapi mereka berdua terlihat tertawa bahagia. Terdapat lilin bertuliskan angka 16, tetapi tak ada nama.

"Siapa aku?" Semula menangis, kini Ethan malah mendidih. Tiba-tiba saja dia memukulkan kedua tangannya di atas meja dapur hingga sendok dan pisau di dekatnya ikut berdenting. "Kenapa aku belum tahu namaku sendiri?!"

Kemudian dengan agresif mulai membuka laci-laci di dekatnya demi menemukan sesuatu. Langsung saja Nash meraih kedua pundak anak itu untuk menghentikannya. "Hei ... jangan khawatir. Kita sudah di sini, kau akan menemukannya."

"Aku ingin mengingat semuanya sekarang!" tukasnya.

"Kita bahkan belum memeriksa lantai dua, Ethan."

"Aku bukan Ethan!" Cowok itu sontak mendorong Nash agar melepaskannya. "Aku bukan Ethan! Itu bukan namaku!"

"Okey! Jangan mengamuk, kendalikan dirimu, Nak!" Nash kembali berusaha mendapatkannya. Mata anak itu sudah merah dengan napas tak beraturan. "Tenangkan dirimu. Kita baru memulainya. Terkadang memang menjengkelkan. Aku tahu bagaimana rasanya."

"Kau tidak tahu rasanya! Kau tidak pernah kehilangan ingatan dan tiba-tiba saja terbangun entah di mana!"

"Ya, aku memang tidak tahu soal itu, tetapi aku tahu bagaimana rasanya saat jawaban dari sebuah misteri sudah terasa sangat dekat, tetapi kita masih saja tak dapat menemukannya."

Kalimat itu sepertinya berhasil membuat Ethan menjadi tenang. Jadi Nash segera melanjutkan, "seperti yang kubilang, kita belum memeriksa seisi rumah. Aku sangat yakin kalau lantai dua adalah kamarmu. Di sana pasti kau akan menemukan lebih banyak."

Masih terisak, Ethan membalasnya dengan anggukan kecil. Lalu sekali lagi mengusap matanya sendiri. "Aku minta maaf ...."

"Tidak masalah, kau sudah melewati terlalu banyak untuk laki-laki seumuranmu. Itu sangat tidak adil." Kemudian Ethan memeluknya sebentar.

Nash merapikan dapur sebelum pergi ke lantai dua. Ketika akan menutup laci, pria itu sempat terperanjat. Rumah itu punya lebih banyak pisau daripada yang bisa dihitungnya menggunakan jari. Sepertinya Ethan tidak benar-benar memperhatikan saat mengamuk tadi. Namun, Nash juga mengabaikannya dan segera naik.

Benar di lantai dua adalah kamar Ethan, tepat di samping kamar mandi. Saat menyalakan lampu, terdapat barang-barang yang sepertinya mengembalikan ratusan ingatan remaja itu yang menghilang entah kemana, karena itu membuatnya berdiri mematung selama beberapa detik sebelum beringsut ke lemari.

Kali ini mereka berpencar, Nash menuju meja belajar yang ada di dekat jendela. Sekilas hanya terlihat buku-buku pelajaran, itu artinya Ethan adalah murid di sebuah sekolah. Ketika Nash akan memeriksa lebih lanjut, suara di depan rumah malah mengambil perhatiannya. Dia pikir itu pemilik rumah yang akhirnya datang, tetapi yang ditemukannya justru SUV dengan kap penyok.

Lalu dua orang keluar dari sana. Wajah mereka mungkin tertutup masker, tetapi sorot mata tersebut menandakan ada yang telah muak.

"Oh sial."

Black Forest (A Mystery Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang