3. Asing

274 20 0
                                    

Satu minggu telah berlalu, dimana semenjak kejadian Jeno hampir saja membunuh suaminya sendiri. Jeno bagai kesetanan, bahkan saat Jaemin pingsan pun ia kembali menghajar suaminya sendiri. Tubuh Jaemin bahkan sampai banyak memar, jika kedua orang tua Jaemin tau, maka habislah riwayat Jeno.

Namun sepertinya takdir masih berbaik hati, entah itu pada Jeno atau Jaemin. Bertepatan saat Jeno ingin kembali menampar wajah Jaemin yang sudah tak sadarkan diri, tubuhnya terhuyung ke samping dan mendapatkan beberapa pukulan dari sang kakak.

Mark - dan Haechan, keduanya sontak terkejut melihat kejadian didepannya. Pasalnya saat ia ingin menekan bel, pintu utama terbuka. Membuat Mark dan Haechan saling menatap, tapi tak lama kemudian ia mendengar suara Jeno yang berteriak bak kesetanan.

Melihat Jaemin tak sadarkan diri, puncak kemarahan Haechan terbakar hebat. Ia berteriak dan menghampiri Jaemin, membawa Jaemin ke dalam pangkuannya. Sedangkan Jeno, lelaki itu tengah diberi pelajaran oleh sang kakak.

Betapa kecewanya seorang kakak, ketika melihat adiknya menganiaya suaminya sendiri. Ia merasa sangat kecewa karna sudah gagal mendidik adiknya, bahkan ia juga gagal untuk menjadi seorang kakak untuk adiknya.

Sedangkan Haechan, ia terus menangisi keadaan Jaemin. Kedua sudut bibirnya memar dan mengeluarkan darah, belum lagi tanda memar lainnya di sekujur tubuh Jaemin.

"KAU BAJINGAN GILA SIALAN!! APA YANG TELAH KAU LAKUKAN PADA SAHABATKU?!!!??" Teriak Haechan murka, bahkan wajahnya sudah memerah, rasanya ia ingin menghajar wajah Jeno sekarang juga.

"Jika kau tak menyukainya, jangan memakai cara seperti ini sialan!"maki Haechan, nafasnya tersengal-sengal. Dengan gemetar ia menyentuh wajah cantik Jaemin.

Sedangkan Mark, ia menatap tajam sang adik. Wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca menandakan jika ia benar-benar kecewa.

"Apa yang terjadi denganmu?"tanya Mark pelan, dengan nada dingin. Tersirat nada marah dalam bicaranya.

"A- Aku..."

"DADDY TIDAK PERNAH MENGAJARKAN KITA UNTUK BERMAIN TANGAN JUNG JENO!" Teriak Mark, hingga urat lehernya tercetak jelas. Jeno hanya diam, bahkan ketika sang kakak memukulnya kembali ia tak memberontak.

"Ingat, Jaemin adalah suami mu. Bagi ku Jaemin juga adalah adikku, sama seperti halnya dengan dirimu. Tapi kenapa? Kenapa kau memperlakukan Jaemin seolah-olah Jaemin adalah pembawa sial bagimu?"tanya Mark dengan geram, bahkan tangannya gatal ingin memukul Jeno lagi.

Wajah Jeno yang tadinya bersih, kini sudah hancur dipenuhi lebam dari sang kakak.

"Kau sudah mengucap sumpah janji di hadapan Tuhan, bahkan dihadapan semua orang yang menjadi saksi pernikahan mu. Tapi kenapa kau dengan teganya menganiaya suami mu sendiri? BAGAIMANA JIKA JAEMIN MATI???!!" Teriak Mark, diakhiri dengan pukulan dan tendangan sekaligus.

Berakhir Jeno terhuyung ke belakang dan terbatuk, tendangan kakaknya tak main-main. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa nyeri.

Mark mengatur nafasnya, kemudian ia beralih menghampiri Jaemin dan Haechan yang masih menangis. Ia membawa adik iparnya ke dalam kamar, diikuti oleh Haechan. Namun sebelum Haechan mengikuti Mark, ia menoleh ke Jeno.

"Kau tidak bisa lari kemana pun, sekali pun kau ke ujung dunia. Kau akan mati ditangan ku, bastard!"ucap Haechan dengan nada rendah, kemudian ia berlari menyusul Mark.

Semenjak itu juga, Jeno dan Jaemin menjadi asing. Tapi itu hanya berlaku bagi Jeno, menurutnya ia terlalu malas melihat Jaemin. Sedangkan Jaemin, ia berusaha seperti tak ada kejadian apapun sebelumnya.

Bahkan ia masih menyiapkan segala keperluan Jeno, mengurus Jeno, dan menyiapkan makan atau pun sarapan untuknya.

Kini rumahnya yang tadinya dingin, semakin dingin. Tak ada percakapan diantara keduanya, bahkan jika Jaemin bertanya atau mengajak mengobrol pun Jeno hanya membalasnya dengan deheman atau gelengan kepala. Selebihnya ia diam, membuat Jaemin merasa sedih.

Kenapa? Padahal ia berusaha melupakan kejadian kemarin, dimana nyawanya hampir merenggang karna ulah suaminya. Tanpa sepengetahuan Jeno, Jaemin sering kali menangis ditengah malam atau saat mandi. Kini ia lebih sering mengurung dirinya dikamar, jika ingin menangis dan berteriak, Jaemin mengguyur dirinya sendiri dibawah air dingin.

Tak jarang pula, jika Jaemin sering menenggelamkan dirinya di bath up. Rasanya ia sudah tak tahan lagi dengan semuanya, kapan kebahagiaannya itu menghampiri dirinya?

Contohnya saat ini, Jaemin terduduk disamping kasurnya. Menenggelamkan wajahnya ditumpuan kedua tangannya, bahunya bergetar. Ia menangis, menangis karna mengasihani dirinya sendiri yang tak kunjung bahagia.

Semenyedihkan ini kah rumah tangganya? Sekali saja, Jaemin bermohon pada Tuhan. Ia ingin merasakan diperlakukan baik oleh suaminya, ia ingin rasanya dimanja oleh Jeno, ia ingin melihat Jeno tersenyum karna ulahnya. Bahkan jika taruhannya adalah nyawa Jaemin sendiri, ia rela mengorbankan dirinya sendiri demi merasakan itu semua.

"Ya Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini?"gumam Jaemin dalam tangisannya, rasanya ia sudah tak bisa bernafas karna kedua hidungnya tersumbat.

Bahkan kini ia bernafas menggunakan mulutnya, kepalanya terasa pening karna terlalu lama menangis. Tuhan, bisakah kau berkati rumah tangga Jaemin? Rasanya begitu menyedihkan.

Jaemin berdiri dan berjalan ke arah meja riasnya, ia mendudukkan dirinya dan menatap dirinya dicermin.

"Semenyedihkan ini dirimu, Jaemin?"tanyanya pada diri sendiri.

Jaemin tertawa lirih, ia menertawakan takdirnya yang begitu kejam. Entah kesalahan apa yang telah ia perbuat dahulu, sampai-sampai Tuhan membuatnya seperti ini.

Namun tak lama, tawa itu berubah menjadi tangisan kembali. Ia benci, benci pada dirinya sendiri yang terlihat lemah dihadapan Jeno. Bisakah - bisakah ia melawan Jeno? Sekali saja, mengungkapkan apa yang ingin ia pendam selama ini.

Jaemin berteriak histeris, ia menutup kedua telinganya. Tangisan diiringi teriakan kesakitan, batinnya, fisiknya, bahkan mentalnya telah hancur bersamaan. Jaemin benci dirinya, Jaemin benci takdirnya. Jaemin benci yang ada ditubuhnya sendiri. Terlewat benci dengan dirinya sendiri, Jaemin tanpa sadar meninju cermin rias didepannya.

Dalam hitungan detik, cermin itu pecah. Pecahan kaca jatuh kemana-mana, Jaemin yang melihatnya tertawa senang. Tak memperdulikan darah yang mulai mengucur ditangannya, bahkan dengan beraninya ia mengambil serpihan kaca itu, menggenggamnya erat hingga tangannya berlumuran darah.

Jaemin berteriak, sampai tak sadar jika pintu kamar terbuka paksa. Terlihat Bibi Lee dan Pak Choi menghampiri Jaemin, menghentikan perbuatannya yang sudah jauh.

"Tuan muda, sudah Tuan. Sadarlah, Bibi mohon."ucap Bibi Lee dengan nada bergetar, ia sangat sedih melihat Tuannya seperti ini.

Sedangkan Pak Choi, ia dengan sigap membereskan kekacauan yang terjadi dikamar tuannya. Sekuat tenaga Bibi Lee membawa Jaemin menjauh, dan membersihkan tangannya yang masih tersimpan serpihan kaca kecil.

Jaemin berteriak, memberontak meminta dilepaskan diiringi tangisannya yang sangat menyedihkan.

"Tuan muda! Aku Bibi Lee! Bibi mohon sadarlah!"bentak Bibi Lee, tanpa sadar ia menjatuhkan bulir air matanya.

Baginya, Jaemin sudah ia anggap anak sendiri. Tentunya ia sudah hafal bagaimana perjalanan pernikahan majikannya ini.

"Bibi..."isak Jaemin, bahkan tubuhnya merosot kebawah.

Wajahnya sembab, matanya bengkak - sudah tidak bisa dijelaskan bagaimana kacaunya Jaemin sekarang.

"Aku ingin Jeno, aku mohon..."isak Jaemin dengan tersedu-sedu.

"Iya Tuan, nanti Bibi telfon Tuan Jeno agar segera pulang. Tapi Bibi mohon, bersihkan dirimu dulu."ucap Bibi Lee.

Jaemin menggeleng lemah, isakannya itu masih terdengar jelas. Namun beberapa detik kemudian, tubuhnya melemah dan kembali - Jaemin tak sadarkan dirinya.

"Pak Choi! Cepat kemari! Tuan Jaemin tak sadarkan diri!" Teriak Bibi Lee panik.

•••

INFINITE REGRETS Where stories live. Discover now