jeno, dirinya sedang berada di rooftop sekolah. sendirian, tak ada yang menemani dirinya.mengingat bahwa dirinya sudah menduduki bangku smp akhir, membuat jeno menghela nafas. sudah lama juga ia bertahan, haha.
menjelang malam, jeno masih setia menatap langit yang mulai gelap sedari pulang sekolah tadi.
"aku.. kuat banget, ya?" tangannya ia gerakan, mengusap dadanya sembari menghela nafas. mencoba menenangkan dirinya, bentuk apresiasi untuk dirinya yang telah hebat.
"gak papa, emang gini cobaannya. jangan ngeluh, Tuhan udah baik banget. tunggu indahnya, pasti ada, aku yakin, pasti akhirnya aku bakal bahagia." setelah itu, jeno melirik ke arah canvas di dekatnya. oh ya, itu canvas untuk tugas melukis nanti.
ia ambil canvas itu, menatapnya cukup lama. lalu ia mengorek-ngorek isi tasnya, tampak mencari sesuatu.
nah, ketemu!
cat akrilik hitam ia oleskan ke seluruh permukaan canvas, membuat canvas yang semula putih menjadi hitam. setelah beberapa menit, cat itu kering, ia tampak kembali mencari sesuatu di tas nya.
yang dicarinya ketemu, tatap benda itu lamat-lamat, setelahnya, jeno goreskan tangan kirinya menggunakan silet tadi, dua sayatan sudah membuat darah tampak melomba-lomba untuk keluar dari dalam kulitnya.
ia arahkan tangannya keatas canvas, membuat aliran darahnya menetes di permukaan.
beberapa sayatan lagi, jeno ingin membuat banyak warna merah pekat di atas canvas yang hitam itu, seru, pikirnya.
setelah puas, tangan kanannya mengoles satu satu tetesan itu, yang semula bulat, menjadi garis abstrak yang tak beraturan.
jeno mengambil cat akrilik lagi, namun kali ini berwarna putih. jeno melukis sendikit, imajinasinya, mengarah pada seorang kucing. ntahlah, kucing itu tampak berantakan. di atas canvas itu, hanya ada warna hitam, merah, dan putih, tak ada yang lain.
kucing, hewan itu nampak sedang bergulung di sebuah kardus, banyak luka merah, seperti meringkuk menahan sakit.
jeno itu bisa sekali menggambar, apa lagi di tangan. ayahnya mengajarkan itu padanya, melukis di tubuh.
"sudah! bagus, kucingnya lucu."
jeno membereskan semuanya, memasukan asal alat alat yang tadi ia perlukan untuk melukis ke dalam tas.
ia berdiri, membawa canvas yang sudah dibuat indah itu.
turun dari rooftop, berlari ke arah ruang guru. mencari meja guru yang menugaskan dirinya untuk melukis, setelah ketemu, ia taruh hasil tangannya, tak lupa mengambil secarik kertas dan pena, menuliskan sesuatu.
ibu, ini tugas nathaleo jenoah. maaf berantakan, hehe.
kemudian ia taruh kertas itu diatas canvas tadi, lalu berlenggang pergi, pulang, menuju rumah yang sebenarnya sulit ia sebut rumah.
esok harinya
bu ayu datang pagi sekali, ia duduk di bangku nya, melihat canvas di atas meja.
"loh? punya siapa ini?" perasaan, ia baru memberi tugas melukis kemarin, siswa itu cepat sekali mengumpulkan tugasnya.
ia ambil kertas itu, kemudian membaca tulisan yang tertera.
"jenoah?" setelah itu ia ambil lukisan itu, menatapi lamat-lamat.
"abstrak dan berantakan, tapi ini.. indah." tapi, bu ayu merasakan bau amis menyapa indra penciumannya. ia endus sedikit bau dari canvas itu.
"warna merahnya.. bukan cat ya?" setelah itu, bu ayu beranjak pergi dari duduknya, tujuannya saat ini adalah ke ruang bimbingan konseling.
"eh bu nissa, kebetulan banget!" sapa bu ayu yang kebetulan melihat bu nissa baru saja datang, hendak memasuki ruang bimbingan konseling.
"eh, iya kenapa bu ayu?" tanya bu yuna.
"saya mau ngomong, tentang jenoah."
"oh iya, masuk masuk."
keduanya duduk di sofa itu.
"bu, liat, jeno ngumpulin tugas ini, saya gak tau kapan dia ngumpulin ini, tapi tadi pas saya baru banget dateng, lukisan ini udah ada di atas meja saya." bu ayu memberikan canvas itu, bu nissa mengambil dan manatapnya lamat-lamat.
"bau amis, kayaknya itu bukan cat merah." ucap bu ayu.
"tapi.. darah siapa?" tanya bu nissa kebingungan.
———
"jenoah, sini!!" panggil bu nissa ketika melihat jeno yang berjalan sendiri di lorong sekolah.
jeno menghampiri yang tadi memanggilnya, lalu bertanya, "kenapa bu?"
"kamu mau kemana?"
"mau sholat dzuhur bu,"
"ini seragamnya atuh yang bener, masukin bajunya, terus ini nih, kalau mau wudhu lengannya dilipet." bu nissa membantu menggulung seragam putih jeno yang panjang. jeno hanya diam, bingung,
"astagfirullah jeno.." bu nisza kaget saat melihat tangan kiri jeno.
"h-hah? bu.." jeno spontan menjauhkan tangannya dari bu nissa, lalu menyembunyikan tangannya di belakang tubuh.
"jeno.. boleh ibu liat lagi? ibu obatin ya?"
"gak papa, ibu ga marah sama jenoah, siniin coba tangannya, ibu mau liat lagi." jeno pasrah saat bu nissa mengambil perlahan lengan kirinya.
"sakit ga sayang? kita ke uks, ibu obatin ya nak.." bu nissa membawa jeno ke arah ke uks, sementara yang dibawa hanya menurut pasrah.
setelah di obati, bu nissa menatap jeno yang tengah menunduk dengan tatapan dalam penuh ke khawatiran.
"sayang.. boleh ibu peluk jeno?" jeno balas menatap bu nissa dengan tatapan sayu, lalu mengangguk.
"ibu.. terimakasih, sudah mau mengobati."
"nak, ada apa?? ibu sedih, liat anak didik ibu kayak gini.." pelukan itu terlepas, bu nissa memegang bahu jeno, menatap penuh tanda tanya pada jeno.
"bu nissa jangan kasih tau ini ke bunda, jeno mau lemah di hadapan bu nissa, tapi bunda jangan tau."
"iya sayang, bu nissa ga akan kasih tau siapa-siapa."
"sakit ibu.. jeno dipukul ayah setiap hari, kasian bunda, bunda selalu nangis karna jeno dipukulin. bu nissa, jeno sedih.." kembali direngkuhnya tubuh ringkih jeno. jeno yang mendengar bu nissa sedikit terhisak, membuat dirinya berkaca-kaca menahan tangis.
tidak, ia tak bisa untuk bercerita. bercerita tentang hal yang menyakitinya, lebih menyakitkan dan sulit dari bertahan untuk tak menangis saat ayah memukulinya.
"jeno.. ibu ikut sedih.."
gapapa bu nissaa, jeno gapapa. terimakasih, sudah mengobati. terimakasih, jeno jadi ada yang mengobati. bunda, aku minta maaf, bunda gak boleh tau soal luka yang ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
semua dirayakan bunda
Short Storyhanya tentang bagaimana seseorang bertahan hidup, dengan seorang ibu yang menemaninya. update kalau author lagi stress aja